Selasa, 31 Oktober 2017

GERAKAN DI/TII DI INDONESIA (Kartosuwirjo)

GERAKAN DI/TII DI INDONESIA
A.    Gagasan Darul Islam Kartosuwirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo demikian nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada tanggal 7 januari 1907 di Cepu, sbuah kota kecil antara blora dan bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Berbeda dengan tokoh Islam lainnya, ia tak punya latar belakang pendidikan agama. Pendidikan formalnya memang dihabiskan dalam sistem pendidikan Belanda. Kartosoewirjo beruntung, posisi ayahnya sebagai pegawai pemerintah kolonial Belandi di bidang distribusi penjualan candu, membuat orang tuanya bisa menyekolahkan dirinya di sekolah Belanda. Ia menyelesaikan pendidikan SMA nya di ELS (Europeesche Legere School) di bojonegoro. Pada 1923 ia melanjutkan kuliah pada sekolah kedokteran NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School). Disana ia ikut kelas persiapan selama tiga tahun. Pada 1926, ia mulai kuliah kedokteran. Namun Kartosoewirjo hanya sekolah setahun, karena ia dikeluarkan dari NIAS dikarenakan memiliki buku-buku sosialis dan komunis. Pemerintah colonial memang sangat sensitive dengan sesuatu yang berbau komunis, karena pada 1926, gerakan komunis di Indonesia melakukan pemberontakan (Dangel; 8, 1986).
Buku-buku itu diperoleh dari pamannya Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang dikenal juga sebagai tokoh komunis. Interaksinya dengan sang paman inilah yang menumbuhkan kesadaran politik Kartosoewirjo. Sebenarnya sejak 1923 ia sudah aktif digerakan politik dengan bergabung dengan jong jaya organisasi nasionalis kaum pemuda jawa, di Surabaya. Kemudia pada 1925, pindah organisasi ke Jong Islamieten Bond (JIB), Organisasi pemuda Islam di Jawa. Dan tak lama kemudia menjadi ketua cabang JIB di Surabaya. Di organisasi inilah ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh Islam seperti Agus Salim dan Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin PSI (Partai Syarikat Islam). Lulus sekolah pada 1927. Tjokroamintoto menawari Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadinya. Tak lama kemudia ketua PSI itu pindah ke Cimahi, Bandung. Ia pun ikut. Masih ditahun yang sama dalam kongres PSIHT (Partai Serikat Islam Hindia Timoer) di Pekalongan ia diangkat jadi sekretaris umum PSIHT.
Saat aktif di PSI inilah. Kartosoewirjo mulai aktif mempelajari Islam. Namun karena tidak fasih berbahasa Arab. Pengetahuan keislamannya lebih banyak didapati dari belajar buku-buku Islam berbahasa Belanda. Selain itu, pada 1930 saat ia istirahat di Malangbong, Garut-karena sakit beri-beri ia sempat menimba ilmu agama kepada beberapa ulama di Garut. Yang juga para aktivis PSI, yaitu Kyai Ardiwisastera yang kelak menjadi mertuanya. Kyai Yusuf Tauziri, Kyai Mustofa Kamil, Kyai Ramli. Kesemua gurunya adalah ulama-ulama tradisional, bukan ulama modernis, atau penganut faham salafi (Gunawan; 21, 2000). Dari mereka juga Kartosoewirjo mempelajari ilmu tarekat dan tasawuf, yang kelak pemahaman soal mistik Islam ini akan sangat mempengaruhi pemikirannya. Diduda saat itu ia juga menjadi pengikut tarekat Qadiriyah (Suradi; 166, 1997).
Interaksi dengan Tjokroaminoto, keterlibatannya dengan PSI dan pelajaran agama dari guru-gurunya di Garut inilah yang membangun pemahaman keislaman Kartosoewirjo. Ia terinspirasi gagasan Negara Islam yang diperjuangkan oleh PSI dan berusaha memperjuangkannya (Anhar; 242,2004). PSI memang sebuah partai yang menuntut akan berlakunya syari’at Islam’ di dalam arti kata yang seluas-luasnya dan sempurna-sempurnanya. Menurut contoh dan teladan yang nyata di dalam Sunnah Rasulullah,” PSI sendiri tak sekedar berniat mendirikan Negara Islam di Indonesia, tapi juga menganut paham pan-islamisme. Pan-islamisme adalah gagasan untuk menyatukan umat islam sedunia dalam satu sistem kekhalifahan. Dari pengertian ini. Perjuangan umat Islam di Indonesia adalah bagian dari perjuangan umat Islam sedunia dalam rangka membebaskan diri dari penjajahan bangsa asing. Awalnya PSI cukup serius memperjuangkan ide ini. Setelah kejatuhan khilafah Turki Usmani pada 1924, PSI ikut membentuk komite khilafah, semacam komite untuk memperjuangkan kembali khilafah dan tokoh PSI Wondoamiseno menjadi ketuanya. Sementara itu, 1926 Tjokroaminoto bersama KH. Mas Mansyur dari Muhammadiyah datang ke kongres Muktamar Alam Islami di Mekkah, Arab Saudi untuk membicarakan kekhalifahan. Tak hanya itu H. Agus Salim, tokoh PSI, juga memimpin semacam cabang dari Muktamar Alam Islamy di Surabaya. Namun semangat PSI memperjuangkan pan-islamisme ini belakangan meredup, karena kurangnya perhatian dari negeri-negeri Islam lainnya (Chaedar; 465, 1999).
Belakangan bersamaan dengan meningkatnya pemahaman keagamaan Kartosoewirjo-terutama setelah belajar agama kepada para kiai di Garut-ia semakin yakin pentingnya umat Islam mendirikan sebuah Negara Islam dimana masyarakatnya dapat melaksanakan syari’at Islam, baik syari’at yang bersifat pribadi (Syaksiyah) maupun syari’at yang bersifat sosial (Ijtima’iyah). Ia juga meyakini Negara Islam yang ia sebut Darul Islam bisa menaikkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Menurutnya, “Sepanjang ajaran Agama Islam, maka naiknya derajat seseorang Indinesia baik dalam pandangan Allah maupun dalam pandangan manusia dan sesuatu umat atau bangsa, hanyalah disebabkan karena suka melakukan hukum-hukum Islam menurut perintah Allah dan Sunatirosul, dalam arti kata yang sempurna-sempurnanya. Sebaliknya dari pada itu, maka turunnya harkat martabat manusia dalam pandangan Allah dan pandangan manusia cuma lantaran membelakangnkan dan membohongi Agama Allah yang diturunkan kepada nabi penutup, Muhammad SAW. “Ada yang menarik dengan istilah Darul Ilsam. Dalam sejarah Indonesia Modern, bisa dikatakan Kartosoewirjo lah yang menggunakan istilah dan menyamakannya dengan Negara Islam, menurut Muhammad Natsir pada 1930-an istilah itu belum dikenal. Negara Islam belum dikenal. Negara Islam sering disebut dengan Istilah Negara berdasarkan Islam (Chaedar; 420, 1999).
