Etika Bisnis Islam
1. Pengertian Etika
Secara etimologi (bahasa) “etika “ berasal dari kata bahasa Yunani ethos . Dalam bentuk tunggal, “ethos” berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, perasan, cara berpikir. Dalam bentuk jamak, ta etha berarti adat kebiasaan. Dalam istilah filsafat, etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak.[1] Dalam al-Quran etika berasal dari kata khuluq yang berarti kebiasaan atau perangai.[2]
Etika menurut terminologi merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai, baik, buruk, harus, benar, salah dan lain sebagainya dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita untuk mengaplikasikan atas apa saja. Di sini etika dimaknai sebagai dasar moralitas seseorang dan di saat bersamaan juga sebagai filsufnya dalam berperilaku.[3] Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normatif karena ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh seorang individu.[4]
Dengan demikian ada persamaan antara etika dan moralitas. Moralitas berasal dari bahasa latin ‟Mos’ yang dalam bentuk jamaknya „Mores’ berarti adat istiadat atau kebiasaan. Jadi, pengertian pertama secara harfiahnya, etika dan moralitas, sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang konsisten dan berulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan.[5]
Namun ada pula perbedaannya yaitu etika berkaitan dengan kelakuan manusia, atau dapat dikatakan bahwa etika adalah ilmu kritis yang mempertanyakan dasar rasionalitas sistem-sistem moralitas yang ada. Dengan kata lain etika bersifat teori, sedangkan moralitas adalah sistem nilai mengenai bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia.[6] Dengan kata lain moralitas lebih banyak bersifat praktis, etika merupakan tingkah laku manusia secara umum(universal) sedangkan moral bersifat lokal, lebih khusus.[7]
Menurut
Magnis Susno yang dikutip oleh Johan Arifin berpendapat bahwa etika adalah
sebuah ilmu dan bukan ajaran. Yang memberi kita norma tentang bagaimana kita
harus hidup adalah moralitas. Sedangkan etika justru melakukan refleksi kritis
atau norma atau ajaran moral tertentu. Moralitas adalah petunjuk konkret yang
siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika adalah
perwujudan dan pengejawantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai itu.
Keduanya mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi kita orientasi bagaimana dan
kemana kita harus melangkah dalam hidup ini. Tetapi bedanya, moralitas langsung
mengatakan kepada kita.[8]
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa etika merupakan
tata cara perilaku manusia dalam melakukan kegiatan yang mana kegiatan yang
dilakukan oleh manusia menunjukkan perbuatan yang baik maupun buruk, dan saling
berhubungan antara satu dengan yang lain.
2. Pengertian Bisnis
Dalam hal bisnis; terdapat dua pengertian pokok mengenai bisnis, pertama, bisnis merupakan kegiatan-kegiatan. Dan kedua, bisnis merupakan sebuah perusahaan. Para ahli pun mendefinisikan bisnis dengan cara berbeda. Definisi Raymond E. Glos seperti yang dikutif Husein Umar, dianggap memiliki cakupan yang paling luas, yakni :[9]
“bisnis merupakan seluruh kegiatan yang diorganisasikan oleh orang - orang yang berkecimpung dalam bidang perniagaan dan industri yang menyediakan barang dan jasa untuk kebutuhan mempertahankan dan memperbaiki standar serta kualitas hidup mereka...”.
Menurut Skinner sebagaimana dikutip oleh Johan Arifin bisnis adalah pertukaran barang, jasa atau uang yang saling menguntungkan dan memberi manfaat.[10] Menurut Buchari Alma, bisnis adalah sejumlah total usaha yang meliputi pertanian, produksi, konstruksi, distribusi, transportasi, komunikasi, usaha jasa dan pemerintah, yang bergerak dalam bidang membuat dan memasarkan barang dan jasa kepada konsumen.[11]
Dari beberapa pengertian di atas peneliti
dapat menyimpulkan bisnis adalah suatu kegiatan tukar menukar barang atau jasa
yang dilakukan seseorang atau kelompok untuk memenuhi kebutuhannya dan
memperoleh keuntungan melalui kegiatan tersebut.
