Minggu, 15 Mei 2016

Makalah Fikih Indonesia

  1.        I.     Pendahuluan

Munculnya banyak respons, baik positif maupun negatif, dari para ulama’ dan intelektual Islam Indonesia, terutama menyangkut Agama ketika berhadapan dengan adat yang tidak pernah sama dan seragam atau lebih spesifik lagi menyangkut relasi antara hukum Islam (fikih) dengan perubahan sosial  yang senantiasa berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Adanya fenomena gagasan Fikih Indonesia yang digagas dan dilontarkan oleh Hasbi As-Siddiqi merupakan titik balik dan tonggak awal perjuangan intelektual muslim Indoonesia sekaligus ingin menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang memiliki ciri khas serta kebutuhan akan kemaslahatan yang sama meski harus berbeda dalam bentuk dan wujudnya.
Secara singkat, term Fikih Indonesia dimaksudkan dengan fiqh yang sejalan dengan karakter Indonesia. Dalam kerangka inilah gagasan pembaharuan Hasbi menemukan titik relevansinya dengan situasi dan kondisi umat Islam Indonesia. Gagasannya yang monumental adalah tetntang fikih Indonesia , yaitu suatu konstruksi fiqh yang sejalan dengan karakter masyarakat Indonesia.[1] Hanya dengan mencari adaptabilitas dengan situasi yang berkembang fiqh akan sejalan dengan kondisi Indonesia yang modern.[2]
Rumusan fikih yang dikehendaki Hasbi, tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Menurut hasbi hokum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi social, ekonomi, budaya adat istiadat dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan.[3]
Berangkat dari latar belakang diatas, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Fikih Indonesia.
  1.     II.     Rumusan Masalah