Lebih jauh Kartosoewirjo juga merumuskan bagaimana caranya untuk menegakkan Darul Islam di Indonesia. Ia belajar dari tarikh (Sejarah) perjuangan Muhammad, menurut kunci kemenangannya ada dua yaitu, hijrah dan jihad.
“Syahdan, maka hijrah itu adalah suatu perbuatan nabi yang teramat penting, karena sesudah hijrah kaum muslimin dizaman baru, zaman yang terang cuaca. Karena sorotnya Nur Illahi ke tanah madinah. Namun untuk meraih kemenangan hijrah saja tidak cukup. Hijrah harus digandengkan dengan jihad. Soalnya setiap kata hijrah dalam ayat-ayat Al Qur’an selalu berdampingan dengan kata jihad, oleh karena itu hijrah dan jihad merupakan dua hal yang harus dilakukan sekaligus. Menurutnya “Hijrah yang tidak memakai jihad adalah berarti negatif, ibara “Nahi munkar, (mencegah keburukan) dengan tidak disertai “Amar ma’ruf, (menyerukan kebaikan).”. Namun jihad yang dimaksud disini tidak sekedar diartikan perang tetapi juga jihad melawan hawa nafsu, dengan hijrah dan jihad umat Islam di Indonesia bisa meraih kemenangan (Dangel; 36, 2000).
Apa yang dipahami Kartosoewirjo cukup mengesankan di zamannya, terutama soal pandangannya terhadap sejarah Nabi. Ia melihat bahwa tarikh nabi tidak sekedar sejarah, tapi juga sebuah contoh yang harus ditiru oleh setiap pergerakan Islam. Nampaknya bagi Kartosoewirjo merujuk pada sunnah Nabi tak sekedar merujuk tata peribadatan menurut hadis shoheh yang saat itu banyak diperjuangkan oleh organisasi modernis seperti Muhammadiyah. Al Irsyad atau Persis. Lebih jauh Kartosoewirjo melihat bahwa merujuk pada sunnah perjuangan Nabi. Karena dia mencoba meletakkan sunnah perjuangan nabi dalam konteks perjuangan umat Islam di Indonesia. Misalnya saat menyebut bahwa keberhasilan perjuangan nabi karena hijrah, maka umat Islam di Indonesia juga harus melakukan hijrah, hijrah dari Makkah Indonesia menuju Madinah Indonesia. Bila disimpulkan Makkah Indonesia adalah Indonesia yang masih meninggalkan hukum-hukum Allah sementara Madinah Indonesia adalah Indonesia yang sudah menerapkan hukum Allah. Hal itu disebutkan HM. Kartosoewirjo dalam tiga bukunya “Sikap Hijrah PSII 1” “Sikap Hijrah PSII 2” dan “Daftar Oeseha Hijrah” (Al Chaidar, 1999) cara pandang terhadap sejarah ala Kartosoewirjo ini kelak menjadi cara pandang banyak tokoh gerakan Islam dibelahan bumi yang lain. Hal ini misalnya bisa dilihat dari buku Manhaj Haraki karya Syaikh Munir Ghadban, Ulama Ikhwanul Muslimin, yang mengadopsi sejarah Nabi sebagai strategi gerakan Islam untuk meraih kemenangan (Suradi; 166, 1997).
Keterlibatkan Kartosoewirjo di PSI juga membangun watak anti kompromi pada dirinya. Saat Kartosoewirjo bergabung dengan Syarikat Islam, PSI sedang bersemangat menerapkan politik non-kooperasi terhadap pemerintah colonial Belanda. Non-kooperasi artinya tidak bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, baik dalam dinas pemerintahanan, maupun semacam rakyat seperti Volksraad yang dibentuk pemerintah Belanda. Termasuk menolak bantuan dari pemerintah. Penerapan politik non-kooperasi ini menjadi salah satu alasan pecahnya hubungan antara Muhammadiyah dengan PSI. Pada akhir 1920-an, Muhammadiyah dikeluarkan dari PSI. Salahsatu alasannya karena Muhammadiyah menerima subsidi dana dari pemerintah kolonial Belanda. Watak anti komprominya terlihat ketika terjadi pertikaian di tubuh PSI antara kubu Abikusno melawan Haji Agus Salim pada 1936. Agus Salim berpendapat bahwa politik non-kooperatif PSI harus diakhiri karena akan merugikan partai, sebaliknya Abikusno yang mengambilalih kepemimpinan partai selepas Tjokroaminoto wafat pada 1934 tetap bersikukuh untuk menolak politik kooperasi dengan Pemerintah Belanda. Kartosoewirjo berada dikubu Abikusno yang akhirnya memenangkan pertarungan ini dengan memecat Haji Agus Salim dan para pengikutnya dari PSI. Namun tiga tahun kemudian, giliran Kartosoewirjo yang berselisih dengan Abikusno. Ia menolak kebijakan pimpinan tertinggi partai yang ingin melibatkan PSI dalam gerakan kemerdekaan yang menuntut Indonesia Parlemen, yaitu suatu gerakan yang menekan Pemerintah Belanda agar mendirikan lembaga perwakilan rakyat yang punya kekuasaan penuh. Tak hanya itu, ia juga menolak PSI bergabung di dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI), suatu federasi dari partai-partai politik Indonesia yang didirikan pada 1938. Sikap oposisinya itu menyebabkan ia dipecat dari partai pada 1939. Bagi Kartosuwirjo tuntutan GAPI membentuk parlemen Indonesia, merupakan sikap kooperasi juga dengan corak yang lain. Sikap Kartosoewirjo ini didukung para aktivis PSI Garut, yang juga guru dan temannya, seperti Kyai Jusuf Taujiri dan Kamran (Abas; 90, 2009).
Selepas dikeluarkan dari PSI pada 1939, Kartosuwirjo pindah ke Malangbong, Garut. Bersama Kyai Jusuf Taujiri dan Kamran, ia mendirikan komite pertahanan Kebenaran PSII. Komite ini menggunakan anggaran dasar dan peraturan-peraturan PSII dan menganggap dirinya sebagai Sarekat Islam yang sebenarnya. Pada 1940, ia membentuk lembaga pengkaderan yang disebut Institut Suffah. Institut Suffah ini awalnya adalah program PSI yang tak sempat direalisasikan yang tujuannya:”tempat pendidikan, pengajaran, dan latihan bagi pemimpin-pemimpin partai untuk menjalankan hukum dan perintah-perintah Islam. Lembaga ini dibentuk dalam sebuah gaya pesantren tradisional, di mana para siswanya bertempat tinggal disana. Di sana para siswa diajarkan ilmu pengetahuan umum, ilmu agama dan ilmu politik. Pendidikan ini berlangsung selama empat hingga enam bulan, dan setiap angkatan diikuti peserta antara 30 sampai 50 orang. Kelak, sebagian para alumni Institut Suffah ini menjadi pengikut setia Kartosoewirjo saat mendirikan gerakan Darul Islam (Suradi; 156, 1997).
