Minggu, 30 Oktober 2016

Etika Bisnis Islam



Etika Bisnis Islam

1.   Pengertian Etika

        Secara etimologi (bahasa) “etika “ berasal dari kata bahasa Yunani ethos . Dalam bentuk tunggal, “ethos” berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, perasan, cara berpikir. Dalam bentuk jamak, ta etha berarti adat kebiasaan. Dalam istilah   filsafat, etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak.[1] Dalam al-Quran etika berasal dari kata khuluq yang berarti kebiasaan atau perangai.[2]

        Etika menurut terminologi merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai, baik, buruk, harus, benar, salah dan lain sebagainya dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita untuk mengaplikasikan atas apa saja. Di sini etika dimaknai sebagai dasar moralitas seseorang dan di saat bersamaan juga sebagai filsufnya dalam berperilaku.[3] Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normatif karena ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh seorang individu.[4]

        Dengan demikian ada persamaan antara etika dan moralitas. Moralitas berasal dari bahasa latin ‟Mos’ yang dalam bentuk jamaknya „Mores’ berarti adat istiadat atau kebiasaan. Jadi, pengertian pertama secara harfiahnya, etika dan moralitas, sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia   yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang konsisten dan berulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan.[5]

Namun ada pula perbedaannya yaitu etika berkaitan dengan kelakuan manusia, atau dapat dikatakan bahwa etika adalah ilmu kritis yang mempertanyakan dasar rasionalitas sistem-sistem moralitas yang ada. Dengan kata lain etika bersifat teori, sedangkan moralitas adalah sistem nilai mengenai bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia.[6] Dengan kata lain moralitas lebih banyak bersifat praktis, etika merupakan tingkah laku manusia secara umum(universal) sedangkan moral bersifat lokal, lebih khusus.[7]

Menurut Magnis Susno yang dikutip oleh Johan Arifin berpendapat bahwa etika adalah sebuah ilmu dan bukan ajaran. Yang memberi kita norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas. Sedangkan etika justru melakukan refleksi kritis atau norma atau ajaran moral tertentu. Moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan dan pengejawantahan secara kritis dan   rasional ajaran moral yang siap pakai itu. Keduanya mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi kita orientasi bagaimana dan kemana kita harus melangkah dalam hidup ini. Tetapi bedanya, moralitas langsung mengatakan kepada kita.[8]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa etika merupakan tata cara perilaku manusia dalam melakukan kegiatan yang mana kegiatan yang dilakukan oleh manusia menunjukkan perbuatan yang baik maupun buruk, dan saling berhubungan antara satu dengan yang lain.

2.   Pengertian Bisnis

        Dalam hal bisnis; terdapat dua pengertian pokok mengenai bisnis, pertama, bisnis merupakan kegiatan-kegiatan. Dan kedua, bisnis merupakan sebuah perusahaan. Para ahli pun mendefinisikan bisnis dengan cara berbeda. Definisi Raymond E. Glos seperti yang dikutif Husein Umar, dianggap memiliki cakupan yang paling luas, yakni :[9]

“bisnis merupakan seluruh kegiatan yang diorganisasikan oleh orang - orang yang berkecimpung dalam bidang perniagaan dan industri yang menyediakan barang dan jasa untuk kebutuhan mempertahankan dan memperbaiki standar serta kualitas hidup mereka...”.

Menurut Skinner sebagaimana dikutip oleh Johan Arifin bisnis adalah pertukaran barang, jasa atau uang yang saling menguntungkan dan memberi manfaat.[10] Menurut Buchari Alma, bisnis adalah sejumlah total usaha yang meliputi pertanian, produksi, konstruksi, distribusi, transportasi, komunikasi, usaha jasa dan pemerintah, yang bergerak dalam bidang membuat dan memasarkan barang dan jasa kepada konsumen.[11]

Dari beberapa pengertian di atas peneliti dapat menyimpulkan bisnis adalah suatu kegiatan tukar menukar barang atau jasa yang dilakukan seseorang atau kelompok untuk memenuhi kebutuhannya dan memperoleh keuntungan melalui kegiatan tersebut.