A.    Bagaimana gagasan Hasbi As-Siddiqi tentang fikih Indonesia ?
B.     Bagaimana metodologi Fikih Indonesia ?

  1.  III.     Pembahasan

A.    Gagasan Hasbi As-Siddiqi tentang fikih Indonesia
Hasbi merupakan seorang pemikir kenamaan Indonesia yang menekuni berbagai disiplin Ilmu keIslaman. Khusus bidang hukum, hasbi berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan elastis sesuai perkembangan masa dan tempat. Ijtihad merupakan sarana untuk melahirkan hukum-hukum lewat pemahaman terhadap wahyu dalam rangka mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena itu, Hasbi melihat pentingnya upaya perumusankembali fiih yang berkepribadian Indonesia. Menurut Hasbi, umat Islam harus dapat menciptakan hukum fikih yang sesuai dengan latar belakang sosio kultur dan religi masyarakat Indonesia.
Rumusan fikih yang dikehendaki Hasbi, tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Menurut Hasbi hukum yang baik adalah hukum yang mempertimbangkan dan memperhatikan aspek social, ekonomi, budaya, adat istiadat dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan.[4]
   Munculnya gagasan Fikih Indonesia, di mana genesisnya telah mulai diintrodusir oleh Hasbi ash-Shiddieqy, seorang pakar dalam berbagai studi keislaman, pada sekitar tahun 1940-an. Dengan artikel pertamanya yang berjudul “Memdedahkan Pengertian Islam”, Hasbi menyatakan pentingnya pengambilan ketetapan fikih dari hasil ijtihad yang lebih cocok dengan kebutuhan nusa dan bangsa Indonesia, agar fikih tidak menjadi barang asing dan diperlakukan sebagai barang antik. Hasbi terlihat gamang akan prospek dan masa depan hukum Islam di Indonesia yang tidak mempunyai arah yang jelas. Menurutnya, pengkultusan terhadap pemikiran hukum Islam yang telah terjadi dan yang hingga sekarang masih terus berlangsung, harus ditinjau ulang dalam kerangka dasar meletakkan sendi ijtihad baru. Konsep dan pemikiran hukum Islam yang terasa tidak relevan dan asing harus segera dicarikan alternatif baru yang lebih memungkinkan untuk dipraktikkan di Indonesia.
Hingga interval waktu yang cukup lama, tepatnya hingga tahun 1948, gagasan awal Fikih Indonesia ini belum atau bahkan tidak mendapatkan respons yang memadai (positif) dari masyarakat. Melalui tulisannya yang berjudul “Menghidupkan Hukum Islam dalam Masyarakat” yang dimuat dalam majalah Aliran Islam, Hasbi mencoba mengangkat kembali ide besarnya itu. Dalam tulisan itu dikatakan bahwa eksistensi hukum Islam pada tataran praktis telah sampai pada tingkat dekadensi yang klinis, tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti dan juga tidak berdaya guna. Kehadirannya tidak lagi dianggap ada oleh umat, karena tidak sanggup lagi mengakomodir berbagai tuntutan perubahan zaman.[5]
Dari titik berangkat kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran Fikih Indonesia hadir, terus mengalir, dan disosialisasikan oleh Hasbi. Menurutnya, hukum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang dari bidang mu’amalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu hadir dan bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Para mujtahid (ulama lokal) dituntut untuk mempunyai kepekaan terhadap kebaikan yang tinggi dan kreativitas yang dapat dipertanggungjawabkan dalam upaya merumuskan alternatif fikih yang baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya. Untuk memecahkan masalah ini, Hasbi mengusulkan perlunya kerja kolektif (ijtihad jamaĆ­),[6] melalui sebuah lembaga permanen--dalam pengertian, “legislasi baik berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah atau Ra’y melalui konsultasi dengan pemerintah negara, bukan dengan ijtihad fardi (ijtihad personal) dengan jumlah anggota ahli dari spesialisasi ilmu yang bermacam-macam. Menurutnya, upaya ini akan menghasilkan produk hukum yang relatif baik dibanding apabila hanya dilakukan oleh perorangan atau sekumpulan orang dengan keahlian yang sama. [7]Demi tujuan ini, Hasbi menyarankan agar para pendukung Fikih Indonesia mendirikan lembaga Ahl al-Hall wa al-‘Aqd. Lembaga ini ditopang oleh dua sub-lembaga. Pertama, lembaga politik (hai’ah siyasiyyah), yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang dipilih rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat, tetapi harus menguasai bidang yang mereka wakili. Kedua, lembaga Ahl al-Ijtihad (kaum mujtahid) dan Ahl al-ikhtisas (kaum spesialis) yang juga merupakan perwakilan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[8] Nalar berpikir yang digunakan Hasbi dengan gagasan Fikih Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam sebenarnya memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru. Dasar-dasar hukum Islam yang selama ini telah mapan, seperti ijma’, qiyas, maslahah mursalah,‘urf, dan prinsip “perubahan hukum karena perubahan masa dan tempat”, justru akan menuai ketidaksesuaian ketika tidak ada lagi ijtihad baru. Dengan berpegang pada paradigma itu, dalam konteks pembangunan semesta sekarang ini, gerakan penutupan pintu ijtihad (insidad bab al-ijtihad) merupakan isu usang yang harus segera ditinggalkan.
Puncak dari pemikiran tentang Fikih Indonesia ini terjadi pada tahun 1961, ketika Hasbi memberikan makna dan definisi Fikih Indonesia dengan cukup artikulatif. Dalam orasi ilmiahnya yang bertema “Sjari’at Islam Mendjawab Tantangan Djaman”, ia secara tegas mengatakan:
….Fikih yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang adalah fikih Hijazi, Misri dan Hindi, yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Hijaz, Mesir dan India. Dengan demikian, karakteristik yang khusus dari masyarakat muslim menurutnya dikesampingkan, karena fikih asing tersebut dipaksakan penerapannya ke dalam komunitas lokal melalui taqlid”.[9]
Hasbi mengamati bahwa hingga tahun 1961 ulama di negeri ini belum mampu melahirkan fikih yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya, salah satu faktor yang menjadi penghambat adalah adanya ikatan emosional yang begitu kuat (fanatik) terhadap mazhab yang dianut umat Islam. Menyadari ketidakmungkinan akan munculnya pemikiran progresif dari kalangan ulama konservatif, maka Hasbi mengajak kalangan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid dengan karakter khas yang dapat meneruskan proyek Fikih Indonesia. Menurut Hasbi, persoalan ini cukup mendesak, sebab apabila pengembangan proyek Fikih Indonesia tidak berangkat dari kalangan Perguruan Tinggi, maka harapan untuk memperkenalkan hukum Islam secara kohesif kepada masyarakat akan gagal. Sebagai konsekuensi lebih lanjut, hukum Islam barangkali hanya akan dikenal dalam dimensi ibadah saja, dan itupun tidak lengkap. Sementara dimensi-dimensi lainnya akan hilang, tenggelam ditelan masa.[10]