B.     Pemahaman Jihad Kartosuwirjo
Pengkaderan di Institut Suffah berhenti karena dibubarkan Jepang yang datang ke Indonesia pada 1942. Pendudukan Jepang di Indonesia selain mema\bawa kesengsaraan juga membuka peluang bagi Kartosuwirjo untuk melanjutkan apa yang dikerjakannya di Institut Suffah. Namun kali ini berbeda, bukan pembentukan kader-kader partai tapi kader-kader militer. Saat itu jepang memang mengijinkan umat Islam membentuk Hizbullah, semacam milisi Islam. Tujuannya membantu jepang ketika melawan pihak Sekutu. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh umat Islam. Mereka beramai-ramai membentuk korps militer. Tak terkecuali Kartosuwirjo yang sudah lama menunggu kesempatan untuk mendirikan organisasi militer sendiri. Pada 1945 ia segera mengaktifkan kembali lembaga suffah untuk menggembleng para pemuda yang bergabung dengan Hizbullah. Para pemuda dipersenjatai dan diberi pelatihan militer (Suradi; 156, 1997).
Pelatihan lascar Hizbullah ini terus dilakukan oleh Kartosuwirjo dan kawan-kawannya pasca Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, tepat tiga hari setelah jepang menyerah kalah dalam perang dunia kedua. Kartosuwirjo memang memperhitungkan akan terjadi perjuangan bersenjata pasca merdeka. Perhitungan ini cukup beralasan. Pada September 1945, pasukan Inggris datang ke pulau jawa untuk mengawasi penarikan mundur pasukan Jepang. Bersamaan dengan pasukan Inggris ikut datang NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang akan berwenang mengelola pemerintahan sipil di Indonesia. Bersama NICA, tentara belanda juga menyelinap masuk ke Indonesia, denga hasrat kembali mengukuhkan kekuasaan colonial Belanda. Kedatangan tentara Inggris dan Belanda ini mendapat perlawanan keras dari umat Islam (Dangel; 37, 2000).
Umat Islam mendeklarasikan perang sabil alias perang suci. Pada 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabag Nahdlatul Ulama (NU) diseluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Pertemuan yang dipimpin oleh Kyai Haji Hasyim Asyary, ketua NU saat itu, menghasilkan fatwa yang menyatakan perang mempertahankan kemerdekaan adalah jihad fisabilillah dan hukumnya fardhu ain alias wajib bagi setiap Muslim. Fatwa itu kemudia popular dengan sebutan Resolusi Jihad. Segera setelah Resolusi Jihad keluar para kiyai bersama santrinya dari berbagai daerah memobilisasi laskar-laskar Hizbullah dan Sabilillah. Mereka kemudia bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya 10 November 1945 meletuskan peperangan sengit selama tiga minggu antara pasukan Inggris melawan laskar Hizbullah dan Sabilillah. Resolusi Jihad ini kemudian diikuti fatwa-fatwa serupa berbagai organisasi Islam. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam sidangnya di Yogyakarta pada 12 November 1945 mengeluarkan fatwa soal wajibnya umat Islam mempertahankan kemerdekaan dan berjihad fisabilillah. Beberapa buku soal yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang sengaja diterbitkan saat itu sebagai pegangan para laskar-laskar Islam seperti Hizbullah dan Sabilillah. Di antaranya buku Penuntuk Perang Sabil karya M Arsjad Th Lubis. Ulama asal medan dan buku Ilmu Pertahanan Negara dan Kemiliteran Dalam Islam yang dikarang oleh Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiy, ulama asal Aceh. Kedua buku itu terbit pada awal 1946. Isi kedua buku ini sangat mirip dengan ajaran salafy jihadi yang berkembang puluhan tahun kemudian (Solahudin; 30, 2011).
Dibukunya, Arsyad Lubis menjelaskan hukum berperang melawan Belanda. Menurutnya hukum jihad menjadi fardhu ain (kewajiban setiap muslim), ketika musuh memasuki negeri kaum Muslimin. Menurutnya kewajiban jihad itu tidak hanya untuk warga setempat saja, namun juga wajib bagi orang-orang yang ada disekelilingnya untuk membantu sampai musuh bisa terusir. Kalau belum terusir juga, maka wajib bagi warga muslim yang lebih jauh untuk membantu hingga akhirnya musuh-musuh bisa terusir. Kewajiban ini mengenai semua orang, tak terkecuali wanita, orang tua hingga anak-anak. Saat  jihad menjadi fardhlu ain, anak tak perlu ijin orang tua untuk berperang, perempuan tak perlu ijin suami begitupun orang yang punya utang tidak perlu ijin kepada pemberi piutang. Nah, belanda dihukumi sebagai kafir harbi yang datang untuk menjajah negeri muslim yaitu Indonesia. Oleh karena itu hukum berperang melawan Belanda menjadi fardhlu ain. Karenanya menurut penulis, “siapa saja yang turut dalam perang tersebut dengan niat yang ikhlas, niat akan meninggikan kalimatullah, niat menuntut pahala dan keridhoan Allah dan niat membinasakan musuh-musuh Allah adalah ia berperang itu di dalam sabilillah apabila mati terbunuh, matinya syahid fi sabilillah, syurga menjadi tempatnya.” (Solahudin; 32, 2011).
Apa yang ditulis Arsyad Lubis sama persis dengan paham salafy jihadi soal jihad fardhlu ain. Jihad menjadi kewajiban setiap muslim, ketika orang kafir memasuki negeri-negeri Islam. Dan kewajiban mengenai setiap muslim, termasuk anak-anak dan perempuan. Kedua buku juga menjelaskan bahwa larangan untuk membunuh binatang, membunuh pendeta, wanita, anak-anak dan orang tua dalam kondisi tertentu menjadi tidak berlaku. Salah satu kondisinya mereka yang dilarang untuk dibunuh ikut berperang. Perempuan, anak-anak, orang tua dan pendeta yang turut berperang dan melakukan perlawanan boleh dibunuh. Binatang-binatang yang dilakukan untuk keperluan perang boleh dibunuh. Selain itu, seandainya musuh-musuh menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai perisai, maka kita diizinkan untuk membunuh mereka seandainya bila tidak dilakukan akan menyebabkan kekalahan. Lebih jauh buku ini juga menjelaskan status orang Islam yang membela musuh itu boleh diperangi. Lagi-lagi pemahaman ini sama persis dengan pemahaman dengan kelompok Salafi Jihadi soal jihad teror yang menganggap bahwa orang-orang yang haram dibunuh saat perang menjadi halal darahnya, ketika mereka dianggap ikut berperang atau dijadikan tatarus [perisai] untuk melindungi musuh (Dangel; 32, 2000).
