Selasa, 15 Desember 2015

hermeneutika dalam memahami hadits


I.            PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan hadits merupakan dasar umat Islam untuk melangkah menuju kebaikan, ketentraman dalam menikmati hidup di dunia ini. Sebagai umat Islam tidak terlepas dari dua dasar tersebut, meskipun ada beberapa golongan yang tidak hanya menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai tolak ukur dalam menjadikan, menetapkan sebagai hukum yang harus dijalankan. Namun dari seluruh golongan tersebut tidak terlepas dari sumber utama dan sumber ke dua, yakni al-Qur’an dan hadits.
Dalam perkembangan zaman, semakin banyaknya manusia dan berbaurnya berbagai macam golongan yang berbeda-beda, khususnya di Negara Indonesia semakin banyak pula masalah-masalah yang timbul dan berkembang di kalangan umat Islam. Memang pada saat ini hadits sebagai sumber pokok ke dua umat Islam namun terkadang isi kandungan yang dijadikan dasar ada yang tidak dapat ditemukan kalau diterapkan dalam menetapkan hukum pada kejadian-kejadian saat ini. Oleh karena itu munculah ulama-ulama yang kontemporer yang tidak lain bertugas sebagai perinci, pengkritik, penafsir dalil atau dasar yang belum dijumpai ketepatan hukumnya.
Untuk menafsirkan sebuah hadits para ulama berbeda-beda, hal ini dikarenakan sudut padang, latar belakang dan metode yang mereka gunakan. pada zaman dahulu seperti Imam Bukhari, Muslim, Tirmizi dan lain sebagainya. Namun dari hadits-hadits yang sudah disusun oleh para periwayat hadits terdahulu kalau diaplikasikan dalam masalah yang muncul kurang begitu tepat dan bahkan tidak ada kebijakan dalam menetapkan hukum Islam, seperti hukum memeakai cadar atau kerudung dan sebagainya.
Makalah ini akan memaparkan sedikit tentang bab yang terkait denganhermeneutika dalam memahami hadits (model pemahaman ulama kontemporer) dalam menetapkan hukum-hukum yang terkait dengan muamalah manusia.


II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Hermeneutika  ?
B.     Bagaimana Sejarah dan Fungsi Hermeneutika ?
C.     Bagaimana Metode Hermeneutika Hadits ?
D.    Bagaimana Prinsip Hermeneutika Hadits ?
E.     Bagaimana Pandangan Fazlur Rahman Tentang Hermeneutika Hadits ?
III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hermeneutika
Kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. Pada awalnya hermeneutik digunakan oleh kalangan agamawan. Melihat hermeneutik dapat menyuguhkan makna teks klasik, maka abad ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna teks injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu terbantu pemecahannya oleh hermeneutika (Sibawaihi, 2007: 6).
Oleh karena itu, dalam posisi tersebut hermeneutika dianggap sebagai metode untuk memahami teks kitab suci. Fakta ini dinisbatkan sebagai langkah awal dalam pertumbuhan hermeneutika, bahwa hermeneutika adalah sebuah gerakan interpretasi atau eksegis di awal perkembangannya.
Besarnya andil hermeneutika dalam memecahkan pemahaman, khususnya dalam bidang interpretasi teks, terkait dengan karakteristik hermeneutika itu sendiri. Sebagai metode interpretasi, hermeneutika tidak hanya mengkaji teks, akan tetapa ia mengkaji segala aspek yang melingkupi terbentuknya teks itu. Mulai dari pembuat teks, teks itu sendiri, hingga  sampai pada pembaca.
Dalam posisi ini , sang penafsir berusaha menyuguhkan teks sebagai sebuah entitas otonom yang terbebas dari segala kepentingan, baik politik dan ideologis. Demikian halnya, hermeneutika berusaha melihat pembuat teks dan pembacanya sebagai dua entitas yang berbeda dalam segala aspeknya. Terkait dengan kitab suci , pembahasan tentang entitas pembuat teks ini tidak lantas berarti Tuhan. Bagaimanapun, Tuhan adalah dimensi yang berbeda dari manusia yang tidak mungkin dapat dicerna.Yang dipelajari adalah dimensi-dimensi psikologis, sosial, dan kultural yang mengitari teks itu diturunkan oleh-Nya. Ini tentu menyangkut penerima teks (Nabi), sang utusan yang dibebankan oleh-Nya untuk menyampaikan teks itu kepada pembaca (umatnya) (Sibawaihi, 2007: 10).  

