GERAKAN DI/TII
DI INDONESIA
A.
Gagasan
Darul Islam Kartosuwirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo demikian
nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada tanggal 7 januari 1907 di Cepu, sbuah kota
kecil antara blora dan bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur
dengan Jawa Tengah. Berbeda dengan tokoh Islam lainnya, ia tak punya latar
belakang pendidikan agama. Pendidikan formalnya memang dihabiskan dalam sistem
pendidikan Belanda. Kartosoewirjo beruntung, posisi ayahnya sebagai pegawai
pemerintah kolonial Belandi di bidang distribusi penjualan candu, membuat orang
tuanya bisa menyekolahkan dirinya di sekolah Belanda. Ia menyelesaikan
pendidikan SMA nya di ELS (Europeesche Legere School) di bojonegoro. Pada 1923
ia melanjutkan kuliah pada sekolah kedokteran NIAS (Nederlandsch Indische
Artsen School). Disana ia ikut kelas persiapan selama tiga tahun. Pada 1926, ia
mulai kuliah kedokteran. Namun Kartosoewirjo hanya sekolah setahun, karena ia
dikeluarkan dari NIAS dikarenakan memiliki buku-buku sosialis dan komunis.
Pemerintah colonial memang sangat sensitive dengan sesuatu yang berbau komunis,
karena pada 1926, gerakan komunis di Indonesia melakukan pemberontakan (Dangel;
8, 1986).
Buku-buku itu diperoleh dari pamannya Marko Kartodikromo, seorang wartawan
dan sastrawan yang dikenal juga sebagai tokoh komunis. Interaksinya dengan sang
paman inilah yang menumbuhkan kesadaran politik Kartosoewirjo. Sebenarnya sejak
1923 ia sudah aktif digerakan politik dengan bergabung dengan jong jaya
organisasi nasionalis kaum pemuda jawa, di Surabaya. Kemudia pada 1925, pindah
organisasi ke Jong Islamieten Bond (JIB), Organisasi pemuda Islam di Jawa. Dan
tak lama kemudia menjadi ketua cabang JIB di Surabaya. Di organisasi inilah ia
mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh Islam seperti Agus Salim dan Oemar Said
Tjokroaminoto, pemimpin PSI (Partai Syarikat Islam). Lulus sekolah pada 1927.
Tjokroamintoto menawari Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadinya. Tak lama
kemudia ketua PSI itu pindah ke Cimahi, Bandung. Ia pun ikut. Masih ditahun
yang sama dalam kongres PSIHT (Partai Serikat Islam Hindia Timoer) di Pekalongan ia diangkat jadi sekretaris umum
PSIHT.
Saat aktif di PSI inilah. Kartosoewirjo mulai
aktif mempelajari Islam. Namun karena tidak fasih berbahasa Arab. Pengetahuan keislamannya
lebih banyak didapati dari belajar buku-buku Islam berbahasa Belanda. Selain
itu, pada 1930 saat ia istirahat di Malangbong, Garut-karena sakit beri-beri ia
sempat menimba ilmu agama kepada beberapa ulama di Garut. Yang juga para
aktivis PSI, yaitu Kyai Ardiwisastera yang kelak menjadi mertuanya. Kyai Yusuf
Tauziri, Kyai Mustofa Kamil, Kyai Ramli. Kesemua gurunya adalah ulama-ulama
tradisional, bukan ulama modernis, atau penganut faham salafi (Gunawan;
21, 2000). Dari mereka juga Kartosoewirjo mempelajari ilmu tarekat dan
tasawuf, yang kelak pemahaman soal mistik Islam ini akan sangat mempengaruhi
pemikirannya. Diduda saat itu ia juga menjadi pengikut tarekat Qadiriyah
(Suradi; 166, 1997).
