- I. Pendahuluan
Munculnya banyak
respons, baik positif maupun negatif, dari para ulama’ dan intelektual Islam
Indonesia, terutama menyangkut Agama ketika berhadapan dengan adat yang tidak
pernah sama dan seragam atau lebih spesifik lagi menyangkut relasi antara hukum
Islam (fikih) dengan perubahan sosial
yang senantiasa berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Adanya
fenomena gagasan Fikih Indonesia yang digagas dan dilontarkan oleh Hasbi
As-Siddiqi merupakan titik balik dan tonggak awal perjuangan intelektual muslim
Indoonesia sekaligus ingin menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang memiliki
ciri khas serta kebutuhan akan kemaslahatan yang sama meski harus berbeda dalam
bentuk dan wujudnya.
Secara singkat, term Fikih Indonesia dimaksudkan dengan fiqh
yang sejalan dengan karakter Indonesia. Dalam kerangka inilah gagasan
pembaharuan Hasbi menemukan titik relevansinya dengan situasi dan kondisi umat
Islam Indonesia. Gagasannya yang monumental adalah tetntang fikih Indonesia , yaitu suatu konstruksi
fiqh yang sejalan dengan karakter masyarakat Indonesia.[1]
Hanya dengan mencari adaptabilitas dengan situasi yang berkembang fiqh akan
sejalan dengan kondisi Indonesia yang modern.[2]
Rumusan fikih yang dikehendaki
Hasbi, tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi merupakan
penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Menurut hasbi
hokum yang baik adalah yang mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi social,
ekonomi, budaya adat istiadat dan kecenderungan masyarakat yang bersangkutan.[3]
Berangkat dari latar belakang
diatas, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Fikih Indonesia.
- II. Rumusan Masalah
A.
Bagaimana gagasan Hasbi As-Siddiqi tentang fikih Indonesia ?
B.
Bagaimana metodologi Fikih Indonesia ?
- III. Pembahasan
A.
Gagasan Hasbi As-Siddiqi tentang fikih Indonesia
Hasbi
merupakan seorang pemikir kenamaan Indonesia yang menekuni berbagai disiplin Ilmu keIslaman.
Khusus bidang hukum, hasbi berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis
dan elastis sesuai perkembangan masa dan tempat. Ijtihad merupakan sarana untuk
melahirkan hukum-hukum lewat pemahaman terhadap wahyu dalam rangka
mengantisipasi setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena
itu, Hasbi melihat pentingnya upaya perumusankembali fiih yang berkepribadian
Indonesia. Menurut Hasbi, umat Islam harus dapat menciptakan hukum fikih yang sesuai dengan latar belakang
sosio kultur dan religi masyarakat Indonesia.
Rumusan
fikih yang dikehendaki Hasbi, tidak harus terikat pada salah satu mazhab,
tetapi merupakan penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat.
Menurut Hasbi hukum yang baik adalah hukum yang mempertimbangkan dan
memperhatikan aspek social, ekonomi, budaya, adat istiadat dan kecenderungan
masyarakat yang bersangkutan.[4]
Munculnya gagasan Fikih Indonesia, di mana genesisnya telah mulai
diintrodusir oleh Hasbi ash-Shiddieqy, seorang pakar dalam berbagai studi
keislaman, pada sekitar tahun 1940-an. Dengan artikel
pertamanya yang berjudul “Memdedahkan Pengertian Islam”, Hasbi menyatakan
pentingnya pengambilan ketetapan fikih dari hasil ijtihad yang lebih cocok
dengan kebutuhan nusa dan bangsa Indonesia, agar fikih tidak menjadi barang
asing dan diperlakukan sebagai barang antik. Hasbi terlihat
gamang akan prospek dan masa depan hukum Islam di Indonesia yang tidak
mempunyai arah yang jelas. Menurutnya, pengkultusan terhadap pemikiran hukum
Islam yang telah terjadi dan yang hingga sekarang masih terus berlangsung,
harus ditinjau ulang dalam kerangka dasar meletakkan sendi ijtihad baru. Konsep
dan pemikiran hukum Islam yang terasa tidak relevan dan asing harus segera
dicarikan alternatif baru yang lebih memungkinkan untuk dipraktikkan di
Indonesia.