B.     Sejarah dan Fungsi Hermeneutika.
Hermeneutika muncul di tanah Yunani pada awalnya digunakan sebagai sistem pendidikan yang berkembang pada waktu itu melalui gerakan yang disebut deregionalisai yang dirintis oleh Schleirmacher. (Afandi, 2007: 2).
Dalam perkembangan hadits yang datang jauh sebelum kita, terkadang untuk memahami teks-teks yang ada, sulit bagi kita dalam memahami arti dan maksud yang di tuju. Sedangkan sejarah hermeneutika sebagai teori penafsiran muncul karena terdapat jarak (jarak bahasa, konsep atau ide, jarak waktu, geografis) dapat membantu pemahan kita terhadap hadits. Oleh karena itu kemungkinan yang akan terjadi ialah bermunculan para tokoh hermeneutika, yang siap, mampu menyajikan hadits-hadits tekstual menjadi hadits-hadits kontkstual sehingga bisa kita nikmati dalam bergaya hidup di dunia ini.
Fungsi Sebagai tehnik yang dipergunakan untuk memahami secara benar, hermeneutik berfungsi untuk:
1.      Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks
2.      Membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk kitab suci
3.      Memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum. (Afandi, 2007: 4) .
         Selain fungsi yang telah disebutkan diatas, hermeneutika secara filosofis bertujuan melaksanakan tugasnya secara ontologis, terutama dalam hal yang berhubungan erat antara teks dan pembaca, antara masa lalu dan masa kini yang memungkinkan lahirnya satu pemahaman. (Fanani,  2009: 24).
         Fungsi-fungsi hermeneutika diatas mengingatkan kepada manusia khususnya yang memeluk agama Islam bahwa, betapa pentingnya berperilaku sesuai prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh Allah SWT dan berpijak pada hadits-hadits Nabi saw. Dengan kata lain hukum yang asal mulanya mengekang kebebasan manusia, kini telah di netralisir sehingga dalam menjajaki agama Islam terasa ringan dan nyaman. Di samping itu juga Islam tidak terlihat kolot dan kaku dalam mengklaim dan menjadikan dalil-dalil yang sudah ada.
C.    Metode Hermeneutika Hadits
Apabila hermeneutika merupakan suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan untuk dicari arti dan maknanya, di mana metode hermeneutika mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang (Mushadi, 2009: 28), Maka distansi waktu, tempat dan suasana kultural antara audiens dengan teks perlu diperhatikan agar pemahaman teks hermeneutika hadits dan konteks menjadi signifikan.
Dalam menyelami pemahaman sebuah teks, hermeneutik melalui tiga proses (a tripartite hermeneutical process) yaitu:
1.      Pemahaman (exegesis),
2.      Interpretasi (interoretation),
3.      Hermeneutika (hermeneutics).
Pemahaman  (exegesis), adalah penelitian terhadap makna asli teks berdasarkan waktu dan tempat asalnya dan berdasarakan bahasa aslinya.
Interpretasi (interpretation), adalah melacak makna kontemporer dari makna asli tersebut yang berdasarkan waktu dan tempat asalnya, kemudian diterjemahkan ke-makna yang sesuai dengan keadaan yang berkembang pada masa sekarang.
Sedangkan Hermeneutika (hermeneutics), memformulasi aturan-aturan dan metode-metode dari proses exegesis menuju interpretation, pergeseran makna yang asli (exegesis) menuju makna kontemporer (interpretation). (Fanani, 2009: 24)
hermeneutika merupakan teori pengoperasian pamahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks. Dalam hal ini ada tiga unsur/ pilar utama hermeneutika, yaitu:
1.    Penggagas, (author), komunikator atau subjek yang menyampaikan apa yang ada dalam benaknya dan hendak disampaikan kepada audiens melalui bahasa.
2.    Teks (text), bahasa yang menjadi alat penyampaian, yang menjadi tanda bagi maksud ujaran tersebut.
3.    Pembaca (reader), atau audiens yang menjadi sasaran pengujaran komunikator. (Aksin, 2009: 179).
Secara garis besar, pembahasan hermeneutika berkisar tentang bagaimana memahami sebuah teks yang telah usang tetap relevan untuk dipakai pada saat ini. Terkait dengan hadis, maka matanlah yang menjadi fokus kajian hermeneutika. Sebab matan merupakan bentuk material hadis (isi/mean idea) dari sebuah hadis. Dengan begitu, maksud hadis benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan menyimpang, dalam bahasa Syuhudi Ismail agar jelas mana yang bersifat temporal, kekal, parsial atau lokal sehingga dapat diketahui bagaimana metode pemahaman hadis Nabi dengan mempertimbangkan asbabul wurud.
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks melainkan berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut. Yaitu: horison pengarang, horison teks, horison pembaca. Dengan kata lain, perlu diketahui bagaimana situasi psikologis pembicara (Nabi) dan pendengar (sahabat), bagaimana hubungan antar mereka , apakah dialog berlangsung dalam forum umum atau terbatas. (Fazlur Rahman, 2002: 147). Dari situlah diharapkan adanya upaya pemahaman ataupun penafsiran menjadi kegiatan reproduksi makna teks. Dengan melacak bagaimana teks itu dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang kedalam teks yang dibuatnya, dan juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. (Fahruddin Faiz, 2007: 11)