Interaksi dengan Tjokroaminoto,
keterlibatannya dengan PSI dan pelajaran agama dari guru-gurunya di Garut
inilah yang membangun pemahaman keislaman Kartosoewirjo. Ia terinspirasi
gagasan Negara Islam yang diperjuangkan oleh PSI dan berusaha memperjuangkannya
(Anhar; 242,2004). PSI memang sebuah partai yang menuntut akan berlakunya
syari’at Islam’ di dalam arti kata yang seluas-luasnya dan
sempurna-sempurnanya. Menurut contoh dan teladan yang nyata di dalam Sunnah
Rasulullah,” PSI sendiri tak sekedar berniat mendirikan Negara Islam di
Indonesia, tapi juga menganut paham pan-islamisme. Pan-islamisme adalah gagasan
untuk menyatukan umat islam sedunia dalam satu sistem kekhalifahan. Dari
pengertian ini. Perjuangan umat Islam di Indonesia adalah bagian dari
perjuangan umat Islam sedunia dalam rangka membebaskan diri dari penjajahan
bangsa asing. Awalnya PSI cukup serius memperjuangkan ide ini. Setelah
kejatuhan khilafah Turki Usmani pada 1924, PSI ikut membentuk komite khilafah,
semacam komite untuk memperjuangkan kembali khilafah dan tokoh PSI Wondoamiseno
menjadi ketuanya. Sementara itu, 1926 Tjokroaminoto bersama KH. Mas Mansyur
dari Muhammadiyah datang ke kongres Muktamar Alam Islami di Mekkah, Arab Saudi
untuk membicarakan kekhalifahan. Tak hanya itu H. Agus Salim, tokoh PSI, juga memimpin
semacam cabang dari Muktamar Alam Islamy di Surabaya. Namun semangat PSI
memperjuangkan pan-islamisme ini belakangan meredup, karena kurangnya perhatian
dari negeri-negeri Islam lainnya (Chaedar; 465, 1999).
Belakangan bersamaan dengan meningkatnya
pemahaman keagamaan Kartosoewirjo-terutama setelah belajar agama kepada para
kiai di Garut-ia semakin yakin pentingnya umat Islam mendirikan sebuah Negara
Islam dimana masyarakatnya dapat melaksanakan syari’at Islam, baik syari’at
yang bersifat pribadi (Syaksiyah) maupun syari’at yang bersifat sosial
(Ijtima’iyah). Ia juga meyakini Negara Islam yang ia sebut Darul Islam bisa
menaikkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Menurutnya, “Sepanjang ajaran
Agama Islam, maka naiknya derajat seseorang Indinesia baik dalam pandangan
Allah maupun dalam pandangan manusia dan sesuatu umat atau bangsa, hanyalah
disebabkan karena suka melakukan hukum-hukum Islam menurut perintah Allah dan
Sunatirosul, dalam arti kata yang sempurna-sempurnanya. Sebaliknya dari pada
itu, maka turunnya harkat martabat manusia dalam pandangan Allah dan pandangan
manusia cuma lantaran membelakangnkan dan membohongi Agama Allah yang
diturunkan kepada nabi penutup, Muhammad SAW. “Ada yang menarik dengan istilah
Darul Ilsam. Dalam sejarah Indonesia Modern, bisa dikatakan Kartosoewirjo lah
yang menggunakan istilah dan menyamakannya dengan Negara Islam, menurut
Muhammad Natsir pada 1930-an istilah itu belum dikenal. Negara Islam belum
dikenal. Negara Islam sering disebut dengan Istilah Negara berdasarkan Islam (Chaedar;
420, 1999).
Lebih jauh Kartosoewirjo juga merumuskan
bagaimana caranya untuk menegakkan Darul Islam di Indonesia. Ia belajar dari
tarikh (Sejarah) perjuangan Muhammad, menurut kunci kemenangannya ada dua
yaitu, hijrah dan jihad.
“Syahdan, maka hijrah itu adalah suatu
perbuatan nabi yang teramat penting, karena sesudah hijrah kaum muslimin dizaman
baru, zaman yang terang cuaca. Karena sorotnya Nur Illahi ke tanah madinah.
