I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan hadits merupakan dasar umat Islam
untuk melangkah menuju kebaikan, ketentraman dalam menikmati hidup di dunia
ini. Sebagai umat Islam tidak terlepas dari dua dasar tersebut, meskipun ada
beberapa golongan yang tidak hanya menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai
tolak ukur dalam menjadikan, menetapkan sebagai hukum yang harus dijalankan.
Namun dari seluruh golongan tersebut tidak terlepas dari sumber utama dan
sumber ke dua, yakni al-Qur’an dan hadits.
Dalam perkembangan zaman, semakin banyaknya
manusia dan berbaurnya berbagai macam golongan yang berbeda-beda, khususnya di
Negara Indonesia semakin banyak pula masalah-masalah yang timbul dan berkembang
di kalangan umat Islam. Memang pada saat ini hadits sebagai sumber pokok ke dua
umat Islam namun terkadang isi kandungan yang dijadikan dasar ada yang tidak
dapat ditemukan kalau diterapkan dalam menetapkan hukum pada kejadian-kejadian
saat ini. Oleh karena itu munculah ulama-ulama yang kontemporer yang tidak lain
bertugas sebagai perinci, pengkritik, penafsir dalil atau dasar yang belum
dijumpai ketepatan hukumnya.
Untuk menafsirkan sebuah hadits para ulama
berbeda-beda, hal ini dikarenakan sudut padang, latar belakang dan metode yang
mereka gunakan. pada zaman dahulu seperti Imam Bukhari, Muslim, Tirmizi dan
lain sebagainya. Namun dari hadits-hadits yang sudah disusun oleh para
periwayat hadits terdahulu kalau diaplikasikan dalam masalah yang muncul kurang
begitu tepat dan bahkan tidak ada kebijakan dalam menetapkan hukum Islam,
seperti hukum memeakai cadar atau kerudung dan sebagainya.
Makalah ini akan memaparkan sedikit tentang bab
yang terkait denganhermeneutika dalam memahami hadits (model
pemahaman ulama kontemporer) dalam menetapkan hukum-hukum yang
terkait dengan muamalah manusia.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Apa Pengertian Hermeneutika
?
B. Bagaimana Sejarah dan
Fungsi Hermeneutika ?
C. Bagaimana
Metode Hermeneutika Hadits ?
D. Bagaimana
Prinsip Hermeneutika Hadits ?
E. Bagaimana Pandangan Fazlur
Rahman Tentang Hermeneutika Hadits ?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hermeneutika
Kata
hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein,
yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. Pada awalnya hermeneutik digunakan
oleh kalangan agamawan. Melihat hermeneutik dapat menyuguhkan makna teks
klasik, maka abad ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk
membongkar makna teks injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa
dan pesan kitab suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu terbantu
pemecahannya oleh hermeneutika (Sibawaihi, 2007: 6).
Oleh karena
itu, dalam posisi tersebut hermeneutika dianggap sebagai metode untuk memahami
teks kitab suci. Fakta ini dinisbatkan sebagai langkah awal dalam pertumbuhan
hermeneutika, bahwa hermeneutika adalah sebuah gerakan interpretasi atau
eksegis di awal perkembangannya.
Besarnya andil
hermeneutika dalam memecahkan pemahaman, khususnya dalam bidang interpretasi
teks, terkait dengan karakteristik hermeneutika itu sendiri. Sebagai metode
interpretasi, hermeneutika tidak hanya mengkaji teks, akan tetapa ia mengkaji
segala aspek yang melingkupi terbentuknya teks itu. Mulai dari pembuat teks,
teks itu sendiri, hingga sampai pada
pembaca.
Dalam posisi
ini , sang penafsir berusaha menyuguhkan teks sebagai sebuah entitas otonom
yang terbebas dari segala kepentingan, baik politik dan ideologis. Demikian
halnya, hermeneutika berusaha melihat pembuat teks dan pembacanya sebagai dua
entitas yang berbeda dalam segala aspeknya. Terkait dengan kitab suci ,
pembahasan tentang entitas pembuat teks ini tidak lantas berarti Tuhan.