D.    Prinsip Hermeneutika Hadits
Agar sebuah hadits dapat diterima dan memiliki makna-makna yang releven dengan konteks historis kekinian sehingga dapat berfungsi dan menjawab problem-problem hukum dan kemasyarakatan masa kini, maka suatu penafsiran (hermeneutika) memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Prinsip konfirmatif, yakni seorang mufasir harus selalu mengkonfirmasikan makna hadits dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagai sumber tertinggi ajaran Islam.
2.      Prinsip tematis komprehensif, yakni seorang mufasir mempertimbangkan hadits-hadits lain yang memiliki tema yang relevan sehingga makna yang dihasilkan lebih komprehensif.
3.      Prinsip linguistik, Seorang penafsir memperhatikan prosedur-prosedur gramatikal bahasa arab, karena hadits-hadit Nabi saw berupa bahasa arab.
4.      Prinsip historik, prinsip ini memperhatikan pemahaman terhadap latar situasional masa lampau di mana hadits terlahir baik menyangkut latar sosiologis masyarakat Arab secara umum maupun khusus yang melatar belakangi munculnya hadits.
5.      Prinsip realistik, seorang mufasir selain memahami latar situasi masa lalu juga memahami latar situasional kekinian dengan melihat realitas kaum muslimin yang menyangkut kehidupan, problem, krisis dan kesengsaraan mereka.
6.      Prinsip distingsi etis dan legis, seorang mufasir mampu menangkap dengan jelas nilai-nilai etis yang hendak diwujudkan oleh sebuah teks hadits dari nilai legisnya. Karena pada dasarnya Hadits-hadits Nabi saw tidak bisa hanya dipahami sebagai kumpulan hukum saja, melainkan mengandung nilai-nilai etis yang lebih dalam.
7.      Prinsip distingsi instrumental (wasilah) dan intensional (ghayah), Seorang mufasir mampu membedakan antara cara yang ditempuh Nabi saw dalam menyelesaikan problematika hukum dan kemasyarakatan pada masanya serta tujuan asasi yang hendak diwujudkan Nabi ketika memunculkan haditsnya. (Musahadi, 2000: 153-154)
E.     Pandangan Fazlur Rahman Tentang Hermeneutika Hadits
Fazlur Rahman seorang intelektual Muslim asal Pakistan yang mengklaim dirinya sebagai tokoh yang berdiri di barisan neo-modernisme berpandangan, bahwa umat Islam mengalami krisis metodologi yang tampaknya sebagai sebab bagi mundurnya pemikiran Islam. Pada periode pertama masa sahabat, umat Islam menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah yang sifatnya sangat dinamis dan historis, akan tetapi, pada masa selanjutnya pemikiran keagamaan umat Islam menjadi normatif yang sifatnya kaku dan formal yang menghasilkan pemikiran yang bersifat dogmatis. Rahman menjelaskan bahwa umat muslim saat ini  harus mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk ‘sunnah yang hidup’ melalui kerangka studi historis dan sosiologis terhadapnya. Dengan menggunakan analisis historis-sosiologis tersebut, maka sunnah akan betul-betul hidup dan selaras dengan perubahan-perubahan kondisi sosial moral umat muslim hingga akhir zaman.  (Musahadi, 2000: 149)
Meminjam teori Fazlur Rahman, penafsiran Al-Qur’an (teks keagamaan) terdiri dari dua gerakan ganda, dari situasi sekarang kemasa Al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi kemasa kini. Al-Qur’an adalah  respon Ilahi melalui ingatan Nabi Saw dan pikiran beliau, kepada situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi. Yang pertama dari dua gerakan diatas terdiri dari dua langkah, yaitu
1.      Orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Mekkah harus dilakukan.
2.      Menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pertnyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring  dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio historis dan rationes logis yang sering dinyatakan.
Gerakan yang kedua, harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasi sekarang. Artinya ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan dalam konteks sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang, ini memerlukan kajian yang cermat atas berbagai situasi sekarang dan analisisi berbagai unsur komponennya, sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an secara baru pula. Demikian pula halnya yang harus diterapakan terhadap hadits-hadits Nabi. (Zuhad, 2011: 196)
Contoh hermeneutika hadits.