Hingga interval waktu yang
cukup lama, tepatnya hingga tahun 1948, gagasan awal Fikih Indonesia ini belum
atau bahkan tidak mendapatkan respons yang memadai (positif) dari masyarakat.
Melalui tulisannya yang berjudul “Menghidupkan Hukum Islam dalam Masyarakat”
yang dimuat dalam majalah Aliran Islam, Hasbi mencoba mengangkat kembali
ide besarnya itu. Dalam tulisan itu dikatakan bahwa eksistensi hukum Islam pada
tataran praktis telah sampai pada tingkat dekadensi yang klinis, tampil bagai
sosok yang terasing, tidak berarti dan juga tidak berdaya guna. Kehadirannya tidak lagi dianggap
ada oleh umat, karena tidak sanggup lagi mengakomodir berbagai tuntutan
perubahan zaman.[5]
Dari titik berangkat
kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran Fikih Indonesia hadir,
terus mengalir, dan disosialisasikan oleh Hasbi. Menurutnya, hukum Islam harus
mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang dari bidang
mu’amalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu hadir dan bisa
berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Para mujtahid
(ulama lokal) dituntut untuk mempunyai kepekaan terhadap kebaikan yang
tinggi dan kreativitas yang dapat dipertanggungjawabkan dalam upaya merumuskan
alternatif fikih yang baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
yang dihadapinya. Untuk memecahkan masalah ini, Hasbi mengusulkan
perlunya kerja kolektif (ijtihad jamaĆ),[6] melalui sebuah lembaga permanen--dalam pengertian,
“legislasi baik berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah atau Ra’y melalui konsultasi dengan
pemerintah negara, bukan dengan ijtihad fardi (ijtihad personal) dengan
jumlah anggota ahli dari spesialisasi ilmu yang bermacam-macam. Menurutnya,
upaya ini akan menghasilkan produk hukum yang relatif baik dibanding apabila
hanya dilakukan oleh perorangan atau sekumpulan orang dengan keahlian yang
sama. [7]Demi tujuan ini,
Hasbi menyarankan agar para pendukung Fikih Indonesia mendirikan lembaga Ahl
al-Hall wa al-‘Aqd. Lembaga ini ditopang oleh dua sub-lembaga. Pertama,
lembaga politik (hai’ah siyasiyyah), yang anggota-anggotanya terdiri
dari orang-orang yang dipilih rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat, tetapi
harus menguasai bidang yang mereka wakili. Kedua, lembaga Ahl al-Ijtihad (kaum
mujtahid) dan Ahl al-ikhtisas (kaum spesialis) yang juga merupakan
perwakilan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[8] Nalar berpikir yang digunakan Hasbi dengan gagasan Fikih
Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam sebenarnya
memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru.
Dasar-dasar hukum Islam yang selama ini telah mapan, seperti ijma’, qiyas,
maslahah mursalah,‘urf, dan prinsip “perubahan hukum karena perubahan masa
dan tempat”, justru akan menuai ketidaksesuaian ketika tidak ada lagi ijtihad
baru. Dengan berpegang pada paradigma itu, dalam konteks pembangunan semesta
sekarang ini, gerakan penutupan pintu ijtihad (insidad bab al-ijtihad)
merupakan isu usang yang harus segera ditinggalkan.