3. Etika Bisnis Islami
Sebelum
membahas tentang Etika Bisnis Islam lebih jauh, perlu diketahui tentang etika
bisnis. Etika bisnis adalah studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar
dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada
standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku
bisnis. Standar etika bisnis tersebut diterapkan dalam sistem dan organisasi
yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang
dan jasa yang diterapkan orang-orang yang ada di dalam organisasi.[12] Menurut Johan Arifin, etika bisnis adalah
seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar, dan salah dalam dunia bisnis
berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas. Dalam arti lain etika bisnis juga
bisa dikatakan sebagai seperangkat prinsip dan
norma dimana para
pelaku bisnis harus mempunyai komitmen dalam melakukan
sebuah transaksi, berperilaku, dan juga berelasi guna mencapai tujuan bisnisnya
dengan selamat. Dengan demikian maka sangat perlu sekali untuk memahami
pentingnya kegunaan etika dalam berbisnis. Hal
itu dimaksudkan agar seseorang terutama pelaku bisnis mempunyai bekal
untuk berbuat the right thing yang
dilandasi dengan semangat keilmuan, kesadaran, serta kondisi yang berlandaskan
pada nilai-nilai moralitas.[13]
Etika
memiliki peran penting dalam dunia bisnis ketika masyarakat memahami kegiatan
bisnis tujuan utamanya memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Etika dalam
Islam bertujuan mengajarkan manusia untuk menjalin kerjasama, tolong menolong
dan menjauhkan diri dari sikap iri, dengki, dan dendam serta hal-hal yang tidak
sesuai dengan syariat Islam.[14]
Bisnis Islami adalah upaya pengembangan modal
untuk kebutuhan hidup yang dilakukan dengan mengindahkan etika Islam. Selain
menetapkan etika, Islam juga mendorong umat manusia untuk mengembangkan bisnis.[15]
Bisnis Islami juga dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam
berbagai bentuknya yang
tidak dibatasi jumlah kepemilikan (barang/jasa)termasuk
profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya
karena aturan halal dan haram. Sesuai dalam firman Allah SWT dalam Q.S.
Al-Baqarah: 188:
Jadi sesuai dengan pernyataan diatas Etika
bisnis Islam menurut Mustaq Ahmad adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak yang bertujuan untuk
mendidik moralitas manusia dalam perdagangan yang meliputi baik perdagangan
barang maupun perdagangan jasa yang mengacu pada Al-Qur‟an dan Hadits.[16]
Menurut A. Hanafi dan Hamid Salam sebagaimana dikutip oleh Johan Arifin, etika
bisnis Islam merupakan nilai-nilai etika Islam dalam aktivitas bisnis yang telah disajikan dalam perspektif Al-Qur‟an
dan Hadist, yang bertumpu pada 6 prinsip, yaitu kebenaran, kepercayaan,
ketulusan, persaudaraan, pengetahuan, dan keadilan.[17]
Dan perilaku bisnis Islami tercermin dalam perilaku Nabi Muhammad SAW dalam
menjalankan roda bisnisnya selalu memiliki motivasi dan perilaku Qur‟an,
perlunya berwawasan kedepan dan menekankan perlunya perencanaan, hal itu
sebagaimana firman Allah SWT QS. Al- Hasyr : 18
Etika
bisnis Islam memposisikan bisnis sebagai usaha manusia untuk mencari ridha
Allah SWT. Oleh karenanya, bisnis
tidak bertujuan jangka pendek, individual dan semata-mata keuntungan yang
berdasarkan kalkulasi matematika, tetapi bertujuan jangka pendek sekaligus
jangka panjang, yaitu tanggung jawab pribadi dan sosial dihadapan masyarakat,
Negara dan Allah SWT. Oleh karena
itu, pada prinsipnya pengetahuan akan etika bisnis dalam pandangan Islam mutlak
harus dimiliki oleh setiap para pebisnis/
pedagang terutama pebisnis/pedagang muslim dalam menghadapi persaingan
usaha yang sekarang telah memasuki era globalisasi untuk menghindari diri dari
berbagai macam tindakan yang dilarang oleh Allah SWT.