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ
لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة
Mengabarkan kepada kita utsman ibn haitsam mengabarkan kepada kita ‘Auf dari Khasan dari Abi Bakroh dia berkata: Sungguh aku telah memperoleh manfaat dari Allah dengan satu kalimat (ucapan) yang telah aku dengar dari Rasulullah saw. pada waktu perang jamal setelah aku hampir bertemu dengan pendukung pengendara unta (Aisyah) sehingga aku akan berperang bersama mereka. Ia berkata bahwa ketika sampai kepada Rasulullah saw. berita bahwa penduduk persia telah mengangkat sebagai penguasa mereka anak perempuan Kisra, belia bersabda : “sama sekali tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”(maktabah syamilah, shahih bukhori)
Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan bahwa nama perempuan yang diangkat menjadi ratu adalah Bauran binti Syirawaih ibn Kisra ibn Hurmuz. Ceritanya bahwa Syirawaih telah membunuh ayahnya sendiri. Ketika ayahnya mengetahui bahwa anaknya mempunyai rencana untuk membunuhnya, maka ia juga membuat siasat untuk membunuh anaknya setelah kematiannya, dengan cara meracunnya secara rahasia. Syirawaih berkuasa selama enam bulan setelah kematian ayahnya, karena terkena racun. Setelah kematian Syirawaih, maka tidak ada saudara laki-lakinya  yang menggantikannya, karena dia telah membunuh saudara-saudaranya itu, dalam rangka untuk menjaga kekuasaanya, dan yang tersisa hanyalah saudara perempuan dan anak perempuan yang bernama Buran, mereka tidak menginginkan kerajaan itu dipegang oleh orang luar maka dari itu mereka mengangkat bauran menjadi pengganti Syirawaih.
Sejarah menyebutkan bahwa ketika negeri Persia sedang berada di ambang kehancuaran menghadapi hantaman bertubi-tubi pasukan Islam, pada waktu itu ia diperintah oleh suatu sistem monarchi yang bobrok dan totaliter. agama mereka adalah watsaniyah. Keluarga kerajaan tidak mengenal sistem permusyawaratan dan tidak menghormati pendapat apapun yang berlawanan dengan pendapat mereka. Hubungan antara mereka dan rakyat sangat buruk. Adakalanya di seseorang diantara mereka membunuh ayahnya atau saudaranya sendiri demi mencapai apa yang diinginkannya. Dalam itu, ketika pasukan Persia telah dipaksa mundur, dan luas wilayahnya makin menyempit, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada seorang jenderal yang piawai yang mungkin dapat menghentikan kekalahan demi kekalahan. Namun, paganisme politik telah menjadikan rakyat dan negara sebagai harta warisan yang diterimakan kepada seorang perempuan muda yang tidak tahu apa-apa. Hal itulah yang menandakan bahwa negeri Persia sedang menuju kehancuran total. Dalam