Puncak dari pemikiran tentang Fikih Indonesia ini
terjadi pada tahun 1961, ketika Hasbi memberikan makna dan definisi Fikih Indonesia dengan
cukup artikulatif. Dalam orasi ilmiahnya yang bertema “Sjari’at Islam Mendjawab
Tantangan Djaman”, ia secara tegas mengatakan:
“….Fikih
yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang adalah fikih Hijazi, Misri dan
Hindi, yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Hijaz,
Mesir dan India. Dengan demikian, karakteristik yang khusus dari masyarakat
muslim menurutnya dikesampingkan, karena fikih asing tersebut dipaksakan
penerapannya ke dalam komunitas lokal melalui taqlid”.[9]
Hasbi mengamati bahwa hingga tahun 1961 ulama di
negeri ini belum mampu melahirkan fikih yang berkepribadian Indonesia.
Menurutnya, salah satu faktor yang menjadi penghambat adalah adanya ikatan
emosional yang begitu kuat (fanatik) terhadap mazhab yang dianut umat Islam.
Menyadari ketidakmungkinan akan munculnya pemikiran progresif dari kalangan
ulama konservatif, maka Hasbi mengajak kalangan Perguruan Tinggi Islam di
Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid dengan karakter khas yang dapat
meneruskan proyek Fikih Indonesia. Menurut Hasbi, persoalan ini cukup mendesak,
sebab apabila pengembangan proyek Fikih Indonesia tidak berangkat dari kalangan
Perguruan Tinggi, maka harapan untuk memperkenalkan hukum Islam secara kohesif
kepada masyarakat akan gagal. Sebagai konsekuensi lebih lanjut, hukum Islam
barangkali hanya akan dikenal dalam dimensi ibadah saja, dan itupun tidak
lengkap. Sementara dimensi-dimensi lainnya akan hilang, tenggelam ditelan masa.[10]
Untuk membentuk fikih baru
ala Indonesia, diperlukan kesadaran dan kearifan yang tinggi dari banyak pihak,
terutama ketika harus melewati langkah pertama, yakni melakukan refleksi
historis atas pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif
ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik jika ia sesuai
dengan kesadaran hukum masyarakat. Yakni, hukum yang dibentuk oleh keadaan
lingkungan, atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat, bukan dengan memaksakan format hukum Islam yang terbangun dari satu
konteks tertentu kepada konteks ruang dan waktu baru yang jauh berbeda.
Aneksasi demikian tentu akan sia-sia, bukan karena kurang komplitnya pemikiran
lama, melainkan lebih kepada sifatnya yang sudah anakronistik. Dengan demikian,
Fikih Indonesia diharapkan memiliki “citarasa” hukum Islam dengan ciri khas
tersendiri yang berbeda dengan karakteristik masyarakat Arab, karena Islam
tidak berarti Arab, apalagi Arab zaman dahulu.[11] Mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat, ‘urf)
setempat sebagai acuan pembentukan sebuah format pemikiran hukum Islam baru,
dalam pandangan Hasbi, menjadi satu keniscayaan. Syari’at Islam menganut asas persamaan.
Egalitarianisme Islam memandang semua masyarakat adalah sama di hadapan Allah.
Konsekuensinya, sekali lagi, semua ‘urf dari setiap masyarakat--bukan
harus ‘urf dari masyarakat Arab saja--dapat menjadi sumber hukum.
Sejalan dengan itu, Islam datang tidak dimaksudkan untuk menghapus kebudayaan
dan juga syari’at agama yang telah ada, selama ia tidak bertentangan dengan
prinsip ajaran Islam, yaitu tauhid. Dengan demikian, semua ‘urf dalam
batas-batas tertentu akan selalu dapat diterima sebagai sumber hukum Islam.
Dari titik ini, pembentukan Fikih Indonesia harus mempertimbangkan ‘urf yang
berkembang di Indonesia.
