I.
PENDAHULUAN
Problem hadis, jika dapat
diuraimeliputi banyak hal, mulai dari otentisitas yang banyak digugat oleh
orientalis, melebar pada pentransmisian (isnad), sejarah perubahan
tradisi verbal pada kodifikasi menjadi teks hadis, hingga pada problem understanding dan meaning.
Problem ini menempati posisi penting sekaligus secara substantif member spirit revaluatif dan
reinterpretatif terhadap berbagai pemahaman dan penafsiran hadis.
Problem pemahaman ini kemudian
dicoba untuk dicarikan solusinya oleh para pemerhati hadis dan ilmuwan hadis
yang mencoba memahami matn hadis dengan berbagai metode. Salah
satunya adalah Yusuf al-Qardhawi, yang mencoba menawarkan metode memahami hadis
dalam karyanya Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah.
II.
PERMASALAHAN
Dari latar belakang di atas,
munculah berbagai pertanyaan:
1.
Siapakah Yusuf al-Qardhawi dan
bagaimana pemikirannya?
2.
Bagaimana Yusuf al-Qardhawi
memberikan prinsip umum pemahaman hadis?
III.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Yusuf Qardhawi Dan
Pemikirannya
Di kalangan pemikir Islam, Yusuf
Qardhawi dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa.
Keunikan dan keistimewaan itu tak lain karena Qardhawi memiliki cara atau
metodologi yang khas dalam menyampaikan risalah Islam. Lantaran metodologinya
itulah, dia diterima kalangan dunia barat sebagai pemikir yang selalu
menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat. Kapasitasnya itulah yang
membuat Qardhawi kerap kali menghadiri pertemuan internasional para pemuka
agama-agama di Eropa maupun di Amerika, sebagai wakil kelompok Islam.[1]
Yusuf Qardhawi lahir di sebuah
desa kecil di Mesir bernama Shaft Turab di tengah Delta pada 9 september 1926.
Ia telah menghafal al-Qur’anpada usia sepuluh tahun. Setelah menamatkan
pendidikan di Ma’had Tsanawi Thanta, Qardhawi kemudian melanjutkan setudinya ke
Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin dan menyelesaikannya pada tahun 1952
M.Namun gelar doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat
Dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian disempurnakan
menjadi Fiqh Zakat, sebuah buku yang komprehensif membahas persoalan zakat
dengan nuansa modern. [2]
Sebab keterlambatannya meraih
gelar doktor, karena dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang
berkuasa saat itu. Ia terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961 dan di sana sempat
mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga
mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan
Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Dalam perjalanan hidupnya, Qardhawi
pernah mengenyam "pendidikan penjara” sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang
Raja Faruk, dia masuk penjara tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena
keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia
ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia
mendekam di penjara militer selama dua tahun.
Qardhawi terkenal dengan
khutbah-khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah
masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan
opini umum tentang ketidak adilan rezim saat itu.[3]
Yusuf Qardhawi termotivasi untuk
menelurkan sebuah karya yang memuat prinsip-prisip dasar dan
karakteristik-karakteristik serta aturan-aturan umum yang esensial untuk
memahami as-sunah dengan pemahaman yang tepat.[4] Karya tersebut diberi judul “Kaifa Nata’amal
Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith”. Apa yang menjadi
harapannya dalam buku ini adalah “maksimalisasi” pemahaman atas as-sunnah
sebagai tandingan atas minimalisasi pemahaman yang dilakukan oleh sebagian
orang ketika hanya berkutat pada pemahaman secara harfiyah, sebuah pemahaman
yang hanya menyentuh ruh terdalamnya. Namun, bukan berarti maksimalisasi ini melampaui
batasannya sebagaimana yang diistilahkan oleh Yusuf Qardhawi dengan “memasuki
rumah tanpa melalui pintunya”.
Menurut Yusuf Qardhawi kedudukan sunnah sebagai
penafsiran al-Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual
dan ideal, yang memiliki manhaj komprehensif, seimbang dan memudahkan. Ketiga karakteristik ini akan
mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[5]
Atas dasar inilah, maka Al-Qardhawi menetapkan tiga
hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan
kaum ekstrim. Kedua, manipulasi
orang-orang sesat (Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap
ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas
bertentangan dengan akidah dan syari’ah, dan ketiga, penafsiran
orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang
tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu
tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi
kelompok yang bodoh.
Untuk merealisasikan metodenya,
Yusuf Qardhawi menerapkan metode pemahaman hadis dengan prinsip-prinsip dasar
yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi dengan sunnah, yaitu;
a.
Meneliti kesahihan hadis sesuai
dengan acuan umum yang ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat di percaya, baik
sanad maupun matan.
b.
Memahami sunnah sesuai dengan
pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-wurud teks hadis untuk menentukan makna
suatu hadis yang sebenarnya.
c.
Memastikan bahwa sunnah yang
dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat.[6]
B.
Metode Dalam Memahami Hadis
1.