Namun untuk meraih kemenangan hijrah saja tidak cukup. Hijrah harus
digandengkan dengan jihad. Soalnya setiap kata hijrah dalam ayat-ayat Al Qur’an
selalu berdampingan dengan kata jihad, oleh karena itu hijrah dan jihad
merupakan dua hal yang harus dilakukan sekaligus. Menurutnya “Hijrah yang tidak
memakai jihad adalah berarti negatif, ibara “Nahi munkar, (mencegah keburukan)
dengan tidak disertai “Amar ma’ruf, (menyerukan kebaikan).”. Namun jihad yang
dimaksud disini tidak sekedar diartikan perang tetapi juga jihad melawan hawa
nafsu, dengan hijrah dan jihad umat Islam di Indonesia bisa meraih kemenangan
(Dangel; 36, 2000).
Apa yang dipahami Kartosoewirjo cukup
mengesankan di zamannya, terutama soal pandangannya terhadap sejarah Nabi. Ia
melihat bahwa tarikh nabi tidak sekedar sejarah, tapi juga sebuah contoh yang
harus ditiru oleh setiap pergerakan Islam. Nampaknya bagi Kartosoewirjo merujuk
pada sunnah Nabi tak sekedar merujuk tata peribadatan menurut hadis shoheh yang
saat itu banyak diperjuangkan oleh organisasi modernis seperti Muhammadiyah. Al
Irsyad atau Persis. Lebih jauh Kartosoewirjo melihat bahwa merujuk pada sunnah
perjuangan Nabi. Karena dia mencoba meletakkan sunnah perjuangan nabi dalam
konteks perjuangan umat Islam di Indonesia. Misalnya saat menyebut bahwa
keberhasilan perjuangan nabi karena hijrah, maka umat Islam di Indonesia juga
harus melakukan hijrah, hijrah dari Makkah Indonesia menuju Madinah Indonesia.
Bila disimpulkan Makkah Indonesia adalah Indonesia yang masih meninggalkan
hukum-hukum Allah sementara Madinah Indonesia adalah Indonesia yang sudah
menerapkan hukum Allah. Hal itu disebutkan HM. Kartosoewirjo dalam tiga bukunya
“Sikap Hijrah PSII 1” “Sikap Hijrah PSII 2” dan “Daftar Oeseha Hijrah” (Al
Chaidar, 1999) cara pandang terhadap sejarah ala Kartosoewirjo ini kelak
menjadi cara pandang banyak tokoh gerakan Islam dibelahan bumi yang lain. Hal
ini misalnya bisa dilihat dari buku Manhaj Haraki karya Syaikh Munir Ghadban,
Ulama Ikhwanul Muslimin, yang mengadopsi sejarah Nabi sebagai strategi gerakan
Islam untuk meraih kemenangan (Suradi; 166, 1997).
Keterlibatkan Kartosoewirjo di PSI juga
membangun watak anti kompromi pada dirinya. Saat Kartosoewirjo bergabung dengan
Syarikat Islam, PSI sedang bersemangat menerapkan politik non-kooperasi
terhadap pemerintah colonial Belanda. Non-kooperasi artinya tidak bekerja sama
dengan pemerintah kolonial Belanda, baik dalam dinas pemerintahanan, maupun semacam
rakyat seperti Volksraad yang dibentuk pemerintah Belanda. Termasuk menolak
bantuan dari pemerintah. Penerapan politik non-kooperasi ini menjadi salah satu
alasan pecahnya hubungan antara Muhammadiyah dengan PSI. Pada akhir 1920-an,
Muhammadiyah dikeluarkan dari PSI. Salahsatu alasannya karena Muhammadiyah
menerima subsidi dana dari pemerintah kolonial Belanda. Watak anti komprominya
terlihat ketika terjadi pertikaian di tubuh PSI antara kubu Abikusno melawan
Haji Agus Salim pada 1936. Agus Salim berpendapat bahwa politik non-kooperatif
PSI harus diakhiri karena akan merugikan partai, sebaliknya Abikusno yang mengambilalih
kepemimpinan partai selepas Tjokroaminoto wafat pada 1934 tetap bersikukuh
untuk menolak politik kooperasi dengan Pemerintah Belanda. Kartosoewirjo berada
dikubu Abikusno yang akhirnya memenangkan pertarungan ini dengan memecat Haji
Agus Salim dan para pengikutnya dari PSI. Namun tiga tahun kemudian, giliran
Kartosoewirjo yang berselisih dengan Abikusno. Ia menolak kebijakan pimpinan
tertinggi partai yang ingin melibatkan PSI dalam gerakan kemerdekaan yang
menuntut Indonesia Parlemen, yaitu suatu gerakan yang menekan Pemerintah
Belanda agar mendirikan lembaga perwakilan rakyat yang punya kekuasaan penuh.