4. Fungsi Etika Bisnis Islam
Pada
dasarnya terdapat fungsi khusus yang diemban oleh etika bisnis Islami. Pertama, etika bisnis berupaya mencari
cara untuk menyelaraskan dan menyerasikan
berbagai kepentingan dalam dunia bisnis. Kedua, etika bisnis juga
mempunyai peran untuk
senantiasa melakukan perubahan kesadaran bagi
masyarakat tentang bisnis, terutama bisnis Islami. Dan caranya biasanya dengan
memberikan suatu pemahaman serta cara
pandang baru tentang pentingnya bisnis dengan menggunakan landasan nilai-nilai
moralitas dan spiritualitas, yang kemudian terangkum dalam suatu bentuk yang
bernama etika bisnis. Ketiga, etika
bisnis terutama etika bisnis Islami juga bisa berperan memberikan satu solusi
terhadap berbagai persoalan bisnis modern ini yang kian jauh dari nilai-nilai
etika. Dalam arti bahwa bisnis yang beretika harus benar-benar merujuk pada
sumber utamanya yaitu Al Qur‟an dan sunnah.[18]
5. Prinsip - prinsip etika Bisnis Islam
Prinsip
adalah asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan
sebagainya).[19]
Dalam pelaksanaan etika bisnis ada beberapa prinsip yang harus dianut oleh
pelaku etika bisnis. Maka prinsip-prinsip dapat dirinci dengan kategori yang
akan dijelaskan sebagai berikut:
a.
Prinsip
Unity
(Tauhid)
Menurut Syed Nawab Naqwi R. Lukman Fauroni,
kesatuan di sini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid
yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi,
politik, da sosial
menjadi suatu homogeneous whole atau keseluruhan
homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh.[20]
Konsep tauhid (dimensi vertikal) berarti Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa menetapkan batas-batas
tertentu atas perilaku manusia sebagai khalifah, untuk memberikan manfaat pada
individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya.[21]
Dari konsep tauhid mengintegrasikan aspek religius, dengan aspek-aspek lainnya,
seperti ekonomi, akan mendorong manusia ke dalam suatu keutuhan yang selaras,
konsisten, dalam dirinya, dan selalu merasa diawasi oleh Tuhan. Dalam konsep ini akan menimbulkan
perasaan dalam diri manusia bahwa ia akan merasa direkam segala aktivitas
kehidupannya, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Karena Allah SWT mempunyai
sifat Raqib (Maha Mengawasi) atas seluruh gerah langkah aktivitas kehidupan
makhluk ciptaan-Nya.[22]
Penerapan
konsep ini, maka pengusaha muslim dalam
melakukan aktivitas bisnisnya
tidak akan melakukan paling
tidak tiga hal[23]
sebagai berikut: pertama, menghindari
adanya diskriminasi terhadap pekerja, pemasok, pembeli atau siapa pun atas
dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin, atau agama. Kedua, menghindari terjadinya
praktek-praktek kotor bisnis, hal ini dimaksudkan agar para pelaku bisnis
senantiasa takut akan segala larangan yang telah digariskan. Ketiga, menghindari praktek menimbun
kekayaan atau harta benda.
b.
Prinsip
Keseimbangan (keadilan/ Equilibrium)
Keseimbangan adalah menggambarkan dimensi
horizontal ajaran Islam, dan berhubungan dengan harmoni segala sesuatu di alam
semesta.[24]
45Prinsip
kedua ini lebih menggambarkan dimensi kehidupan pribadi yang bersifat
horizontal. Hal itu disebabkan karena lebih banyak berhubungan dengan sesama.
Prinsip keseimbangan (Equilibrium)
yang berisikan ajaran keadilan merupkan salah satu prinsip dasar harus dipegang
oleh siapapun dalam kehidupannya.