Bagaimanapun, Tuhan adalah dimensi yang berbeda dari manusia yang tidak mungkin
dapat dicerna.Yang dipelajari adalah dimensi-dimensi psikologis, sosial, dan
kultural yang mengitari teks itu diturunkan oleh-Nya. Ini tentu menyangkut
penerima teks (Nabi), sang utusan yang dibebankan oleh-Nya untuk menyampaikan
teks itu kepada pembaca (umatnya) (Sibawaihi, 2007: 10).
B. Sejarah dan
Fungsi Hermeneutika.
Hermeneutika muncul di tanah Yunani pada awalnya digunakan sebagai sistem pendidikan
yang berkembang pada waktu itu melalui gerakan yang disebut deregionalisai
yang dirintis oleh Schleirmacher. (Afandi, 2007: 2).
Dalam perkembangan hadits yang datang jauh
sebelum kita, terkadang untuk memahami teks-teks yang ada, sulit bagi kita
dalam memahami arti dan maksud yang di tuju. Sedangkan sejarah hermeneutika sebagai
teori penafsiran muncul karena terdapat jarak (jarak bahasa, konsep atau ide,
jarak waktu, geografis) dapat membantu pemahan kita terhadap hadits. Oleh
karena itu kemungkinan yang akan terjadi ialah bermunculan para tokoh
hermeneutika, yang siap, mampu menyajikan hadits-hadits tekstual menjadi
hadits-hadits kontkstual sehingga bisa kita nikmati dalam
bergaya hidup di dunia ini.
Fungsi Sebagai tehnik yang dipergunakan untuk
memahami secara benar, hermeneutik berfungsi untuk:
1. Membantu mendiskusikan
bahasa yang digunakan teks
2. Membantu mempermudah
menjelaskan teks, termasuk kitab suci
3. Memberi arahan untuk
masalah yang terkait dengan hukum. (Afandi, 2007: 4) .
Selain
fungsi yang telah disebutkan diatas, hermeneutika secara
filosofis bertujuan melaksanakan tugasnya secara ontologis,
terutama dalam hal yang berhubungan erat antara teks dan pembaca, antara masa
lalu dan masa kini yang memungkinkan lahirnya satu pemahaman. (Fanani, 2009: 24).
Fungsi-fungsi hermeneutika diatas
mengingatkan kepada manusia khususnya yang memeluk agama Islam bahwa, betapa
pentingnya berperilaku sesuai prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh Allah SWT
dan berpijak pada hadits-hadits Nabi saw. Dengan kata lain hukum yang asal
mulanya mengekang kebebasan manusia, kini telah di netralisir sehingga dalam
menjajaki agama Islam terasa ringan dan nyaman. Di samping itu juga Islam tidak
terlihat kolot dan kaku dalam mengklaim dan menjadikan dalil-dalil yang sudah
ada.
C. Metode Hermeneutika
Hadits
Apabila hermeneutika merupakan
suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu
yang diperlakukan untuk dicari arti dan maknanya, di mana
metode hermeneutika mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan
masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang (Mushadi,
2009: 28), Maka distansi waktu, tempat dan suasana kultural antara audiens
dengan teks perlu diperhatikan agar pemahaman teks hermeneutika hadits
dan konteks menjadi signifikan.
Dalam menyelami pemahaman sebuah teks,
hermeneutik melalui tiga proses (a tripartite hermeneutical process)
yaitu:
1. Pemahaman (exegesis),
2. Interpretasi (interoretation),
3. Hermeneutika (hermeneutics).
Pemahaman (exegesis), adalah
penelitian terhadap makna asli teks berdasarkan waktu dan tempat asalnya dan
berdasarakan bahasa aslinya.
Interpretasi (interpretation), adalah
melacak makna kontemporer dari makna asli tersebut yang berdasarkan waktu dan
tempat asalnya, kemudian diterjemahkan ke-makna yang sesuai dengan keadaan yang
berkembang pada masa sekarang.
Sedangkan Hermeneutika (hermeneutics),
memformulasi aturan-aturan dan metode-metode dari proses exegesis menuju interpretation,
pergeseran makna yang asli (exegesis) menuju makna kontemporer (interpretation).