Tak hanya itu, ia juga menolak PSI bergabung di dalam Gabungan Politik
Indonesia (GAPI), suatu federasi dari partai-partai politik Indonesia yang
didirikan pada 1938. Sikap oposisinya itu menyebabkan ia dipecat dari partai
pada 1939. Bagi Kartosuwirjo tuntutan GAPI membentuk parlemen Indonesia,
merupakan sikap kooperasi juga dengan corak yang lain. Sikap Kartosoewirjo ini
didukung para aktivis PSI Garut, yang juga guru dan temannya, seperti Kyai
Jusuf Taujiri dan Kamran (Abas; 90, 2009).
Selepas dikeluarkan dari PSI pada 1939,
Kartosuwirjo pindah ke Malangbong, Garut. Bersama Kyai Jusuf Taujiri dan
Kamran, ia mendirikan komite pertahanan Kebenaran PSII. Komite ini menggunakan
anggaran dasar dan peraturan-peraturan PSII dan menganggap dirinya sebagai
Sarekat Islam yang sebenarnya. Pada 1940, ia membentuk lembaga pengkaderan yang
disebut Institut Suffah. Institut Suffah ini awalnya adalah program PSI yang
tak sempat direalisasikan yang tujuannya:”tempat pendidikan, pengajaran, dan
latihan bagi pemimpin-pemimpin partai untuk menjalankan hukum dan
perintah-perintah Islam. Lembaga ini dibentuk dalam sebuah gaya pesantren
tradisional, di mana para siswanya bertempat tinggal disana. Di sana para siswa
diajarkan ilmu pengetahuan umum, ilmu agama dan ilmu politik. Pendidikan ini
berlangsung selama empat hingga enam bulan, dan setiap angkatan diikuti peserta
antara 30 sampai 50 orang. Kelak, sebagian para alumni Institut Suffah ini
menjadi pengikut setia Kartosoewirjo saat mendirikan gerakan Darul Islam
(Suradi; 156, 1997).
B.
Pemahaman
Jihad Kartosuwirjo
Pengkaderan di Institut Suffah berhenti karena
dibubarkan Jepang yang datang ke Indonesia pada 1942. Pendudukan Jepang di
Indonesia selain mema\bawa kesengsaraan juga membuka peluang bagi Kartosuwirjo
untuk melanjutkan apa yang dikerjakannya di Institut Suffah. Namun kali ini
berbeda, bukan pembentukan kader-kader partai tapi kader-kader militer. Saat
itu jepang memang mengijinkan umat Islam membentuk Hizbullah, semacam milisi
Islam. Tujuannya membantu jepang ketika melawan pihak Sekutu. Kesempatan ini
dimanfaatkan oleh umat Islam. Mereka beramai-ramai membentuk korps militer. Tak
terkecuali Kartosuwirjo yang sudah lama menunggu kesempatan untuk mendirikan
organisasi militer sendiri. Pada 1945 ia segera mengaktifkan kembali lembaga
suffah untuk menggembleng para pemuda yang bergabung dengan Hizbullah. Para
pemuda dipersenjatai dan diberi pelatihan militer (Suradi; 156, 1997).
Pelatihan lascar Hizbullah ini terus dilakukan
oleh Kartosuwirjo dan kawan-kawannya pasca Indonesia merdeka pada 17 Agustus
1945, tepat tiga hari setelah jepang menyerah kalah dalam perang dunia kedua.
Kartosuwirjo memang memperhitungkan akan terjadi perjuangan bersenjata pasca
merdeka. Perhitungan ini cukup beralasan. Pada September 1945, pasukan Inggris
datang ke pulau jawa untuk mengawasi penarikan mundur pasukan Jepang. Bersamaan
dengan pasukan Inggris ikut datang NICA (Netherlands Indies Civil
Administration) yang akan berwenang mengelola pemerintahan sipil di Indonesia.