Untuk membentuk fikih baru ala Indonesia, diperlukan kesadaran dan kearifan yang tinggi dari banyak pihak, terutama ketika harus melewati langkah pertama, yakni melakukan refleksi historis atas pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik jika ia sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Yakni, hukum yang dibentuk oleh keadaan lingkungan, atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat, bukan dengan memaksakan format hukum Islam yang terbangun dari satu konteks tertentu kepada konteks ruang dan waktu baru yang jauh berbeda. Aneksasi demikian tentu akan sia-sia, bukan karena kurang komplitnya pemikiran lama, melainkan lebih kepada sifatnya yang sudah anakronistik. Dengan demikian, Fikih Indonesia diharapkan memiliki “citarasa” hukum Islam dengan ciri khas tersendiri yang berbeda dengan karakteristik masyarakat Arab, karena Islam tidak berarti Arab, apalagi Arab zaman dahulu.[11] Mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat, ‘urf) setempat sebagai acuan pembentukan sebuah format pemikiran hukum Islam baru, dalam pandangan Hasbi, menjadi satu keniscayaan. Syari’at Islam menganut asas persamaan. Egalitarianisme Islam memandang semua masyarakat adalah sama di hadapan Allah. Konsekuensinya, sekali lagi, semua ‘urf dari setiap masyarakat--bukan harus ‘urf dari masyarakat Arab saja--dapat menjadi sumber hukum. Sejalan dengan itu, Islam datang tidak dimaksudkan untuk menghapus kebudayaan dan juga syari’at agama yang telah ada, selama ia tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, yaitu tauhid. Dengan demikian, semua ‘urf dalam batas-batas tertentu akan selalu dapat diterima sebagai sumber hukum Islam. Dari titik ini, pembentukan Fikih Indonesia harus mempertimbangkan ‘urf yang berkembang di Indonesia.
Dari uraian ini, dapat dipahami bahwa Fikih Indonesia atau “fikih yang berkepribadian Indonesia”, yang telah dirintis oleh Hasbi mulai tahun 1940, berlandaskan pada konsep bahwa hukum Islam (fikih) yang diberlakukan untuk Islam Indonesia adalah hukum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan mereka, yaitu hukum adat yang telah berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang tidak bertentangan dengan syara’. Usaha ini harus didukung secara penuh dengan proses internalisasi dan inkorporisasi fatwa-fatwa hukum ulama terdahulu yang relevan untuk konteks sosial dan budaya Indonesia, dan menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep fikih baru yang digagas. Dengan demikian, tidak akan terjadi clash antara fikih dengan adat, dan sikap mendua masyarakat dalam hal menentukan kompetensi materi hukum yang dipilih, adat atau fikih, dapat dihindari.[12]
B.     Metodologi Fiqih Indonesia
Menurut Hasbi, untuk mewujudkan sebuah fikih yang sesuai dengan kultur keindonesiaan bukan berarti hasil ijtihad ulama’ masa lalu harus dibuang, melainkan harus diteliti dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian, pendapat ulama dari mazhab manapun, asal sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat Indonesia dapat diterima dan diterapkan.. jadi tidak terpaku pada pendapat mazhab tertentu. Bahkan, ada kemungkinan tidak berpatokan pada mazhab manapun, tarutama pada masalah-masalah yang belum dibahas oleh ulama mazhab. Sangat boleh jadi, masalah-masalah yang ada saat ini belum muncul atau terdapat perbedaan nuansa pada era pembentukan dan pengembangan mazhab.[13]  
Metode perbandingan mazhab yang diguakan Hasbi, manakala problem yang dihadapi sudah diberikan pemecahannya oleh ijtihad dalam berbagai mazhab yang ada. Perbandingan yang tidak terbatas pada mazhab Sunni ini dibagi menjadi dua tahap. Pertama, memilih dari kalangan empat mazhab Sunni. Kedua, memilih dari semua mazhab termasuk non-Sunni. Kedua-duanya dilakukakn demi mencari pendapat yang paling sesuai dengan konteks ruang, waktu, karakter dan kemaslahatan bangsa Indonesia. Studi perbandingan mazhab ini harus diikuti dengan studi perbandingan ushul fikih dari masing-masing mazhab, dengan harapan agar pandangan tersebut dapat terpadu atau bahkan  bersatu. Studi perbandingan ushul fikih ini dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :
1.      Mengkaji prinsip-prinsip yang dipegang oleh setiap imam mazhab maupun masalah-masalah yang mereka perselisihkan dengan meneliti alasan-alasan mereka.
2.      Mengkaji dalil-dalil yang dijadikan rujukan maupun yang diperselisihkan.
3.      Mengkaji argumen yang ditawarkan oleh masing-masing imam mazhab mengenai dalil-dalil yang diperselisihkan dan memilih argumen-argumen yang kuat.[14]
4.      Tahapan-tahapan tersebut harus didukung dan didahului dengan pendirian Fakultas Ushul Fiqh atau paling tidak Jurusan Ushul Fiqih. Hasbi lebih menguatkan bahwa fiqih Indonesia akan sangat fleksibel jika didukung oleh perbandingan yang bersifat sistematis antara fikih dan hukum adat Indonesia, antara fikih dan sistem hukum Indonesia, antara fiqh dan syari’at (agama-agama) lain, dan antara fikih dengan sistem hukum internasional. Sebaliknya, jika problem yang dihadapi belum pernah diberikan pemecahannya oleh mujtahid-mujtahid terdahulu, maka dianjurkan agar pendukung fiqh Indonesia melakukan ijtihad bi al-ra’yi, yaitu menentukan hukum berdasarkan pada maslahat, kaidah-kaidah kulliat dan illat hukum, sedangkan metode yang ditempuh ada kalanya :
1.      Qiyas yang dilakukan dalam kondisi terpaksa, tidak menyangkut masalah ibadah. Selain qiyas illat dan qiyas dalalah, tidak berlaku.
2.      Istihsan dengan berbagai macamnya : istihsan bin naas, istihsan bil ijma’, istihsan bil qiyas, istihsan bid daruraah, istihsan bil maslahah, dan istihsan bil ’urf.
3.      Istislah, dengan ketentuan bahwa sesuatu dapat dinyatakan sebagai maslahat jika merupakan maslahat hakiki; berlaku umum tidak hanya terbatas pada segelintir orang; harus diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Jika maslahah bertentangan dengan nash, maka maslahah mentakhsis (mengkhususkan) nash dengan menjadikan hadis ”La darara wa la dirara” sebagai kata kunci di akhir analisa.
4.      ’Urf dengan ketentuan tidak menghalalkan barang haram dan tidak mengharamkan barang halal; dapat mendatangkan maslahat dan menghalangkan mafsadat; tidak bertentangan dengan nash sharih (ekspilist); di samping itu harus diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Atau
5.      Istishab. Metode-metode ini selalu berjalan seiring dengan kaidah-kaidah yang relavan..[15]
  1.  IV.    Simpulan