Munculkan euforia jihad ini seperti ada kesadaran baru yang tumbuh dikalangan umat Islam, sebelum Indonesia merdeka gagasan ini tak cukup bergema. Padahal jelas yang dilakukan Belanda sebelum jaman Jepang sama persis seperti yang dilakukan dimasa revolusi, yaitu menduduki negeri-negeri muslim. Mungkin salah satu alasan utama umat Islam belum jihad untuk berjihad dikarenakan karena lemahnya pengetahuan soal militer dan serta minimnya persenjataan. Pasca kemerdekaan, Indonesia mewarisi banyak persenjataan jepang dan juga orang-orang yang terlatih kemiliteran cukup banyak. Sebelum merdeka, Kartosuwirjo sendiri menghindar untuk berbicara soal jihad bi ma’na qital. Menurutnya menyamakan jihad dengan perang adalah upaya Barat untuk mendiskreditkan Islami. “Mereka mengatakan jihad itu, ialah perang atau perang sabil atau berbunuh-bunuhan atau lain-lain yang serupa dan semaksud dengan makna itu, sehingga akhirnya hanya punya perasaan dan anggapan bahwa agama Islam itu disiarkan dengan pedang!” padahal menurutnya jihad bermakna lebih luas dari perang dan usaha sungguh-sungguh dijalan Allah serta perang hanyalah jihad asghor [jihad kecil], sementara jihad akbar [jihad besar] adalah berperang melawan hawa nafsu. Namun pandangan Kartosuwirjo ini berubah 180 derajat setelah Indonesia mereka (Dangel; 30, 2000).
Sejak 1947, ia ikut terjun memimpin pasukan Hizbullah dari Garut melakkukan perang sabil melawan Belanda. Saat itu ia sudah menganggap jihad sebagai kewajiban bagi setiap muslim. Tak tanggung-tanggung ia bersama pasukannya juga menerapkan prinsip jihad teror terhadap orang-orang yang dianggap musuh. Pada 1948, ia memerintahkan anak buahnya melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap semua penghianat agama, negara dan bangsa. Maret 1948, aksi ini dilakukan para pengikutnya yang tergabung dalam PADI (Pahlawan Darul Islam). Pelaksanaan aksi ini dijelaskan dalam laporan, “Sejak keluarnya perintah tersebut, maka tiap-tiap tempat di seluruh priangan, pula diseluruh Jawa sebelah Barat. Mulailah PADI menjalankan aksinya terhadap penghianat-penghianat yang menjadi mangsannya. Hama penduduk, kena sasarannya tukang rebab [pasukan khusus PADI], tidak sedikit bangkai konyol yang berkaparan di tengah jalan begitu pula yang dihanyutkan di kali-kali, seperti kali Citanduy, Cimanuk dan sungai-sungai lainnya selalu mengalirkan bangkai-bangkai yang penuh berlumuran darah kena terkaman mangsanya (Solahudin; 36, 2011).
Dua bulan kemudian, tepat Mei 1948, ia juga memproklamirkan diri sebagai imam (pemimpin) Negara baru yang ia beri nama Darul Islam. Inilah pemberontakan daerah pertama yang terjadi setelah Indonesia merdeka. Pemberontakan ini dilatarbelakangi ketidak puasan Kartosuwirjo terhadap pemerintah Indonesia yang ditudingnya dikuasai orang-orang komunis dan sosialis. Lebih-lebih pemerintah baru ini juga dituding telah menghancurkan negara Indonesia itu sendiri dengan menerima perjanjian-perjanjian dengan Belanda yang justru merugikan Indonesia. Salah satunya yang membuatnya murka adalah perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, yang salah satu butirnya adalah pemerintahan Indonesia mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). Di mata Kartosuwirjo dengan disepakatinya perjanjian Renville maka Republik Indonesia sudah bubar, sehingga dia merasa punya hak untuk mendirikan Negara baru yang sudah menjadi cita-citanya sejak lama, yaitu Negara Islam Indonesia (Chaedar; 122 1999).
C.    Hari-hari Terakhir Kartosuwirjo
Sejak Mei 1962 Kartosuwirjo sudah tahu bahwa perang yang dikobarkan selama 13 tahun bakal berakhir dengan kekalahan. Pada 15 Mei 1962, Kartosuwirjo, mendapat laporan bahwa pasukan-pasukan DI/TII yang tersebar digunung Cakrabuana, gunung Guntur serta gunung Galunggung telah kocar-kacir. Tak hanya itu ia juga mendengar kondisi fisik pasukannya kian lemah, kehabisan tenaga. Kondisi yang tak jauh beda dengan dirinya. Saat itu sang imam DI ini sedang sakit. Ia menderita penyakit gula serta kurang gizi. Sembari tergolek lemah. Ia mendapat laporan dari ajudannya bahwa TNI sudah dekat dengan rombongannya yang berjumlah 46 orang. Muhammad Darda, Komandan Markas serta Aceng Kurnia, ajudan Kartosuwirjo telah bertekad akan perang matian-matian kalau musuh datang. “Kalau musuh datang, kita akan tembak. Menyerah berarti dosa. Kita harus siap yuqtal auy yaqlib [membunuh atau terbunuh]”, tegas Dodo Muhammad Darda. Mendengar cucapan anaknya itu, Kartosuwirjo diam sejenak. Setelah itu ia berkata, ”Kondisi saat ini sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk yuqtal au yaqlib.” Seorang pemimpin bisa memberi komando perang kalau ada tenaga, senjata serta keberanian tempur. Kalau itu tidak ada yuqtal au yaqlib menjadi dzolim karena tidak memenuhi syarat. “Dalam kondisi sekarang, kalau musuh datang biar Bapak yang menghadapi. Urusan-urusan lain bira Bapak yang menyelesaikan. Yang penting kalian taat kendati tidak ikhlas maupun tidak ridha.” (Chaedar; 98, 1999).