Dari uraian ini, dapat
dipahami bahwa Fikih Indonesia atau “fikih yang berkepribadian Indonesia”, yang
telah dirintis oleh Hasbi mulai tahun 1940, berlandaskan pada konsep bahwa
hukum Islam (fikih) yang diberlakukan untuk Islam Indonesia adalah hukum yang
sesuai dan memenuhi kebutuhan mereka, yaitu hukum adat yang telah berkembang
dalam masyarakat Indonesia, yang tidak bertentangan dengan syara’. Usaha ini
harus didukung secara penuh dengan proses internalisasi dan inkorporisasi
fatwa-fatwa hukum ulama terdahulu yang relevan untuk konteks sosial dan budaya
Indonesia, dan menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep fikih
baru yang digagas. Dengan demikian, tidak akan terjadi clash antara
fikih dengan adat, dan sikap mendua masyarakat dalam hal
menentukan kompetensi materi hukum yang dipilih, adat atau fikih, dapat
dihindari.[12]
B. Metodologi
Fiqih Indonesia
Menurut
Hasbi, untuk mewujudkan sebuah fikih yang sesuai dengan kultur keindonesiaan
bukan berarti hasil ijtihad ulama’ masa lalu harus dibuang, melainkan harus
diteliti dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik.
Dengan demikian, pendapat ulama dari mazhab manapun, asal sesuai dan relevan
dengan situasi masyarakat Indonesia dapat diterima dan diterapkan.. jadi tidak
terpaku pada pendapat mazhab tertentu. Bahkan, ada kemungkinan tidak berpatokan
pada mazhab manapun, tarutama pada masalah-masalah yang belum dibahas oleh
ulama mazhab. Sangat boleh jadi, masalah-masalah yang ada saat ini belum muncul
atau terdapat perbedaan nuansa pada era pembentukan dan pengembangan mazhab.[13]
Metode
perbandingan mazhab yang
diguakan Hasbi, manakala problem yang dihadapi sudah diberikan
pemecahannya oleh ijtihad dalam berbagai mazhab yang ada. Perbandingan yang
tidak terbatas pada mazhab Sunni ini dibagi menjadi dua tahap. Pertama, memilih
dari kalangan empat mazhab Sunni. Kedua, memilih dari semua mazhab termasuk
non-Sunni. Kedua-duanya dilakukakn demi mencari pendapat yang paling sesuai
dengan konteks ruang, waktu, karakter dan kemaslahatan bangsa Indonesia. Studi
perbandingan mazhab ini harus diikuti dengan studi perbandingan ushul fikih
dari masing-masing mazhab, dengan harapan agar pandangan tersebut dapat terpadu
atau bahkan bersatu.
Studi perbandingan ushul fikih ini dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Mengkaji prinsip-prinsip yang dipegang oleh setiap imam mazhab
maupun masalah-masalah yang mereka perselisihkan dengan meneliti alasan-alasan
mereka.
2. Mengkaji dalil-dalil yang dijadikan rujukan maupun yang
diperselisihkan.
3. Mengkaji argumen yang ditawarkan oleh masing-masing imam mazhab
mengenai dalil-dalil yang diperselisihkan dan memilih argumen-argumen yang
kuat.[14]
4.
Tahapan-tahapan tersebut
harus didukung dan didahului dengan pendirian Fakultas Ushul Fiqh atau paling
tidak Jurusan Ushul Fiqih. Hasbi lebih menguatkan bahwa fiqih Indonesia akan
sangat fleksibel jika didukung oleh perbandingan yang bersifat sistematis
antara fikih dan hukum adat Indonesia, antara fikih dan sistem hukum Indonesia,
antara fiqh dan syari’at (agama-agama) lain, dan antara fikih dengan sistem
hukum internasional. Sebaliknya, jika problem yang dihadapi belum pernah
diberikan pemecahannya oleh mujtahid-mujtahid terdahulu, maka dianjurkan agar
pendukung fiqh Indonesia melakukan ijtihad bi al-ra’yi, yaitu menentukan
hukum berdasarkan pada maslahat, kaidah-kaidah kulliat dan illat hukum,
sedangkan metode yang ditempuh ada kalanya :
1. Qiyas yang dilakukan dalam kondisi terpaksa, tidak menyangkut
masalah ibadah. Selain qiyas illat dan qiyas dalalah, tidak berlaku.