Bersama NICA, tentara belanda juga menyelinap masuk ke Indonesia, denga hasrat
kembali mengukuhkan kekuasaan colonial Belanda. Kedatangan tentara Inggris dan
Belanda ini mendapat perlawanan keras dari umat Islam (Dangel; 37, 2000).
Umat Islam mendeklarasikan perang sabil alias
perang suci. Pada 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabag Nahdlatul Ulama
(NU) diseluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Pertemuan yang dipimpin
oleh Kyai Haji Hasyim Asyary, ketua NU saat itu, menghasilkan fatwa yang
menyatakan perang mempertahankan kemerdekaan adalah jihad fisabilillah dan
hukumnya fardhu ain alias wajib bagi setiap Muslim. Fatwa itu kemudia popular
dengan sebutan Resolusi Jihad. Segera setelah Resolusi Jihad keluar para kiyai
bersama santrinya dari berbagai daerah memobilisasi laskar-laskar Hizbullah dan
Sabilillah. Mereka kemudia bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya
10 November 1945 meletuskan peperangan sengit selama tiga minggu antara pasukan
Inggris melawan laskar Hizbullah dan Sabilillah. Resolusi Jihad ini kemudian
diikuti fatwa-fatwa serupa berbagai organisasi Islam. Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia) dalam sidangnya di Yogyakarta pada 12 November 1945
mengeluarkan fatwa soal wajibnya umat Islam mempertahankan kemerdekaan dan
berjihad fisabilillah. Beberapa buku soal yang ditulis dalam bahasa Indonesia
yang sengaja diterbitkan saat itu sebagai pegangan para laskar-laskar Islam
seperti Hizbullah dan Sabilillah. Di antaranya buku Penuntuk Perang Sabil
karya M Arsjad Th Lubis. Ulama asal medan dan buku Ilmu Pertahanan Negara dan
Kemiliteran Dalam Islam yang dikarang oleh Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiy,
ulama asal Aceh. Kedua buku itu terbit pada awal 1946. Isi kedua buku ini
sangat mirip dengan ajaran salafy jihadi yang berkembang puluhan tahun kemudian
(Solahudin; 30, 2011).
Dibukunya, Arsyad Lubis menjelaskan hukum
berperang melawan Belanda. Menurutnya hukum jihad menjadi fardhu ain (kewajiban
setiap muslim), ketika musuh memasuki negeri kaum Muslimin. Menurutnya
kewajiban jihad itu tidak hanya untuk warga setempat saja, namun juga wajib
bagi orang-orang yang ada disekelilingnya untuk membantu sampai musuh bisa
terusir. Kalau belum terusir juga, maka wajib bagi warga muslim yang lebih jauh
untuk membantu hingga akhirnya musuh-musuh bisa terusir. Kewajiban ini mengenai
semua orang, tak terkecuali wanita, orang tua hingga anak-anak. Saat jihad menjadi fardhlu ain, anak tak
perlu ijin orang tua untuk berperang, perempuan tak perlu ijin suami begitupun
orang yang punya utang tidak perlu ijin kepada pemberi piutang. Nah, belanda
dihukumi sebagai kafir harbi yang datang untuk menjajah negeri muslim yaitu
Indonesia. Oleh karena itu hukum berperang melawan Belanda menjadi fardhlu
ain. Karenanya menurut penulis, “siapa saja yang turut dalam perang
tersebut dengan niat yang ikhlas, niat akan meninggikan kalimatullah, niat
menuntut pahala dan keridhoan Allah dan niat membinasakan musuh-musuh Allah adalah
ia berperang itu di dalam sabilillah apabila mati terbunuh, matinya syahid
fi sabilillah, syurga menjadi tempatnya.” (Solahudin; 32, 2011).
Apa yang ditulis Arsyad Lubis sama persis
dengan paham salafy jihadi soal jihad fardhlu ain. Jihad menjadi
kewajiban setiap muslim, ketika orang kafir memasuki negeri-negeri Islam. Dan
kewajiban mengenai setiap muslim, termasuk anak-anak dan perempuan. Kedua buku
juga menjelaskan bahwa larangan untuk membunuh binatang, membunuh pendeta,
wanita, anak-anak dan orang tua dalam kondisi tertentu menjadi tidak berlaku.