3.  Etika Bisnis Islami
Sebelum membahas tentang Etika Bisnis Islam lebih jauh, perlu diketahui tentang etika bisnis. Etika bisnis adalah studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah.  Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Standar etika bisnis tersebut diterapkan dalam sistem dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa yang diterapkan orang-orang yang ada di dalam organisasi.[12]  Menurut Johan Arifin, etika bisnis adalah seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar, dan salah dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas. Dalam arti lain etika bisnis juga bisa dikatakan sebagai seperangkat prinsip dan  norma   dimana   para   pelaku  bisnis   harus mempunyai komitmen dalam melakukan sebuah transaksi, berperilaku, dan juga berelasi guna mencapai tujuan bisnisnya dengan selamat. Dengan demikian maka sangat perlu sekali untuk memahami pentingnya kegunaan etika dalam berbisnis. Hal  itu dimaksudkan agar seseorang terutama pelaku bisnis mempunyai bekal untuk berbuat the right thing yang dilandasi dengan semangat keilmuan, kesadaran, serta kondisi yang berlandaskan pada nilai-nilai moralitas.[13]
Etika memiliki peran penting dalam dunia bisnis ketika masyarakat memahami kegiatan bisnis tujuan utamanya memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Etika dalam Islam bertujuan mengajarkan manusia untuk menjalin kerjasama, tolong menolong dan menjauhkan diri dari sikap iri, dengki, dan dendam serta hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat Islam.[14]
Bisnis Islami adalah upaya pengembangan modal untuk kebutuhan hidup yang dilakukan dengan mengindahkan etika Islam. Selain menetapkan etika, Islam juga mendorong umat manusia untuk mengembangkan bisnis.[15] Bisnis Islami juga dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai  bentuknya  yang  tidak  dibatasi  jumlah kepemilikan (barang/jasa)termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram. Sesuai dalam firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah: 188:






Jadi sesuai dengan pernyataan diatas Etika bisnis Islam menurut Mustaq Ahmad adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak yang bertujuan untuk mendidik moralitas manusia dalam perdagangan yang meliputi baik perdagangan barang maupun perdagangan jasa yang mengacu pada Al-Qur‟an dan Hadits.[16] Menurut A. Hanafi dan Hamid  Salam  sebagaimana dikutip oleh Johan Arifin, etika bisnis Islam merupakan nilai-nilai etika Islam dalam aktivitas bisnis yang  telah disajikan dalam perspektif Al-Qur‟an dan Hadist, yang bertumpu pada 6 prinsip, yaitu kebenaran, kepercayaan, ketulusan, persaudaraan, pengetahuan, dan keadilan.[17] Dan perilaku bisnis Islami tercermin dalam perilaku Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan roda bisnisnya selalu memiliki motivasi dan perilaku Qur‟an, perlunya berwawasan kedepan dan menekankan perlunya perencanaan, hal itu sebagaimana firman Allah SWT QS. Al- Hasyr : 18