(Fanani, 2009: 24)
hermeneutika merupakan teori pengoperasian pamahaman
dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks. Dalam hal ini ada
tiga unsur/ pilar utama hermeneutika, yaitu:
1. Penggagas, (author),
komunikator atau subjek yang menyampaikan apa yang ada dalam benaknya dan
hendak disampaikan kepada audiens melalui bahasa.
2. Teks (text), bahasa yang
menjadi alat penyampaian, yang menjadi tanda bagi maksud ujaran tersebut.
3. Pembaca (reader), atau
audiens yang menjadi sasaran pengujaran komunikator. (Aksin, 2009: 179).
Secara garis besar, pembahasan hermeneutika
berkisar tentang bagaimana memahami sebuah teks yang telah usang tetap relevan
untuk dipakai pada saat ini. Terkait dengan hadis, maka matanlah yang menjadi
fokus kajian hermeneutika. Sebab matan merupakan bentuk material hadis (isi/mean
idea) dari sebuah hadis. Dengan begitu, maksud hadis benar-benar menjadi
jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan menyimpang, dalam bahasa Syuhudi
Ismail agar jelas mana yang bersifat temporal, kekal, parsial atau lokal
sehingga dapat diketahui bagaimana metode pemahaman hadis Nabi dengan
mempertimbangkan asbabul wurud.
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika
tidak hanya memandang teks melainkan berusaha menggali makna dengan
mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut. Yaitu: horison
pengarang, horison teks, horison pembaca. Dengan kata lain, perlu diketahui
bagaimana situasi psikologis pembicara (Nabi) dan pendengar (sahabat),
bagaimana hubungan antar mereka , apakah dialog berlangsung dalam forum umum
atau terbatas. (Fazlur Rahman, 2002: 147).
Dari situlah diharapkan adanya upaya
pemahaman ataupun penafsiran menjadi kegiatan reproduksi makna teks. Dengan
melacak bagaimana teks itu dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang
masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang kedalam teks yang dibuatnya, dan juga
berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi
saat teks tersebut dibaca atau dipahami. (Fahruddin
Faiz, 2007: 11)
D. Prinsip Hermeneutika Hadits
Agar sebuah
hadits dapat diterima dan memiliki makna-makna yang releven dengan konteks
historis kekinian sehingga dapat berfungsi dan menjawab problem-problem hukum
dan kemasyarakatan masa kini, maka suatu penafsiran (hermeneutika)
memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Prinsip konfirmatif, yakni
seorang mufasir harus selalu mengkonfirmasikan makna hadits dengan
petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagai sumber tertinggi ajaran Islam.
2.
Prinsip tematis
komprehensif, yakni seorang mufasir mempertimbangkan hadits-hadits lain yang
memiliki tema yang relevan sehingga makna yang dihasilkan lebih komprehensif.
3.
Prinsip linguistik, Seorang
penafsir memperhatikan prosedur-prosedur gramatikal bahasa arab, karena
hadits-hadit Nabi saw berupa bahasa arab.
4.
Prinsip historik, prinsip
ini memperhatikan pemahaman terhadap latar situasional masa lampau di mana
hadits terlahir baik menyangkut latar sosiologis masyarakat Arab secara umum
maupun khusus yang melatar belakangi munculnya hadits.
5.
Prinsip realistik, seorang
mufasir selain memahami latar situasi masa lalu juga memahami latar situasional
kekinian dengan melihat realitas kaum muslimin yang menyangkut kehidupan,
problem, krisis dan kesengsaraan mereka.
6.
Prinsip distingsi etis dan
legis, seorang mufasir mampu menangkap dengan jelas nilai-nilai etis yang
hendak diwujudkan oleh sebuah teks hadits dari nilai legisnya. Karena pada
dasarnya Hadits-hadits Nabi saw tidak bisa hanya dipahami sebagai kumpulan
hukum saja, melainkan mengandung nilai-nilai etis yang lebih dalam.
7.