Pada 4 Juni 1962, perjalanan rombongan Kartosuwirjo telah sampai disebuah lembah antara Gunung Sangkar dan Gunung Geber, di sekitar Bandung Selatan. Pagi itu hujan deras yang disertai angin kencang mengguyur daerah itu. Pasukan DI/TII pun memilih berteduh di tenda-tenda darurat. Tak disangka, terdengar suara tembakan dari bawah bukit. Pasukan yang berkekuatan tiga peleton itu telah mengepung rombongan sng imam. Aceng Kurnia segera melapor. Semua pengawal yang berada disekitar sang imam bersiap-siap dengan senjatanya. Mereka bertekad akan berperang sampai mati. Aceng Kurnia dan Dodo sudah berada dalam posisi siap tembak. Ketika pasuka TNI sudah semakin dekat ke tenda yang ditempati Kartosuwirjo, tiba-tiba Kartosuwirjo yang sedang dalam keadaan berbaring berkata. “Jangan menembak, kalau mengikuti keinginan Dodo, semua mujahid bakal habis.” Mendengar perintah ini, Aceng Kurnia dan Dodo pun meletakkan senjatanya. Mereka keluar sambil angkat tangan. Di luar, mereka disambut oleh Letda Suhanda yang didampingi dua anggotanya, Amir dan Suhara. Letda Suhanda kemudian menyalami keduanya sambil bertanya. “Mana Pak Imam?” “itu dia” kata Dodo sambil menunjukan tenda. Suhanda pun masuk kedalamnya. Kartosuwirjo pun tampak dalam keadaan payah dan berbaring dilantai gubug itu dan mengenakan jaket militer dan sebuah sarung. Meskipun saat ditangkap dia berusia 55 tahun, tapi dia kelihatan seperti seorang lelaki tua yang lebih dari umurnya (Abas; 92, 2009).
Penangkapan Kartosuwirjo menandai berakhirnya huru hara politik selama 13 tahun yang mengakibatkan kerusakan berat pada pembangunan Jawa Barat. Produk pertanian menurun tajam, pengungsian besar-besaran terjadi, hancurnya infrastruktur di daerah-daerah pedalaman. Jumlah korban penduduk sipil yang terbunuh, luka dan diculik mencapai 22.895 jiwa. Sementara kerugian Negara akibat perang mencapai 650 juta rupiah (Solahudin; 97, 2011).
Kartosuwirjo dirawat selama dua bulan. Agustus 1962 kondisinya mulai pulih. Pemeriksaan pun dimulai. Tiga kejahatan dituduhkan kepadanya. Pertama, makar untuk merobohkan Negara Republik Indonesia. Kedua, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah. Ketiga, makar untuk membunuh Sukarno. Dalam sidang yang ketiga, pengadilan memutuskan Kartosuwirjo terbukti bersalah. Pengadilan menjatuhi hukuman mati. Pada 20 Agustus 1962, Kartosuwirjo mengajukan grasi. Dalam permohonan grasinya dia menyatakan penyesalan sebesar-besaranha atas perbuatannya dimasa lalu. Tapi, Sukarno menolak permintaan grasi bekas temannya itu. (Abas; 92, 2009).
Pada 4 September 1962 Kartosuwirjo meminta diri kepada keluarganya. Esok harinya dipagi buta 5 september 1962 Kartosuwirjo dibawa regu penembak ke sebuah pulau di Kepualaun Seribu. Pukul 5.50 pagi tepat, regu tembak melakukan eksekusi mati. Jenazah Kartosuwirjo pun dikebumikan di pantai pulau tersebut (Abas; 112, 2009).

BAB III
PENUTUP
            Kasus DI/TII adalah contoh terbaik yang menunjukkan bahwa ajaran yang mirip salafi jihadisme sudah lahir sejak usia Indonesia masih belia. Dari kasus ini kita juga bisa belajar bahwa situasi perang menjadi lahan paling subur untuk tumbuhnya gagasan-gagasan jihad. Hal ini bisa dimengerti karena jihad adalah ajaran suci yang tentu saja habitat utamanya ada diwilayah perang.
Dalam situasi seperti ini, latar belakang keagamaan menjadi tidak penting. Baik kelompok tradisionalis maupun modernis bisa dengan segera berubah menjadi kelompok jihadi. Saat perang revolusi, semua kelompok agama menyerukan perang sabil melawan belanda. Semuanya sepakat perang melawan Belanda hukumnya fardhlu ‘ain.
Pada 1962 DI/TII berhasil ditumpas TNI (Tentara Nasional Indonesia). Kartosuwirjo ditangkap dan dipersidangan dijatuhi hukuman mati atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Kartosuwirjo pun dieksekusi mati pada 5 september 1962 tepat pukul 05.50. Jenazahnya dikebumikan di kepulaian seribu.

Rabu, 18 Oktober 2017

Teori Projecting Back dan Common Link



Teori Projecting Back dan Common Link

       I.            PENDAHULUAN
Secara garis besar, kelompok orien­talis dibagi menjadi dua. Pertama, kelompok moderat dan tidak fanatik yang da­pat berbuat adil dalam prinsip keilmuan penuh kejujuran. Kelompok ini diwakili oleh nama-nama seperti Jenny Pieere, Carl Leil, Tolstoy, dll. Kedua, kaum fanatik yang tidak berlaku adil dalam prinsip keil­muan dan condong menutupi kebenaran yang ada serta tidak memilki metode keilmuan yang memadai.
Kajian keislaman pada mulanya ha­nya­ ditujukan kepada materi-materi keislam­­an secara umum. Baru pada masa-masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits nabi. Sarjana Ba­rat yang pertama kali melakukan kajian terhadap hadits nabi adalah Ignaz Goldziher (1850-1921), seorang orientalis Yahudi kela­hi­ran Hongaria dengan karya berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Buku yang kemudian dijadikan semacam “kitab suci” para orientalis saat ini.
Di kalangan orientalis, telah mengakar suatu pendapat bahwa sebagian besar Hadis merupakan hasil perkembangan Islam dalam bidang Agama, Politik, dan sosial dalam kurun waktu dua abad pertama dan kedua. Dan Hadis itu bukanlah merupakn dokumen Islam pada masa-masa awal pertumbuhanya. Melainkan salah satu efek kekuasaan pada masa kejayaanya.[1]
Teori-teori kritik Hadis yang dikeluarkan oleh Ignaz Goldziher, Joseph Schacth dan G.H.A Juynboll menpunyai suatu kesinambungan. Yang mana G.H.A Junyboll melakukan suatu pengembangan terhadap teori common link yang dikeluarkan oleh Joseph Schacth.[2] Melalui teori common link ini Junyboll mencoba menawarkan gagasan baru tentang kriteria kesejarahan sebuah hadis. Pada Dasarnya teori common link adalah sebuah teori yang dipersiapkan menyoroti otentisitas sumber hadis melalui prespektif sejarah.
Maka, tidak salah bila isnad yang menjadi sumber otentisitas dari hadis menjadi pokok permasalahan dalam teori common link. Dalam tulisan ini pemakalah ingin mengkaji isnad dalam pandangan G.H.A Junyboll melalui teori common linknya dan apakah secara ilmiah teori ini bisa diterima.