Salah satu kondisinya mereka yang dilarang untuk dibunuh ikut berperang.
Perempuan, anak-anak, orang tua dan pendeta yang turut berperang dan melakukan
perlawanan boleh dibunuh. Binatang-binatang yang dilakukan untuk keperluan
perang boleh dibunuh. Selain itu, seandainya musuh-musuh menjadikan anak-anak
dan perempuan sebagai perisai, maka kita diizinkan untuk membunuh mereka
seandainya bila tidak dilakukan akan menyebabkan kekalahan. Lebih jauh buku ini
juga menjelaskan status orang Islam yang membela musuh itu boleh diperangi.
Lagi-lagi pemahaman ini sama persis dengan pemahaman dengan kelompok Salafi
Jihadi soal jihad teror yang menganggap bahwa orang-orang yang haram
dibunuh saat perang menjadi halal darahnya, ketika mereka dianggap ikut
berperang atau dijadikan tatarus [perisai] untuk melindungi musuh (Dangel;
32, 2000).
Munculkan euforia jihad ini seperti ada kesadaran baru yang tumbuh
dikalangan umat Islam, sebelum Indonesia merdeka gagasan ini tak cukup bergema.
Padahal jelas yang dilakukan Belanda sebelum jaman Jepang sama persis seperti
yang dilakukan dimasa revolusi, yaitu menduduki negeri-negeri muslim. Mungkin
salah satu alasan utama umat Islam belum jihad untuk berjihad dikarenakan
karena lemahnya pengetahuan soal militer dan serta minimnya persenjataan. Pasca
kemerdekaan, Indonesia mewarisi banyak persenjataan jepang dan juga orang-orang
yang terlatih kemiliteran cukup banyak. Sebelum merdeka, Kartosuwirjo sendiri
menghindar untuk berbicara soal jihad bi ma’na qital. Menurutnya
menyamakan jihad dengan perang adalah upaya Barat untuk mendiskreditkan Islami.
“Mereka mengatakan jihad itu, ialah perang atau perang sabil atau
berbunuh-bunuhan atau lain-lain yang serupa dan semaksud dengan makna itu,
sehingga akhirnya hanya punya perasaan dan anggapan bahwa agama Islam itu
disiarkan dengan pedang!” padahal menurutnya jihad bermakna lebih luas dari
perang dan usaha sungguh-sungguh dijalan Allah serta perang hanyalah jihad asghor
[jihad kecil], sementara jihad akbar [jihad besar] adalah berperang melawan
hawa nafsu. Namun pandangan Kartosuwirjo ini berubah 180 derajat setelah Indonesia
mereka (Dangel; 30, 2000).
Sejak 1947, ia ikut terjun memimpin pasukan
Hizbullah dari Garut melakkukan perang sabil melawan Belanda. Saat itu ia sudah
menganggap jihad sebagai kewajiban bagi setiap muslim. Tak tanggung-tanggung ia
bersama pasukannya juga menerapkan prinsip jihad teror terhadap orang-orang
yang dianggap musuh. Pada 1948, ia memerintahkan anak buahnya melakukan
penculikan dan pembunuhan terhadap semua penghianat agama, negara dan bangsa.
Maret 1948, aksi ini dilakukan para pengikutnya yang tergabung dalam PADI
(Pahlawan Darul Islam). Pelaksanaan aksi ini dijelaskan dalam laporan, “Sejak
keluarnya perintah tersebut, maka tiap-tiap tempat di seluruh priangan, pula
diseluruh Jawa sebelah Barat. Mulailah PADI menjalankan aksinya terhadap
penghianat-penghianat yang menjadi mangsannya. Hama penduduk, kena sasarannya
tukang rebab [pasukan khusus PADI], tidak sedikit bangkai konyol yang
berkaparan di tengah jalan begitu pula yang dihanyutkan di kali-kali, seperti
kali Citanduy, Cimanuk dan sungai-sungai lainnya selalu mengalirkan
bangkai-bangkai yang penuh berlumuran darah kena terkaman mangsanya (Solahudin;
36, 2011).