Dalam
beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam
mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali kepada pihak yang tidak
disukai. Pengertian adil dalam Islam diarahkan agar hak orang lain, hak
lingkungan sosial, hak alam semesta dan hak Allah dan Rasulnya berlaku sebagai
stakeholder dari perilaku adil seseorang. Semua hak-hak tersebut harus
ditempatkan sebagaimana mestinya (sesuai
aturan syariah). Tidak mengakomodir salah satu hak di atas, dapat menempatkan
seseorang tersebut pada kezaliman. Karenanya orang yang adil akan lebih dekat
kepada ketakwaan.[25]
Dengan
demikian jelas bahwa keseimbangan merupakan landasan pikir kesadaran dalam
pendayagunaan dan pengembangan harta benda agar harta benda tidak menyebabkan
kebinasaan bagi manusia melainkan bagi menjadi media menuju kesempurnaan jiwa manusia menjadi khalifah.
c.
Prinsip
Kehendak Bebas (ikhtiar/free will)
Pada tingkat tertentu, manusia diberikan
kehendak bebas untuk mengendalikan kehidupannya sendiri manakala Allah SWT
menurunkannnya ke bumi. Dengan tanpa mengabaikan kenyataan bahwa ia sepenuhnya
dituntun oleh hukum yang diciptakan Allah SWT,
ia diberikan kemampuan untuk berpikir dan membuat keputusan, untuk
memilih apapun jalan hidup yang ia inginkan, dan yang paling penting, untuk
bertindak berdasarkan aturan apapun yang ia pilih. Tidak seperti halnya ciptaan
Allah SWT yang lain di alam semesta, ia dapat memilih perilaku etis ataupun
tidak etis yang akan ia jalankan.[26]
Pasar
Islami harus bisa menjamin adanya kebebasan pada masuk atau keluarnya sebuah
komoditas di pasar. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi
adanya pendistribusian kekuatan ekonomi dalam sebuah mekanisme yang
proporsional. Namun, dalam Islam tentunya kehendak bebas dan berlaku bebas
dalam menjalankan roda bisnis harus benar-benar dilandaskan pada aturan-aturan
syariah. Tidak diperkenankan
melakukan persaingan dengan cara-cara yang kotor dan bisa merugikan orang banyak.
Konsep ini dalam aktivitas ekonomi mengarahkan
kepada kebaikan setiap kepentingan untuk seluruh komunitas Islam dengan adanya
larang bentuk monopoli, kecurangan, dan praktik riba adalah jaminan terhadap
terciptanya suatu mekanisme
pasar yang sehat
dan persamaan peluang untuk berusaha tanpa adanya
keistimewaan-keistimewaan pada pihak-pihak tertentu. Manusia sebagai khalifah
dimuka bumi ini memang dibekali potensi kehendak bebas dalam melakukan apa saja demi mencapai tujuannya lebih dari
itu potensi kebebasan yang telah dianugerahkan Allah hendaknya dijadikan
sebagai sarana untuk mengarahkan serta membimbing manusia menuju kehidupan yang
lebih baik sesuai aturan-aturan syari‟ah. Berdasarkan hal tersebut, kemudian
berkehendak atau berlaku bebas dapat diterapkan pada semua aspek kehidupan ini,
tak terkecuali dalam dunia perekonomian khususnya bisnis.
d.
Prinsip
Pertanggungjawaban (responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang
mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya
pertanggungjawaban. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia
perlu mempertanggungjawabkan tindakannya.[27]
Dalam dunia bisnis pertanggungjawaban juga sangat berlaku. Setelah melaksanakan
segala aktifitas bisnis dengan berbagai bentuk kebebasan, bukan berarti
semuanya selesai saat tujuan yang dikehendaki
tercapai, atau ketika sudah mendapatkan keuntungan. Semua itu perlu
adanya pertanggungjawaban atas apa yang telah pebisnis lakukan, baik itu
pertanggungjawaban ketika ia bertransaksi, memproduksi barang, melakukan jual
beli, melakukan perjanjian dan lain sebagainya, semuanya harus
dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan yang berlaku.[28]
Tanggung jawab merupakan suatu
prinsip dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia. Bahkan merupakan
kekuatan dinamis individu menciptakan satu kehidupan yang dinamis dalam
masyarakat.
Konsepsi
tanggung jawab dalam Islam mempunyai sifat terlapis ganda dan terfokus baik
dari tingkat mikro (individual) maupun tingkat makro (organisasi dan sosial),
yang kedua- duanya harus dilakukan secara bersama-sama. Menurut Sayyid Qutub
Islam mempunyai prinsip pertanggung jawaban yang seimbang dalam segala bentuk
dan ruang lingkupnya. antara jiwa dan raga, antara person dan keluarga,
individu dan sosial antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.[29]
e.