Etika bisnis Islam memposisikan bisnis sebagai usaha manusia untuk mencari ridha Allah SWT. Oleh karenanya, bisnis tidak bertujuan jangka pendek, individual dan semata-mata keuntungan yang berdasarkan kalkulasi matematika, tetapi bertujuan jangka pendek sekaligus jangka panjang, yaitu tanggung jawab pribadi dan sosial dihadapan masyarakat, Negara dan Allah SWT. Oleh karena itu, pada prinsipnya pengetahuan akan etika bisnis dalam pandangan Islam mutlak harus dimiliki oleh setiap para pebisnis/  pedagang terutama pebisnis/pedagang muslim dalam menghadapi persaingan usaha yang sekarang telah memasuki era globalisasi untuk menghindari diri dari berbagai macam tindakan yang dilarang oleh Allah SWT.
4.  Fungsi Etika Bisnis Islam
Pada dasarnya terdapat fungsi khusus yang diemban oleh etika bisnis Islami. Pertama, etika bisnis berupaya mencari cara untuk menyelaraskan dan menyerasikan  berbagai kepentingan dalam dunia bisnis. Kedua, etika bisnis juga    mempunyai    peran    untuk    senantiasa      melakukan perubahan kesadaran bagi masyarakat tentang bisnis, terutama bisnis Islami. Dan caranya biasanya dengan memberikan  suatu pemahaman serta cara pandang baru tentang pentingnya bisnis dengan menggunakan landasan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas, yang kemudian terangkum dalam suatu bentuk yang bernama etika bisnis. Ketiga, etika bisnis terutama etika bisnis Islami juga bisa berperan memberikan satu solusi terhadap berbagai persoalan bisnis modern ini yang kian jauh dari nilai-nilai etika. Dalam arti bahwa bisnis yang beretika harus benar-benar merujuk pada sumber utamanya yaitu Al Qur‟an dan sunnah.[18]




5.  Prinsip - prinsip etika Bisnis Islam
Prinsip adalah asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya).[19] Dalam pelaksanaan etika bisnis ada beberapa prinsip yang harus dianut oleh pelaku etika bisnis. Maka prinsip-prinsip dapat dirinci dengan kategori yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a.        Prinsip Unity (Tauhid)
           Menurut Syed Nawab Naqwi R. Lukman Fauroni, kesatuan di sini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang    ekonomi,    politik,    da    sosial    menjadi suatu homogeneous whole atau keseluruhan homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh.[20] Konsep tauhid (dimensi vertikal) berarti Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa menetapkan batas-batas tertentu atas perilaku manusia sebagai khalifah, untuk memberikan manfaat pada individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya.[21] Dari konsep tauhid mengintegrasikan aspek religius, dengan aspek-aspek lainnya, seperti ekonomi, akan mendorong manusia ke dalam suatu keutuhan yang selaras, konsisten, dalam dirinya, dan selalu merasa diawasi oleh Tuhan. Dalam konsep ini akan menimbulkan perasaan dalam diri manusia bahwa ia akan merasa direkam segala aktivitas kehidupannya, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Karena Allah SWT mempunyai sifat Raqib (Maha Mengawasi) atas seluruh gerah langkah aktivitas kehidupan makhluk ciptaan-Nya.[22]
           Penerapan konsep ini, maka pengusaha muslim dalam    melakukan    aktivitas    bisnisnya    tidak     akan melakukan paling tidak tiga hal[23] sebagai berikut: pertama, menghindari adanya diskriminasi terhadap pekerja, pemasok, pembeli atau siapa pun atas dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin, atau agama. Kedua, menghindari terjadinya praktek-praktek kotor bisnis, hal ini dimaksudkan agar para pelaku bisnis senantiasa takut akan segala larangan yang telah digariskan. Ketiga, menghindari praktek menimbun kekayaan atau harta benda.
b.        Prinsip Keseimbangan (keadilan/ Equilibrium)
     Keseimbangan adalah menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam, dan berhubungan dengan harmoni segala sesuatu di alam semesta.[24] 45Prinsip kedua ini lebih menggambarkan dimensi kehidupan pribadi yang bersifat horizontal. Hal itu disebabkan karena lebih banyak berhubungan dengan sesama. Prinsip keseimbangan (Equilibrium) yang berisikan ajaran keadilan merupkan salah satu prinsip dasar harus dipegang oleh siapapun dalam kehidupannya.
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali kepada pihak yang tidak disukai. Pengertian adil dalam Islam diarahkan agar hak orang lain, hak lingkungan sosial, hak alam semesta dan hak Allah dan Rasulnya berlaku sebagai stakeholder dari perilaku adil seseorang. Semua hak-hak tersebut harus ditempatkan sebagaimana mestinya (sesuai aturan syariah). Tidak mengakomodir salah satu hak di atas, dapat menempatkan seseorang tersebut pada kezaliman. Karenanya orang yang adil akan lebih dekat kepada ketakwaan.[25]
Dengan demikian jelas bahwa keseimbangan merupakan landasan pikir kesadaran dalam pendayagunaan dan pengembangan harta benda agar harta benda tidak menyebabkan kebinasaan bagi manusia melainkan bagi menjadi media menuju kesempurnaan  jiwa manusia menjadi khalifah.