mengomentari  keadaan itulah, Nabi saw yang bijak, mengucapkan  “tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan” yang benar-benar melukiskan keadaan sesungguhnya waktu itu. Seandainya perempuan yang diangkat untuk menduduki singgasana kepemimpinan mereka adalah perempuan yang cakap dan kuat, maka komentar nabi saw akan berbeda dengan yang ada sekarang  sebagaimana tertulis dalam hadits. (Zuhad, 2011: 219-221)
Pernyataan Nabi saw bahwa suatu kaum tidak akan sukses jika menyerahkan urusannnya kepada perempuan, sifatnya hanya temporal dan kondisional. Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, di masa kita sekarang apabila ada perempuan yang cakap, kuat dan tangung jawab maka tidak ada lagi kekhawatiran perempuan untuk menjadi pemimpin.
IV.            Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat disimpulakan, apabila ada suatu masalah yang dalilnya tidak tepat untuk diambil keputusan maka kiranya seorang muslim mempertimbangkan, mengkaji lagi dasar yang mereka pakai agar dapat diterima dengan lapang dada. Upaya ini dilakukan oleh para ulama-ulama hadits kontemporer dengan segala kemampuannya untuk menyajikan sebuah hadits yang lebih konsumtif dan tidak berbelit-belit. Melalui sudut pandang, cara penafsiran, penerapan hadits mereka maka munculah hadits-hadits kontekstual, yakni pengembangan pemikiran dari teks-teks yang ada di dalam Al-Qur’an maupun hadits, baik secara terpisah maupun secara terpadu.
V.            Penutup
Demikianlah makalah ini dibuat. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih dapat menerima penyempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya.Amin. . .
                                                DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Abdullah Khozin,  Hermeneutika, (Surabaya: Alfha, 2007).

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks Dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Qalam, 2007)

Fanani, Muhyar, Ilmu ushul Fiqih Di Mata Filsafat Ilmu  (Wali Songo PressSemarang: 2009).

Ham, Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah, (Semarang : Aneka Ilmu, 2000)

Mushadi, Hermeneutika Hadits-hadits Hukum Mempertimbangkan Gagasan Fazlur Rahman, Cet. I, (Walisongo Press, Semarang: 2009).

Rahman, Fazlur  dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer, ( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002)

Sibawaihi, Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman, (Bandung: Jalasutra, 2007).

Wijaya, Aksin, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)


Zuhad, Metode Pemahaman Hadis Mukhtalif Asbab al-wurud, (Semarang : Rasai Media Group, 2011)