Dua bulan kemudian, tepat Mei 1948, ia juga
memproklamirkan diri sebagai imam (pemimpin) Negara baru yang ia beri nama
Darul Islam. Inilah pemberontakan daerah pertama yang terjadi setelah Indonesia
merdeka. Pemberontakan ini dilatarbelakangi ketidak puasan Kartosuwirjo
terhadap pemerintah Indonesia yang ditudingnya dikuasai orang-orang komunis dan
sosialis. Lebih-lebih pemerintah baru ini juga dituding telah menghancurkan
negara Indonesia itu sendiri dengan menerima perjanjian-perjanjian dengan
Belanda yang justru merugikan Indonesia. Salah satunya yang membuatnya murka
adalah perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, yang salah satu butirnya
adalah pemerintahan Indonesia mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia sampai
terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). Di mata Kartosuwirjo dengan
disepakatinya perjanjian Renville maka Republik Indonesia sudah bubar, sehingga
dia merasa punya hak untuk mendirikan Negara baru yang sudah menjadi
cita-citanya sejak lama, yaitu Negara Islam Indonesia (Chaedar; 122 1999).
C.
Hari-hari
Terakhir Kartosuwirjo
Sejak Mei 1962 Kartosuwirjo sudah tahu bahwa
perang yang dikobarkan selama 13 tahun bakal berakhir dengan kekalahan. Pada 15
Mei 1962, Kartosuwirjo, mendapat laporan bahwa pasukan-pasukan DI/TII yang
tersebar digunung Cakrabuana, gunung Guntur serta gunung Galunggung telah
kocar-kacir. Tak hanya itu ia juga mendengar kondisi fisik pasukannya kian
lemah, kehabisan tenaga. Kondisi yang tak jauh beda dengan dirinya. Saat itu
sang imam DI ini sedang sakit. Ia menderita penyakit gula serta kurang gizi.
Sembari tergolek lemah. Ia mendapat laporan dari ajudannya bahwa TNI sudah
dekat dengan rombongannya yang berjumlah 46 orang. Muhammad Darda, Komandan
Markas serta Aceng Kurnia, ajudan Kartosuwirjo telah bertekad akan perang
matian-matian kalau musuh datang. “Kalau musuh datang, kita akan tembak.
Menyerah berarti dosa. Kita harus siap yuqtal auy yaqlib [membunuh atau
terbunuh]”, tegas Dodo Muhammad Darda. Mendengar cucapan anaknya itu,
Kartosuwirjo diam sejenak. Setelah itu ia berkata, ”Kondisi saat ini sudah
tidak memenuhi syarat lagi untuk yuqtal au yaqlib.” Seorang pemimpin
bisa memberi komando perang kalau ada tenaga, senjata serta keberanian tempur.
Kalau itu tidak ada yuqtal au yaqlib menjadi dzolim karena tidak
memenuhi syarat. “Dalam kondisi sekarang, kalau musuh datang biar Bapak yang
menghadapi. Urusan-urusan lain bira Bapak yang menyelesaikan. Yang penting
kalian taat kendati tidak ikhlas maupun tidak ridha.” (Chaedar; 98, 1999).
Pada 4 Juni 1962, perjalanan rombongan
Kartosuwirjo telah sampai disebuah lembah antara Gunung Sangkar dan Gunung
Geber, di sekitar Bandung Selatan. Pagi itu hujan deras yang disertai angin
kencang mengguyur daerah itu. Pasukan DI/TII pun memilih berteduh di
tenda-tenda darurat. Tak disangka, terdengar suara tembakan dari bawah bukit.
Pasukan yang berkekuatan tiga peleton itu telah mengepung rombongan sng imam.
Aceng Kurnia segera melapor. Semua pengawal yang berada disekitar sang imam
bersiap-siap dengan senjatanya. Mereka bertekad akan berperang sampai mati.