c.        Prinsip Kehendak Bebas (ikhtiar/free will)
    Pada tingkat tertentu, manusia diberikan kehendak bebas untuk mengendalikan kehidupannya sendiri manakala Allah SWT menurunkannnya ke bumi. Dengan tanpa mengabaikan kenyataan bahwa ia sepenuhnya dituntun oleh hukum yang diciptakan Allah SWT, ia diberikan kemampuan untuk berpikir dan membuat keputusan, untuk memilih apapun jalan hidup yang ia inginkan, dan yang paling penting, untuk bertindak berdasarkan aturan apapun yang ia pilih. Tidak seperti halnya ciptaan Allah SWT yang lain di alam semesta, ia dapat memilih perilaku etis ataupun tidak etis yang akan  ia jalankan.[26]
Pasar Islami harus bisa menjamin adanya kebebasan pada masuk atau keluarnya sebuah komoditas di pasar.  Hal ini dimaksudkan untuk menjadi adanya pendistribusian kekuatan ekonomi dalam sebuah mekanisme yang proporsional. Namun, dalam Islam tentunya kehendak bebas dan berlaku bebas dalam menjalankan roda bisnis harus benar-benar dilandaskan pada aturan-aturan syariah. Tidak diperkenankan melakukan persaingan dengan cara-cara yang kotor dan bisa merugikan orang banyak.
Konsep ini dalam aktivitas ekonomi mengarahkan kepada kebaikan setiap kepentingan untuk seluruh komunitas Islam dengan adanya larang bentuk monopoli, kecurangan, dan praktik riba adalah jaminan terhadap terciptanya   suatu   mekanisme   pasar   yang   sehat   dan persamaan peluang untuk berusaha tanpa adanya keistimewaan-keistimewaan pada pihak-pihak tertentu. Manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini memang dibekali potensi kehendak bebas dalam melakukan  apa saja demi mencapai tujuannya lebih dari itu potensi kebebasan yang telah dianugerahkan Allah hendaknya dijadikan sebagai sarana untuk mengarahkan serta membimbing manusia menuju kehidupan yang lebih baik sesuai aturan-aturan syari‟ah. Berdasarkan hal tersebut, kemudian berkehendak atau berlaku bebas dapat diterapkan pada semua aspek kehidupan ini, tak terkecuali dalam dunia perekonomian khususnya bisnis.

d.        Prinsip Pertanggungjawaban (responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggungjawabkan tindakannya.[27] Dalam dunia bisnis pertanggungjawaban juga sangat berlaku. Setelah melaksanakan segala aktifitas bisnis dengan berbagai bentuk kebebasan, bukan berarti semuanya selesai saat tujuan yang dikehendaki    tercapai, atau ketika sudah mendapatkan keuntungan. Semua itu perlu adanya pertanggungjawaban atas apa yang telah pebisnis lakukan, baik itu pertanggungjawaban ketika ia bertransaksi, memproduksi barang, melakukan jual beli, melakukan perjanjian dan lain sebagainya, semuanya harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan yang berlaku.[28] Tanggung jawab merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia. Bahkan merupakan kekuatan dinamis individu menciptakan satu kehidupan yang dinamis dalam masyarakat.
Konsepsi tanggung jawab dalam Islam mempunyai sifat terlapis ganda dan terfokus baik dari tingkat mikro (individual) maupun tingkat makro (organisasi dan sosial), yang kedua- duanya harus dilakukan secara bersama-sama. Menurut Sayyid Qutub Islam mempunyai prinsip pertanggung jawaban yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya. antara jiwa dan raga, antara person dan keluarga, individu dan sosial antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.[29]