Memahami Hadis Sesuai Petunjuk
Al-Qur’an
Untuk memahami sunnah dengan
baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan pentakwilan yang keliru, kita
harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-qur’an, yaitu bingkai
tuntunan-tuntunan illahi yang kebenarannya dan keadilan bersifat pasti,
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا
مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu
(al-Qur’an) sebagai kalimat yang yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat
mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui” (al-An’am :115)
Al-Qur’an adalah roh eksistensi Islam dan
asas bangunannya. Ia adalah konstitusi illahi yang
menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun sunnah Nabi
adalah penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun
praktis.[7]
Memahami hadis sesuai petunjuk
al-Qur’andidasarkan pada argumentasi bahwa al-Qur’anadalah sumber utama yang menempati
tempat tertinggi dalam keseluruhan sistem doktrial Islam. Sedangkan hadis
adalah penjelas atas prinsip-prinsip al-qur’an. Oleh karena itu, makna hadis
dan signifikansi kontekstualnya tidak bisa bertentangan dengan al-qur’an.
Jika terjadi pertentangan, maka
hal itu bisa terjadi karena hadis tersebut tidak sahih, atau pemahamannya yang
tidak tepat, atau yang diperkirakan sebagai pertentangan itu bersifat semu dan
bukan hakiki. Jika hal itu terjadi, maka tugas seorang muslim adalah
mentawqufkan hadis yang di lihatnya bertentangan dengan ayat al-Qur’anyang
muhkam selama tidak ada penafsiran yang dapat diterima.
Atas dasar itu, hadis palsu yang
dikenal dengan hadis gharaniq jelas harus ditolak karena
bertentangan dengan al-Qur’anyang mengancam kaum musyrik berkenaan dengan
“tuhan-tuhan mereka yang palsu”:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى (19) وَمَنَاةَ
الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى (20) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى (21) تِلْكَ
إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (22) إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ
وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ
إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ
الْهُدَى (23)
Artinya:
“Maka apakah
patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Latta dan Al-Uzza, dan manat
yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah
(patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang
demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah
nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak
menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka,
dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka” (QS
An-Najm: 19-23)
Bagaimana mungkin dalam konteks
ayat yang berisi celaan dan kecaman terhadap berhala-berhala tersebut, ada
ungkapan yang memuji mereka, yaitu kalimat, itulah berhala-berhala
(gharaniq) yang mulia dan syafaat mereka sangat diharapkan.
Yusuf Qardhawi menyangkal hadis
ini, menurutnya, sungguh mustahil dalam runtutan ayat-ayat yang berisi
penyangkalan dan kecaman keras terhadap patung-patung itu terdapat sisipan yang
memujinya.[8]
Contoh lain, Hadist tentang
nishab tanaman yang wajib dizakati, yang dijadikan dasar pada ulama fiqih untuk
membatasi macam dan jenis tanaman tertentu (tidak termasuk sayuran) yang wajib
dikeluarkan zakatnya. Hadist ini bertentangan dengan kandungan umum Q.S.
al-An’am {6}:141, tentang diwajibkannya zakat atas hasil bumi tanpa terkecuali.
Di samping itu, Yusuf al-Qardhawi tidak menyetujui pemahaman yang menganggap
bahwa tidak diwajibkannya zakat atas sayuran karena cepat rusak, sehingga tidak
bisa disimpan di Bait al-Mal terlalu lama.
2.
Menghimpun Hadis-Hadis Yang
Setema
Upaya memahami sunnah, menurut Yusuf
Qardhawi, dapat dilakukan dengan menghimpun hadis-hadis shahih yang
berkaitan dengan tema tertentu. Setelah penghimpunan hadis-hadis setema,langkah
berikutnya adalah mengembalikan kandungannyayang mutasyabih kepada
yang muhkam, mengaitkan yang mutlaqdengan yang muqayyad dan
menafsirkan yang ‘am dengan yang khas.
Metode ini merupakan keniscayaan
oleh karena hadis berfungsi sebagai penafsir al-Qur’an dan penjelas
makna-maknanya dengan merinci, menafsirkan, mengkhususkan dan membatasi apa
yang dinyatakan oleh al-qur’an, maka sudah barang tentu ketentuan-ketentuan ini
pula yang di terapkan antar hadis.[9]
Contoh yang diangkat oleh Yusuf
Qardhawi untuk memperjelas upaya ini adalah tema tentang hukum memakai sarung
sampai di bawah mata kaki. Langkah pertama adalah mengemukakan beberapa hadis
tentang celaan terhadap orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki.
Kemudian menyebutkan hadis-hadis yang berkaitan dengan orang-orang yang
mengenakan sarung sampai dibawah mata kaki. Kemudian menyebutkan
hadis-hadis yang berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan sarung
sampai di bawah mata kaki tanpa dibarengi kesombongan. Selanjutnya ia
menampilkan hadis-hadis yang menjelaskan tentang celaan terhadap orang yang
menjulurkan sarung atau pakaianya karena kesombongan.