    II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana biografi Joseph Schacht dan teori Projecting Back?
2.      Bagaimana biografi G.H.H  Juynball dan teori Common Link?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Biografi Joseph Schacht
Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902. Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar ideologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berusia 21 tahun.
Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 dalam usia 27 tahun ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar.[3]
Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggris. Dan ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di Inggris, dan menikah dengan wanita Inggris.
Bahkan pada tahun 1947 ia menjadi warga negara Inggeris. Meskipun ia bekerja untuk kepentingan negara Inggeris dan mengkhianati tanah airnya sendiri, namun pemerintah Inggris tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya. Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Profesor-Doktor, di Inggeris ia justeru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari universitas tersebut.
Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggris dan mengajar di Universitas Laiden Negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di sini ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1969.[4]
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti  Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.
Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits  Nabi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits  Nabi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.
Tuduhan semacam ini muncul dari beberapa tokoh orientalis, salah satunya adalah Joseph Scathc dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Kajiannya diawali dengan meneliti proses kemunculan Hukum Islam. Dia berpendapat bahwa Hukum Islam baru berwujud pada masa setelah al-Sya’bi (w. 110 H). hal ini berarti hadits-hadits yang berkenaan dengan hukum Islam adalah buatan orang-orang setelah al-Sya’bi. Karena ia beranggapan bahwa hukum Islam baru dikenal pada masa pengangkatan para Qadi. Maka kesimpulan yang didapat dari hasil kajiannya tersebut bahwa keputusan-keputusan yang diambil para Qadi itu memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki otoritas lebih tinggi sehingga mereka menisbahkannya kepada orang-orang sebelum mereka sampai pada totoh-tokoh generasi tabi’in, para sahabat, dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw. inilah rekonstruksi sanad menurut Schacht.
Dibanding dengan Goldziher, Schacht memiliki “keunggulan” karena Schacht sampai pada kesimpulan “meyakinkan” bahwa tidak ada satupun hadis yang otentik dari Rasulullah, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan “meragukan” otentisitas hadis.[5]

B.     Teori Projecting Back
Teori Projecting Back yang dibangun oleh Yoseph Schacht tentang sanad yang menjadi kajian utama dalam tulisan Schacht adalah bahwa peletakan sanad merupakan tindakan sewenang-wenang dalam hadis Nabi Shallallahu a’alaihii wa sallam. Hadis itu sendiri dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang saling berbeda dan ingin mengaitkan teori-teori terdahulu. Setidaknya ada enam kesimpulan argumentasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Sistem isnad baru dimulai pada awal abad II Hijriyah atau setidak-tidaknya pada akhir abad pertama Hijriyyah.
2.      Isnad dipergunakan/ dicantumkan dalam hadis dengan cara yang sangat ceroboh oleh orang-orang yang mengaitkan teorinya kepada para pendahulu (Projecting Back).
3.      Isnad ditingkatkan dan diciptakan secara bertahap. Isnad pada awalnya merupakan suatu mata rantai yang tidak lengkap.
4.      Otoritas tambahan diciptakan pada masa Imam Syafi’I untuk mencapai tujuan pengembalian hadis kepada satu sumber.
5.      Rangkaian sanad adalah sesuatu yang palsu begitu juga materi/ matan yang ada di dalamnya.
6.      Keberadaan riwayat yang umum pada mata rantai menunjukkan bahwa hadis-hadis berasal dari masa periwayat tersebut[6].
Pernyataan Yoseph Schacht lainnya yang juga sering disoroti adalah mengenai teori teori Projecting Back (pelimpahan teori kepada generasi-generasi awal) di antara pernyataan yang berkeenaan dengan ini adalah sebagai berikut: “Isnad sering diletakkan secara sembarangan. Berbagai kelompok yang doktrinnya diproyeksikan ke belakang kepada otoritas kuno bisa saja diambil secara acak dan diletakkan ke dalam isnad oleh beberapa orang.”[7]
Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad, daripada aspek matan, dalam mengkaji hadis. Sementara kitab yang digunakan dalam penelitian adalah kitab Al Muwattha’ karya Imam Malik, kitab Al Umm dan Ar Risalah karya Imam Syafi’i. Karena itu tak heran bila Muhammad Musthafa A’dzami menyatakan bahwa kitab-kitab yang menjadi bahan kajian Schacht ini pada dasarnya lebih layak disebut dengan kitab-kitab fikih daripada kitab-kitab hadis. Mazhab dua jenis kitab ini (fikih dan hadis) mempunyai karekteristik yang berbeda. Oleh karena itu penelitian hadis melalui kitab-kitab fikih akan mendapatkan hasil yang kurang tepat. Kajian ilmu Hadis seharusnya diteliti melalui kitab-kitab hadis pula.
 Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits  bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits  Nabi. Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan Hadits-Hadits  yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadits-hadits  itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia berpendapat bahwa Hukum Islam  baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Pada khalifah dahulu (khulafa al-Rasyidin) tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan Qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.[8]
Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para Qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah ibn Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Inilah  rekontruksi terbentuknya sanad Hadits. Menurut Schacht yaitu dengan memproyeksikan  pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada dibelakang mereka, inilah yang disebut oleh Schacht dengan teori Projecting Back. [9]
Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau  tambahan para fuqâhâ’ di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh  madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabi.
Contoh hadis nabi yang dikritisi oleh Schacht:
“Telah menceritakan kepadaku Malik dari ‘Ala’ bin Abdurrahman dari bapaknya dari kakeknya bahwa Ustman bin Affan pernah memberinya pinjaman harta untuk berdagang secara qiradh yaitu dengan cara labanya dibagi antara mereka berdua” (Al Muwattha’ 1196)
“Dari Anas bin Malik dia berkata: Bilal diperintah agar menggenapi bacaan teks dalam adzan dan mengganjilkan (cukup satu kali) pada saat iqamat” (Sunan At Tirmizi 178)
Hadis tersebut diucapkan oleh Anas bin Malik tanpa diketahui siapa subjek pemberi perintah kepada Bilal. Berdasarkan pada bentuk-bentuk sanad seperti di atas, maka Schacht mengambil kesimpulan dengan teorinya Common Accurence atau merupakan kejadian biasa sebagai dasar penyelidikannya pada beberapa contoh sanad hadis sesuai dengan teorinya  (Projecting Back) dengan menyimpulkan bahwa hadis-hadis tentang ketentuan yang berlaku dalam hukum acara peradilan bukan berasal dari Nabi secara langsung, tetapi hanya merupakan inisiatif para sahabat atau tabi’in.
Bentuk-bentuk sanad yang dipahami oleh Schacht ketika memahami hadis terutama di bidang hukum acara peradilan berdasarkan perkembangannya menghasilkan dua teori yaitu:
1.      Common Accurence (Kejadian biasa) yaitu sebuah teori yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya dengan beberapa contoh hadis di bidang hukum.