Prinsip distingsi
instrumental (wasilah) dan intensional (ghayah), Seorang mufasir mampu
membedakan antara cara yang ditempuh Nabi saw dalam menyelesaikan problematika
hukum dan kemasyarakatan pada masanya serta tujuan asasi yang hendak diwujudkan
Nabi ketika memunculkan haditsnya. (Musahadi, 2000: 153-154)
E. Pandangan Fazlur Rahman
Tentang Hermeneutika Hadits
Fazlur Rahman seorang intelektual Muslim asal Pakistan
yang mengklaim dirinya sebagai tokoh yang berdiri di barisan neo-modernisme
berpandangan, bahwa umat Islam mengalami krisis metodologi yang tampaknya
sebagai sebab bagi mundurnya pemikiran Islam. Pada periode pertama masa sahabat,
umat Islam menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah yang sifatnya sangat dinamis dan
historis, akan tetapi, pada masa selanjutnya pemikiran keagamaan umat Islam
menjadi normatif yang sifatnya kaku dan formal yang menghasilkan pemikiran yang
bersifat dogmatis. Rahman menjelaskan bahwa umat muslim saat ini harus
mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk ‘sunnah yang hidup’
melalui kerangka studi historis dan sosiologis terhadapnya. Dengan menggunakan
analisis historis-sosiologis tersebut, maka sunnah akan betul-betul hidup dan
selaras dengan perubahan-perubahan kondisi sosial moral umat muslim hingga
akhir zaman. (Musahadi, 2000: 149)
Meminjam teori Fazlur Rahman, penafsiran
Al-Qur’an (teks keagamaan) terdiri dari dua gerakan ganda, dari situasi sekarang
kemasa Al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi kemasa kini. Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui ingatan Nabi Saw dan
pikiran beliau, kepada situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi. Yang pertama
dari dua gerakan diatas terdiri dari dua langkah, yaitu
1. Orang harus memahami arti
atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem
historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Sebelum
mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi makro dalam batasan-batasan
masyarakat, agama, adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan kehidupan secara
menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Mekkah
harus dilakukan.
2. Menggeneralisasikan
jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai
pertnyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat
disaring dari ayat-ayat spesifik dalam
sinaran latar belakang sosio historis dan rationes logis yang sering dinyatakan.
Gerakan yang kedua, harus dilakukan dari
pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasi
sekarang. Artinya ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan dalam
konteks sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang, ini memerlukan kajian
yang cermat atas berbagai situasi sekarang dan analisisi berbagai unsur
komponennya, sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi
sekarang sejauh yang diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk
bisa mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an secara baru pula. Demikian pula
halnya yang harus diterapakan terhadap hadits-hadits Nabi. (Zuhad, 2011: 196)
Contoh hermeneutika hadits.
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ
قَالَ
لَقَدْ نَفَعَنِي
اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ
الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ
كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة
Mengabarkan kepada kita utsman ibn haitsam
mengabarkan kepada kita ‘Auf dari Khasan dari Abi Bakroh dia berkata: Sungguh
aku telah memperoleh manfaat dari Allah dengan satu kalimat (ucapan) yang telah
aku dengar dari Rasulullah saw. pada waktu perang jamal setelah aku hampir
bertemu dengan pendukung pengendara unta (Aisyah) sehingga aku akan berperang
bersama mereka. Ia berkata bahwa ketika sampai kepada Rasulullah saw. berita
bahwa penduduk persia telah mengangkat sebagai penguasa mereka anak perempuan
Kisra, belia bersabda : “sama sekali tidak akan sukses suatu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”(maktabah syamilah, shahih bukhori)
Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan bahwa nama
perempuan yang diangkat menjadi ratu adalah Bauran binti Syirawaih ibn Kisra
ibn Hurmuz. Ceritanya bahwa Syirawaih telah membunuh ayahnya sendiri. Ketika
ayahnya mengetahui bahwa anaknya mempunyai rencana untuk membunuhnya, maka ia
juga membuat siasat untuk membunuh anaknya setelah kematiannya, dengan cara
meracunnya secara rahasia. Syirawaih berkuasa selama enam bulan setelah
kematian ayahnya, karena terkena racun. Setelah kematian Syirawaih, maka tidak
ada saudara laki-lakinya yang
menggantikannya, karena dia telah membunuh saudara-saudaranya itu, dalam rangka
untuk menjaga kekuasaanya, dan yang tersisa hanyalah saudara perempuan dan anak
perempuan yang bernama Buran, mereka tidak menginginkan kerajaan itu dipegang
oleh orang luar maka dari itu mereka mengangkat bauran menjadi pengganti
Syirawaih.