Prinsip
Kebajikan (Ihsan)
Ihsan (kebajikan) artinya
melaksanakan perbuatan baik yang memberikan manfaat kepada orang lain, tanpa adanya kewajiban tertentu yang
mengharuskan perbuatan tersebut atau dengan kata lain beribadah dan berbuat
baik seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu yakinlah bahwa Allah melihat.[30]
Keihsanan adalah tindakan terpuji yang dapat mempengaruhi hampir setiap aspek
dalam hidup, keihsanan adalah atribut yang selalu mempunyai tempat terbaik
disisi Allah. Kedermawanan hati (leniency) dapat terkait dengan keihsanan. Jika
diekspresikan dalam bentuk perilaku kesopanan dan kesantunan, pemaaf,
mempermudah kesulitan yang dialami orang lain.
Dalam pandangan Islam sikap ini
sangat dianjurkan. Aplikasinya, menurut al-Ghazali terdapat tiga prinsip
pengejawantahan kebajikan: Pertama, memberi kelonggaran waktu kepada pihak
terutang untuk membayar utangnya, jika perlu mengutangi utangnya. Kedua,
menerima pengembalian barang yang sudah dibeli. Ketiga, membayar utang sebelum
waktu penagihan tiba. Dalam sebuah
kerajaan bisnis, terdapat sejumlah perbuatan yang dapat mensupport pelaksanaan aksioma ihsan
dalam bisnis,[31]
1) Kemurahan hati (leniency)
2) Motif pelayanan (service motives)
3) Kesadaran akan adanya Allah dan aturan yang
berkaitan dengan pelaksanaan yang menjadi prioritas
[1]Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2009,Cet .1, h.173.
[2]
Muhammad, Etika Bisnis
Islami, Yogyakarta: UPP-AMP YKPN, 2004, h. 38.
[3]
Faisal Badroen, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2006, h. 4.
[4]
Rafik Issa
Beekum, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h.3.
[5]
Agus arijanto, Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, h.
5.
[6]
Johan Arifin,
Etika Bisnis
Islami, Semarang: Walisongo Press, 2009, h.9.
[7]
Buchari Alma, Ajaran Islam Dalam Bisnis, Bandung: CV ALFABETA, 1994 h.51
[8]
Buchari Alma, Ajaran Islam Dalam Bisnis,
hlm. 9-10
[9]
Husein
Umar, Business an Introduction, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2000),hlm.3
[10]
Arifin, Etika …, h. 20.
[11]
Buchari Alma, Pengantar Bisnis: Bandung: Alfa Beta, 1993, h. 3.
[12]
Veithzal Rival, dkk, Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2002,
h. 4.
[13]
Arifin, Etika
..., h. 22.
[14]
Yusuf Qordhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press,1997, h.
5.
[15]
Bambang Subandi,
Bisnis sebagai
strategi Islam, Surabaya:Paramedia,2000,h
.65.
[16]
Mustaq Ahmad,
Etika Bisnis
Dalam Islam, Jakarta,
Pustaka Al-Kautsar, 2001, h. 152.
[17]
Arifin, Etika....., h. 74.
[18]
Arifin, Etika ...., h. 76.
[19]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 896 .
[20]
R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006,
h. 144
[21]
Faisal
Badroen, Etika Bisnis dalam
Islam, Jakarta: Prenada Media
Group, 2006, h. 89.
[22]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, Malang: UIN Malang Press,
2007, h.13.
[23]
Rafik Issa Beekum, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 15-16
[25]
Djakfar, Etika
Bisnis dalam Perspektif Islam h. 91
[26]
Muhammad, Etika
..., h.56.
[27]
Rafik Issa,....h. 40
[28]Johan Arifin, Etika Bisnis
Islami, Semarang: Walisongo Press, 2009, h. 144
[29]
Rafik
Issa,..., h.41.
[30]
Rafik Issa,...h.
[31]
Achmad Charris
Zubbir, Kuliah Etika, Jakarta:
Rajawali Press,1995, Ed. III