2.      Occassionally (kadang-kadang) yaitu untuk memperkuat teorinya, jika sebagian besar kejadian dalam sanad hadis menyalahkan teorinya untuk menimalisir kesalahan teorinya.[10]
C.    Biografi G.H.A Junyboll dan karya-karyanya
Gauiter H.A Juynboll yang lahir di Leiden, Belanda, pada 1935 adalah seorang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadis. Selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadis dari persoalan klasik hingga kontemporer. Menurut P.S. van koningsveld kepakaran Junyboll yang merupkan murid dari J.Brugmen, dalam kajian sejarah awal hadis telah memperoleh pengakuan internasional. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ketokohannya di bidang hadis dapat disejajarkan dengan nama-nama seperti Jemes Robson, Fazlur Rahman, M.M. Azami, dan Michael Cook.
Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith, Junyboll mengklaim telah menjelaskan perkembanga penelitian atas literature hadis secara kronologis sejak akhir tahun 1960-an hingga 1996.
Pada 1965 hingga 1966, dengan dana bantuan dari The Netherland Organization for the Advancement of Pure Research (ZWO), Juynboll tinggal di mesir untuk melakukan penelitain disertasi mengenai pandangan para teolog mesir terhadap literature hadis. Akhirnya, pada Kamis, 27 Maret 1969 desertasi yang ia sususun bisa dipertahankan di depan komisi senad, guna meraih gelar Doktor di bidang sastra di Fakultas Sastra, Unirversitas Negeri Leiden, Belanda.[11]
Setelah selesai melakukan penelitian disertasinya, Juynboll kemudian melakukan penelitian mengenai berbagai persoalan, baik yang klasik maupun kontemporer.  Semenjak ia menilis sebuah makalah yang bertitel: “On The Origins of Arabic Prose” dan dimuat dalam buku Studies on the Century of Islamic Society.  Junyboll memutuskan untuk memusatkan perhatiannya pada studi hadis dan tidak pernah meninggalkannya lagi.
Selain meneliti, Juynboll juga mengajar di berbagai Universitas di Belanda. Akan tetapi, kegiatan mengajar dan membimbing mahasiswa yang sedang menulis tesis dan disertasi kurang begitu diminatinya. Pada usia 69 tahun, Juynboll tinggal di Burggravenlaan 40 Nl-2313 HW  Leiden, Belanda. Dia meningggal pada tahun 2010 dalam usia 75 tahun.
Sebagai seorang ilmuan dan peneliti dalam bidang hadis, banyak sekali karya-karya yang ia hasilkan baik berupa buku maupun artikel, yang mana semua itu ikut memberikan sumbangan terhadap studi hadis khususnya dan studi Islam pada umumnya. Sebagian besar pemikiranya, terutama yang terkait dengan studi hadis dan teori common link, dielaborasi dalam tiga bukunya: the Aunthenticity of the Traditional Literature: Discussion in Modern Egypt, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith dan studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith.
Selain tiga buku tersebut, Juynboll juga memiliki sejumlah karya di bidang hadis dalam bentuk artikel, seperti: “The Date of the Great Fitna”, “On the Origins of Arabic Prose: Reflection on the Authenticity”, “Shu’bah al-Hajjaj and His Position Among the Traditionist of Basra”, and, “An Excursus on the Ahl as-Sunna in Connection with Van Ess”, Theologie Und Gesellchaft, vol. IV.
Sementra karya Juynboll dalam bidang lain, seperti studi al-Qur`an, fiqh, historiografi, diantranya adalah Review of Quranic studies: Sources and metods of Scriptural Interpretation by John Wonsbough, Review of the Sectarian Milieu: Content and Composition os Islamic Salvation History, Some Trought on Early Muslim Historiography, New Perspective in the Study Early Islamic Jurisprudence.[12]
D.    Common Link Awal Permulaan Isnad dan pembuat hadis
Juynboll dalam kajian hadis mengadopsi teori common link yang dikeluarkan oleh Schacht. Menurutnya teori common link adalah teori yang brilian. Sayangnya teori tersebut belum dikembangkan secara luas oleh pengkaji hadis. Hal ini disebabkan karena teori ini kurang mendapat perhatian, elaborasi, atau penekanan yang selayaknya, bahkan oleh Schacht sendiri.[13]
Dalam teori ini Junyboll berperan sebagai pengembang dari pendahulunya seperti Ignaz dan Schacht. yang mana inti dari teori ini mereka berasumsi bahwa hadis muncul pada era common link. Hadis sendiri merupakan produk buatan seorang common link. Demi mendapatkan legitimasi umat Islam akhirnya hadis-hadis yang mereka buat disandarkan pada orang-orang  yang mempunyai otoritas tinggi sebelumnya seperti pada sahabat manupun nabi.
Teori commom link telah digunakan oleh Juynboll dalam pengkajian asal usul dan sejarah awal periwayatan hadis selama dua puluh tahun. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik menuju maupun meninggalkanny, semakin besar pula seorang periwayat dan jalur periwayatanya memiliki klaim sejarah. Dengan kata lain bahwa jalur yang dipercaya sebagai jalur yang mempunyai historis adalah jalur yang bercabang kelebih dari satu jalur. Sedangkan, jika suatu hadis diriwayatkan dari nabi melalui seseorang (sahabat), kemudian kepada orang lain (tabiin) dan orang yang lain lagi (tabiit-tabiin) yang akhirnya sampai pada common link dan setelah itu jalur isnad bercabang keluar, maka kesejarahan periwayatan tunggal tersebut tidak dapat dipertahankan. Singkatnya,  jalur yang hanya bekembang ke satu jalur saja atau Single Stand tidak dipercaya kesejarahanya.
Dalam teori commom link suatu isnad hadis bermula dari seorang common link. Common link sendiri merupakan istilah untuk perawi hadis yang mendengar hadis dari orang yang  otoritatif (berwenang). Lalu ia menyandarkan pada murid, kemudian muridnya kepada satu murid  atau lebih banyak.  Dengan kata lain, common link merupakan sebutan untuk perawi  tertua dalam berkas isnad yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan kata lain berkas isnad hadis itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, maka di sanalah ditemukan common linknya.