Sejarah menyebutkan bahwa ketika negeri Persia
sedang berada di ambang kehancuaran menghadapi hantaman bertubi-tubi pasukan
Islam, pada waktu itu ia diperintah oleh suatu sistem monarchi yang bobrok dan
totaliter. agama mereka adalah watsaniyah. Keluarga kerajaan tidak mengenal
sistem permusyawaratan dan tidak menghormati pendapat apapun yang berlawanan
dengan pendapat mereka. Hubungan antara mereka dan rakyat sangat buruk.
Adakalanya di seseorang diantara mereka membunuh ayahnya atau saudaranya
sendiri demi mencapai apa yang diinginkannya. Dalam itu, ketika pasukan Persia
telah dipaksa mundur, dan luas wilayahnya makin menyempit, sebenarnya masih ada
kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada seorang jenderal yang piawai
yang mungkin dapat menghentikan kekalahan demi kekalahan. Namun, paganisme
politik telah menjadikan rakyat dan negara sebagai harta warisan yang
diterimakan kepada seorang perempuan muda yang tidak tahu apa-apa. Hal itulah
yang menandakan bahwa negeri Persia sedang menuju kehancuran total. Dalam
mengomentari keadaan itulah, Nabi saw
yang bijak, mengucapkan “tidak akan
sukses suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan” yang
benar-benar melukiskan keadaan sesungguhnya waktu itu. Seandainya perempuan
yang diangkat untuk menduduki singgasana kepemimpinan mereka adalah perempuan
yang cakap dan kuat, maka komentar nabi saw akan berbeda dengan yang ada
sekarang sebagaimana tertulis dalam
hadits. (Zuhad, 2011: 219-221)
Pernyataan Nabi saw bahwa suatu kaum tidak akan
sukses jika menyerahkan urusannnya kepada perempuan, sifatnya hanya temporal
dan kondisional. Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, di masa
kita sekarang apabila ada perempuan yang cakap, kuat dan tangung jawab maka
tidak ada lagi kekhawatiran perempuan untuk menjadi pemimpin.
IV.
Kesimpulan
Dari
keterangan diatas dapat disimpulakan, apabila ada suatu masalah yang dalilnya
tidak tepat untuk diambil keputusan maka kiranya seorang muslim
mempertimbangkan, mengkaji lagi dasar yang mereka pakai agar dapat diterima
dengan lapang dada. Upaya ini dilakukan oleh para ulama-ulama hadits
kontemporer dengan segala kemampuannya untuk menyajikan sebuah hadits yang
lebih konsumtif dan tidak berbelit-belit. Melalui sudut pandang, cara
penafsiran, penerapan hadits mereka maka munculah hadits-hadits kontekstual,
yakni pengembangan pemikiran dari teks-teks yang ada di dalam Al-Qur’an
maupun hadits, baik secara terpisah maupun secara terpadu.
V.
Penutup
Demikianlah makalah ini dibuat.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih dapat menerima penyempurnaan. Untuk
itu kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya.Amin. . .
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Abdullah Khozin, Hermeneutika, (Surabaya:
Alfha, 2007).
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Qur’ani;
Antara Teks, Konteks Dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Qalam, 2007)
Fanani, Muhyar, Ilmu ushul Fiqih Di Mata Filsafat Ilmu (Wali
Songo PressSemarang: 2009).
Ham, Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah, (Semarang :
Aneka Ilmu, 2000)
Mushadi, Hermeneutika Hadits-hadits Hukum Mempertimbangkan Gagasan
Fazlur Rahman, Cet. I, (Walisongo Press, Semarang: 2009).
Rahman, Fazlur dkk, Wacana Studi Hadis
Kontemporer, ( Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 2002)
Sibawaihi, Hermeneutika
Alquran Fazlur Rahman, (Bandung: Jalasutra, 2007).
Wijaya, Aksin, Arah Baru Studi Ulum
Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009)
Zuhad, Metode Pemahaman Hadis
Mukhtalif Asbab al-wurud, (Semarang : Rasai Media Group, 2011)