2. Istihsan dengan berbagai macamnya : istihsan bin naas, istihsan
bil ijma’, istihsan bil qiyas, istihsan bid daruraah, istihsan bil maslahah,
dan istihsan bil ’urf.
3. Istislah, dengan ketentuan bahwa sesuatu dapat dinyatakan
sebagai maslahat jika merupakan maslahat hakiki; berlaku umum tidak hanya
terbatas pada segelintir orang; harus diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd.
Jika maslahah bertentangan dengan nash, maka maslahah mentakhsis
(mengkhususkan) nash dengan menjadikan hadis ”La darara wa la dirara” sebagai kata
kunci di akhir analisa.
4. ’Urf dengan ketentuan tidak menghalalkan barang haram dan tidak
mengharamkan barang halal; dapat mendatangkan maslahat dan menghalangkan
mafsadat; tidak bertentangan dengan nash sharih (ekspilist); di samping itu harus
diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Atau
- IV. Simpulan
A.
Fikih
Indonesia atau “fikih yang berkepribadian Indonesia”, yang telah dirintis oleh
Hasbi mulai tahun 1940, berlandaskan pada konsep bahwa hukum Islam (fikih) yang
diberlakukan untuk Islam Indonesia adalah hukum yang sesuai dan memenuhi
kebutuhan mereka, yaitu hukum adat yang telah berkembang dalam masyarakat
Indonesia, yang tidak bertentangan dengan syara’.
B.
jika problem yang dihadapi
belum pernah diberikan pemecahannya oleh mujtahid-mujtahid terdahulu, maka
dianjurkan agar pendukung fiqh Indonesia melakukan ijtihad bi al-ra’yi,
yaitu menentukan hukum berdasarkan pada maslahat, kaidah-kaidah kulliat dan
illat hukum, sedangkan metode yang ditempuh ada kalanya : Qiyas, Istihsan,
Istislah,’Urf Istishab.
- V. Penutup
Demikianlah makalah
ini dibuat. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih dapat menerima
penyempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya.Amin. . .
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Taufik, dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian
Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Syariah Islam Menjawab
Tantangan Zaman, Jakarta : Bulan Bintang, 1996.
Asni, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Kemenag RI,
2012.
Boland, B.J, Pergumulan Islam
Indonesia 1945-1970, Jakarta : Grafitis Pres, 1985.
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia : Dari Nalar
Pertisipatoris hingga Emansipatoris, Yogyakarta ; LKiS, 2005.
Siddiqi, Nouruzzaman, Fiqih Indonesia :
Penggagas dan gagasannya, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1997.
Wahyudi, Yudian, Ushul Fikih versus
Hermeneutika : membaca Islam dari Kanada dan Amerika Yogyakarta : Pesantren
Nawesea Press, 2007.
Abdullah, M. Amin, Studi
Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
[1] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Syariah
Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hlm. 42-43.
[5] Nouruzzaman Siddiqi, Fiqih Indonesia
: Penggagas dan gagasannya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 215-216.
[6] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih
versus Hermeneutika : membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta :
Pesantren Nawesea Press, 2007), hlm. 41.
[7] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih
versus Hermeneutika : membaca Islam dari Kanada dan Amerika, hlm. 17.
[8] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih
versus Hermeneutika : membaca Islam dari Kanada dan Amerika, hlm. 42.
[10]Mahsun Fuad, Hukum Islam
Indonesia : Dari Nalar Pertisipatoris hingga Emansipatoris (Yogyakarta ;
LKiS, 2005), hlm. 67.
[14] Taufik Abdullah dan M Rusli Karim
(eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1989), hlm.
[15]
M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996) hlm.