Dari berbagai tulisan Juynboll mengenai hadis khususnya yang menggunakan teori common link dan metode analisis isnad penulis dapat menyimpulkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan metode tersebut secara rinci. Langkah-langkah itu adalah:
1.      Menentukan hadis yang akan diteliti
2.      Menelusuri hadis dalam berbagai koleksi hadis
3.      Menghimpun seluruh isnad hadis
4.      Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad
5.      Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadis.[14]
Teori common link dan teori hadis konvensional dalam kenyataanya sangat berbeda. Dalam metode kritik hadis konvensional lebih menekankan pada kualitas seorang perawi hadis. Jika isnad hadis terdiri dari orang-orang yang dapat dipercaya, maka hadis tersebut dinyatakan sahih. Sebaliknya, jika isnad sebuah hadis terdiri dari orang-orang yang tidak dipercaya, maka hadis tidak diterima.[15]
Akan tetapi, sebagaian besar pengkaji hadis barat merasa keberatan dengan metode kritik tersebut. Sebab, metode ini hanya menekankan penelitian bentuk luar hadis tidak kepada teks hadis itu sendiri, sehingga metode ini hanya dapat menyingkirkan sebagian hadis palsu tidak secara keseluruhan. Dan juga metode ini apakah dapat membuktikan kebenaran sejarah kepriwayatan hadis atau tidak. Sebab, metode kritik konvensional memiliki beberapa kelemahan. Selain itu kemunculan metode kritik hadits konvensional tersebut juga disebabkan karena adanya konflik antara para ahli hadits dan ahli fiqh klasik di Madinah dan Iraq dan dalam kaitannya dengan konflik tersebut berbagai keputusan hukum dan hadits-hadits formal dan yang di terima secara umum disebarluaskan dan diberi isnad-nya hingga sampai kepada Nabi.
Selain sebagai awal permulaan isnad common link juga tertuduh sebagai pembuat hadis. Yang mana hadis tersebut digunakan adakalanya untuk menguatkan pendapatnya. Sekitar abad pertaman hijriyah banyak diangkat para hakim, demi memperoleh legitimasi dari putusan hukum yang ia keluarkan, para hakim menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya yang mempunyai otoritasi. Dan langkah ini yang kemudian melahirkan konflik dengan para ahli hadis.
Para ahli hadis sendiri kemudian mempunyai suatu pemikiran bahwa hadis-hadis formal yang berasal dari nabi harus mampu mengantikan hasil putusan-putusan perkara yang sudah memasyarakat. Oleh karena itu, mereka membuat laporan atau hadis yang diklaim didapatkan dari para perawi. Baik yang melihat perkataan atau perbuatan Nabi yang kemudian yang kemudian diriwayatkan secara lisan, dengan disertai isnad yang sambung dan terpercaya.
Proses inilah yang dinamakan dengan projection beck. Berawal dari itu Schacht maupun Juynboll yang mengadopsi teorinya berkesimpulan bahwa baik kelompok ahli fiqh dan ahli hadis sema-sama melakukan pemalsuan hadis.m oleh karena itu, tidak ada hadis yang benar-benar dari Nabi. Semua hadis yang ada hanyalah produk yang muncul dari persaingan antara ulama tersebut.
Rounded Rectangle:          Nabi
       Sahabat
         Tabiin
        (Tabiin)
                  Common Link

Periwayat  Periwayat  Periwayat  Periwayat

Koleksi              koleksi       koleksi koleksi     koleksi Koleksi     koleksi koleksi 






 









Inilah karakteristik jalur periwayatan hadis, yakni hampir setiap bandel isnad menunjukkan sebuah jalur tunggal yang nerentang dari nabi hingga para periwayat yang menjadi titik temu yang disebut dengan common link (periwayat bersama yang selanjutnya disebut cl) pada abad II Hijriyah/ VIII Masehi. Dari bundel isnad, tampak bahwa Nabi saw. Telah mengatakan sesuatu kepada orang sahabat yang kemudian sahabat tersebut menyampaikannya kepada seorang tabiin, dan seterusnya. Dalam hal ini, seorang tabiin yang diletakkan dalam sebuah tanda kurang menunjukkan bahwa dalam jalur isnad antara nabi dan cl memiliki dua orang atau lebih tabiin. Dalam sebuah jalur periwayatan, Juynboll mendefinisikan Common link sebagai berikut:
“A common link… is transmitter who hears something from (seldom more than) one authority and passes it on to a number of pupils, most of them pass it on in their turn to two or more of their pupils. In other words, the cl is the oldest transmitter mentioned in a bundel who pases the hadith on to more than one pupil, or again in other terms: where an isnad bundel first start fanning out, there is it cl.”[16]

M. M Azami tidak hanya mempertanyakan interpretasi tentang fenomena common link dan single strand, tetapi juga meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung menyatakan bahwa metode common link dan semua kesimpulan yang dicapai dengannya tidak relevan dan sama sekali tidak berdasar.[17]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa seorang common link adalah pihak yang bertanggungjawab atas munculnya hadis dan isnad-isnadnya.
 IV.            KESIMPULAN
Juynboll dengan teori common link mencoba melakukan sebuah rekontruksi terhadap hadis nabi Muhammmad. Teori yang ia adobsi dari pendahulunya Joseph Schacht tersebut dalam perakteknya mereka meragukan hadis berasal dari nabi. Menurut mereka hadis merupakan buatan seorang common link. Isnad hadis sendiri merupakan hasil rekontruksi mereka, yang mana untuk mendapatkan legitimasi dari umat Islam hadis tersebut disandarkan pada orang-orang sebelumnya yang mempunyai otoritas tinggi. Kemudian hadis tersebut disebarkan oleh common link kepada para partial common link (murid-muridnya) kemudian disebarkan lagi sampai para pengoleksi hadis.
Teori common link berbeda dengan teori konvesional, yang mana teori konvesional memandang kesahihan hadis nabi dari kualitas perawi. Akan tetapi, teori common link memandang kesahihan hadis dengan kuantitas sejarah. Jika common link hadis seorang yang datang setelah abad pertama maka hadisnya perlu ditanyakan, dan bisa dikatakan palsu.
Akan tetapi, M. M Azami menganggap teori tersebut hanyalah imajinasi dari Joseph Schacht yang dikmbangkan oleh Juynboll. Dari salah satu hadis yang ditelusuri oleh Juynboll yang terdapat dalam naskah Suhaili. Yang mana pada penelitiannya Abu Shālih sebagai seorang common link. Akan tetapi, setelah diteliti ternyata para perawi pada kategori ketiga berkisar ada 20-30 orang. Dan tempat tinggal mereka saling berjauhan, sementara teks yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan demikian, mustahil jika para perawi tersebut berkumpul kemudian bersepakat membuat hadis sama.
Kemudian jarang sekali ditemukan hanya perawi tuggal yang meriwayatkan hadis kepada murid-muridnya. Dalam naskah suhail pun jarang ditemukan. Dan tidak mungkin pula seorang al-Zuhri memalsukan suatu hadis yang mana semua ahli hadis sepakat akan kualitas beliau yang Tsiqah. Perlu ada bukti yang kuat jika ingin meragukan ketsiqahan al-Zuhri.