e.        Prinsip Kebajikan (Ihsan)
           Ihsan (kebajikan) artinya melaksanakan perbuatan baik yang memberikan manfaat kepada orang lain,   tanpa adanya kewajiban tertentu yang mengharuskan perbuatan tersebut atau dengan kata lain beribadah dan berbuat baik seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu yakinlah bahwa Allah melihat.[30] Keihsanan adalah tindakan terpuji yang dapat mempengaruhi hampir setiap aspek dalam hidup, keihsanan adalah atribut yang selalu mempunyai tempat terbaik disisi Allah. Kedermawanan hati (leniency) dapat terkait dengan keihsanan. Jika diekspresikan dalam bentuk perilaku kesopanan dan kesantunan, pemaaf, mempermudah kesulitan yang dialami orang lain.
           Dalam pandangan Islam sikap ini sangat dianjurkan. Aplikasinya, menurut al-Ghazali terdapat tiga prinsip pengejawantahan kebajikan: Pertama, memberi kelonggaran waktu kepada pihak terutang untuk membayar utangnya, jika perlu mengutangi utangnya. Kedua, menerima pengembalian barang yang sudah dibeli. Ketiga, membayar utang sebelum waktu penagihan tiba. Dalam sebuah kerajaan bisnis, terdapat sejumlah perbuatan yang dapat mensupport pelaksanaan aksioma ihsan dalam bisnis,[31]
1)      Kemurahan hati (leniency)
2)      Motif pelayanan (service motives)
3)      Kesadaran akan adanya Allah dan aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan yang menjadi prioritas



[1]Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2009,Cet .1, h.173.
[2] Muhammad,   Etika   Bisnis   Islami,   Yogyakarta:   UPP-AMP YKPN, 2004, h. 38.
[3] Faisal Badroen, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2006, h. 4.
[4] Rafik Issa Beekum, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2004, h.3.
[5] Agus arijanto, Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, h. 5.
[6] Johan  Arifin,  Etika  Bisnis  Islami,  Semarang:  Walisongo Press, 2009, h.9.
[7] Buchari Alma, Ajaran Islam Dalam Bisnis, Bandung: CV ALFABETA, 1994 h.51
[8] Buchari Alma, Ajaran Islam Dalam Bisnis, hlm. 9-10
[9] Husein Umar, Business an Introduction, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000),hlm.3

[10] Arifin, Etika …, h. 20.
[11] Buchari Alma, Pengantar Bisnis: Bandung: Alfa Beta, 1993, h. 3.
[12] Veithzal Rival, dkk, Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2002, h. 4.
[13] Arifin, Etika ..., h. 22.
[14] Yusuf Qordhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press,1997, h. 5.
[15] Bambang   Subandi,   Bisnis   sebagai   strategi   Islam, Surabaya:Paramedia,2000,h .65.
[16] Mustaq   Ahmad,   Etika   Bisnis   Dalam   Islam,   Jakarta,  Pustaka Al-Kautsar, 2001, h. 152.
[17] Arifin, Etika....., h. 74.

[18] Arifin, Etika      ...., h. 76.

[19] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 896 .
[20] R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006, h. 144
[21] Faisal Badroen,  Etika  Bisnis  dalam  Islam,  Jakarta: Prenada Media Group, 2006, h. 89.
[22] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, Malang: UIN Malang Press, 2007, h.13.
[23] Rafik Issa Beekum, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 15-16
[24]  Muhammad,  Etika  Bisnis  Islami,  Yogyakarta:  UPP  AMP  YKPN,2004, h. 55
[25] Djakfar, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam h. 91
[26] Muhammad, Etika ..., h.56.
[27] Rafik Issa,....h. 40
[28]Johan Arifin, Etika Bisnis Islami, Semarang: Walisongo Press, 2009, h. 144
[29] Rafik Issa,..., h.41.
[30] Rafik Issa,...h.
[31] Achmad Charris Zubbir, Kuliah Etika, Jakarta: Rajawali Press,1995, Ed. III