A.    Fikih Indonesia atau “fikih yang berkepribadian Indonesia”, yang telah dirintis oleh Hasbi mulai tahun 1940, berlandaskan pada konsep bahwa hukum Islam (fikih) yang diberlakukan untuk Islam Indonesia adalah hukum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan mereka, yaitu hukum adat yang telah berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang tidak bertentangan dengan syara’.
B.     jika problem yang dihadapi belum pernah diberikan pemecahannya oleh mujtahid-mujtahid terdahulu, maka dianjurkan agar pendukung fiqh Indonesia melakukan ijtihad bi al-ra’yi, yaitu menentukan hukum berdasarkan pada maslahat, kaidah-kaidah kulliat dan illat hukum, sedangkan metode yang ditempuh ada kalanya : Qiyas, Istihsan, Istislah,’Urf Istishab.
  1.     V.      Penutup

 Demikianlah makalah ini dibuat. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih dapat menerima penyempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya.Amin. . .

























                                    DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989

Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Syariah Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta : Bulan Bintang, 1996.

Asni, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Kemenag RI, 2012.

Boland, B.J, Pergumulan Islam Indonesia 1945-1970, Jakarta : Grafitis Pres, 1985.

Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia : Dari Nalar Pertisipatoris hingga Emansipatoris, Yogyakarta ; LKiS, 2005.


Siddiqi, Nouruzzaman, Fiqih Indonesia : Penggagas dan gagasannya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997.

Wahyudi, Yudian, Ushul Fikih versus Hermeneutika : membaca Islam dari Kanada dan Amerika Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press, 2007.

Abdullah, M. Amin, Studi Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.


 


[1] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Syariah Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hlm. 42-43.
[2] B.J Boland, Pergumulan Islam Indonesia 1945-1970, (Jakarta : Grafitis Pres, 1985), hlm. 172.
[3] Asni, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Kemenag RI, 2012), hlm. 28.
[4] Asni, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, hlm. 27-28.
[5] Nouruzzaman Siddiqi, Fiqih Indonesia : Penggagas dan gagasannya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 215-216.
[6] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih versus Hermeneutika : membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press, 2007), hlm. 41.
[7] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih versus Hermeneutika : membaca Islam dari Kanada dan Amerika, hlm. 17.
[8] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih versus Hermeneutika : membaca Islam dari Kanada dan Amerika, hlm. 42.
[9] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Syariah Islam Menjawab Tantangan Zaman,hlm. 43.
[10]Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia : Dari Nalar Pertisipatoris hingga Emansipatoris (Yogyakarta ; LKiS, 2005), hlm. 67.
[11] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih, hlm. 31.
[12] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih, hlm. 42.
[13] Asni, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, hlm. 29.
[14] Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm.
[15] M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996) hlm.