Aceng Kurnia dan Dodo sudah berada dalam posisi siap tembak. Ketika pasuka TNI
sudah semakin dekat ke tenda yang ditempati Kartosuwirjo, tiba-tiba
Kartosuwirjo yang sedang dalam keadaan berbaring berkata. “Jangan menembak,
kalau mengikuti keinginan Dodo, semua mujahid bakal habis.” Mendengar perintah
ini, Aceng Kurnia dan Dodo pun meletakkan senjatanya. Mereka keluar sambil
angkat tangan. Di luar, mereka disambut oleh Letda Suhanda yang didampingi dua
anggotanya, Amir dan Suhara. Letda Suhanda kemudian menyalami keduanya sambil bertanya.
“Mana Pak Imam?” “itu dia” kata Dodo sambil menunjukan tenda. Suhanda pun masuk
kedalamnya. Kartosuwirjo pun tampak dalam keadaan payah dan berbaring dilantai
gubug itu dan mengenakan jaket militer dan sebuah sarung. Meskipun saat
ditangkap dia berusia 55 tahun, tapi dia kelihatan seperti seorang lelaki tua
yang lebih dari umurnya (Abas; 92, 2009).
Penangkapan Kartosuwirjo menandai berakhirnya
huru hara politik selama 13 tahun yang mengakibatkan kerusakan berat pada
pembangunan Jawa Barat. Produk pertanian menurun tajam, pengungsian
besar-besaran terjadi, hancurnya infrastruktur di daerah-daerah pedalaman.
Jumlah korban penduduk sipil yang terbunuh, luka dan diculik mencapai 22.895
jiwa. Sementara kerugian Negara akibat perang mencapai 650 juta rupiah
(Solahudin; 97, 2011).
Kartosuwirjo dirawat selama dua bulan. Agustus
1962 kondisinya mulai pulih. Pemeriksaan pun dimulai. Tiga kejahatan dituduhkan
kepadanya. Pertama, makar untuk merobohkan Negara Republik Indonesia. Kedua,
pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah. Ketiga, makar untuk membunuh
Sukarno. Dalam sidang yang ketiga, pengadilan memutuskan Kartosuwirjo terbukti
bersalah. Pengadilan menjatuhi hukuman mati. Pada 20 Agustus 1962, Kartosuwirjo
mengajukan grasi. Dalam permohonan grasinya dia menyatakan penyesalan
sebesar-besaranha atas perbuatannya dimasa lalu. Tapi, Sukarno menolak
permintaan grasi bekas temannya itu. (Abas; 92, 2009).
Pada 4 September 1962 Kartosuwirjo meminta
diri kepada keluarganya. Esok harinya dipagi buta 5 september 1962 Kartosuwirjo
dibawa regu penembak ke sebuah pulau di Kepualaun Seribu. Pukul 5.50 pagi
tepat, regu tembak melakukan eksekusi mati. Jenazah Kartosuwirjo pun
dikebumikan di pantai pulau tersebut (Abas; 112, 2009).
BAB III
PENUTUP
Kasus DI/TII adalah contoh terbaik
yang menunjukkan bahwa ajaran yang mirip salafi jihadisme sudah lahir sejak
usia Indonesia masih belia. Dari kasus ini kita juga bisa belajar bahwa situasi
perang menjadi lahan paling subur untuk tumbuhnya gagasan-gagasan jihad. Hal
ini bisa dimengerti karena jihad adalah ajaran suci yang tentu saja habitat
utamanya ada diwilayah perang.
Dalam situasi seperti ini, latar belakang keagamaan menjadi tidak
penting. Baik kelompok tradisionalis maupun modernis bisa dengan segera berubah
menjadi kelompok jihadi. Saat perang revolusi, semua kelompok agama menyerukan
perang sabil melawan belanda. Semuanya sepakat perang melawan Belanda
hukumnya fardhlu ‘ain.
Pada 1962 DI/TII berhasil ditumpas TNI (Tentara Nasional
Indonesia). Kartosuwirjo ditangkap dan dipersidangan dijatuhi hukuman mati atas
kesalahan yang telah diperbuatnya. Kartosuwirjo pun dieksekusi mati pada 5
september 1962 tepat pukul 05.50. Jenazahnya dikebumikan di kepulaian seribu.