Disamping itu, Yusuf Qardhawi
juga mengungkapkan penjelasan-penjelasan dari berbagai ulama, di antaranya Ibn
Hajar dan al-Nawawi. Pada akhirnya menyimpulkan dengan membawa hadis-hadis yangdalalahnya
muthlaq pada hadis yang dalalahnya muqayyad, bahwa
ancaman terhadap perbuatan menjulurkan sarung itu terbatas kepada orang yang
melakukannya karena kesombongan dan kebanggaan diri saja. Jika menjulurkan
sarung karena adat kebiasaan maka tidak termasuk sasaran ancaman. Yang menjadi
perhatian agama dalam hal ini adalah niat dan motivasi batiniah yang berada di
balik perbuatan lahiriyah. Hal yang sangat ditentang oleh agama adalah
kesombongan, kebanggaan diri, keangkuhan, sikap merendahkan orang lain, dan
penyakit-penyakit jiwa lainnya. Di samping itu, urusan model dan bentuk pakaian
terkait dengan tradisi dan kebiasaan manusia, yang seringkali berbeda-beda
sesuai perbedaan iklim antara panas dan dingin, antara kaya dan miskin, antara
yang mampu dan tidak, jenis pakaian, tingkat kehidupan, dan berbagai pengaruh
lainnya.[10]
3.
Menggabungkan Atau Mentarjih
Hadis-Hadis Yang Bertentangan
Pada prinsipnya, nash-nash
syariat yang benar tidak mungki bertentangan. Apabila pertentangan
tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara
kedua nash, hal itu lebih baik daripada mentarjihkan antara keduanya. Sebab,
pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya dan memperioritaskan
yang lainnya.[11]
Contoh hadisnya adalah hadis
tentang Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi yang
mengharamkan seorang wanita melihat laki-laki sekalipun laki-laki itu buta.
Hadis tersebut bertentangan dengan hadis Aisyah dan Fatimah binti Qais yang
keduanya dinilai shahih:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا ابْنُ
الْمُبَارَكِ عَنْ يُونُسَ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ حَدَّثَنِى نَبْهَانُ مَوْلَى
أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه
وسلم- « احْتَجِبَا مِنْهُ ». فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ
يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- «
أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ ».[12]
Artinya: “Dari Ummu Salamah,
katanya, Aku dan Maimunah bersama RasulullahSAW. Lalu Ibn Ummu Maktum datang.
Waktu itu telah turun perintah tentang hijab. Rasulullahberkata kepada kami,
‘berhijablah kalian dihadapannya!’ kami bertanya,’ ya Rasulullah, bukankah dia
buta, tidak bisa melihat dan mengenali kami?’ Nabi SAW menjawab,’apakah kalian
berdua juga buta. Bukankah kalian dapat melihatnya?”
Hadis inisekalipun dipandang
sahih oleh at-tirmidzidalam sanadnya terdapat Nabhan, maula Ummu Salamah. Ia
seorang yang tidak dikenal identitasnya (majhul) dan tidak dianggap
terpercaya (tsiqqah), kecuali oleh Ibnu Hibban. Adz-Dzahabi dalam
Al-Mughni memasukkanyya ke dalam perawi yang dhaif.
Hadis ini bertentangan dengan
hadis Al-Bukhari dan muslim, yang membolehkan seorang wanita melihat wanita
yang bukan muhrimnya.
عن عائشة رضي الله عنهما قالت رأيت النبي صلى الله
عليه وسلم يَسْتُرُنِى
بِرِدَائِهِ وَأَنَا
أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ في المسجد[13]
Artinya: “dari aisyah,
katanya, Nabi menutupiku dengan selendangnya ketika aku sedang melihat
orang-orang Habasyah sedang bermain di masjid”
Al-Qadhi Iyadh berkata, “hadis
ini membolehkan wanita melihat pekerjaan yang dilakukan kaum laki-laki yang
bukan mahram. Adapun yang tidak disukai adalah memandang bagian-bagian tubuh
yang indah dan menikmatinya.” Hal ini dikuatkan oleh hadis Al-Bukhari dan
Muslim dari Fatimah Binti Qais bahwa Nabi SAW berkata kepadanya, ketika dia
diceraikan oleh suaminya:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى
قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى
الأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ
وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ
وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَىْءٍ. فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ « لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ ».
فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِى بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ « تِلْكَ
امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِى اعْتَدِّى عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ
فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ
فَآذِنِينِى ». قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ
أَبِى سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا
مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ ».[14]
“Tinggalah selama masa iddahmu di rumah
Ibn Ummu Maktum. Ia seorang buta. Oleh karena itu, engkau dapat menanggalkan
bajumu karena ia tidak melihat”
Sebelumnya, beliau pernah
menyarankan kepadanya untuk melewati masa iddahnya di rumah ummu Syarik,
kemudian beliau berkata,”Ia adalah seorang wanita yang sering dikunjungi
sahabat. Sebaiknya engkau tinggal di rumah Ibn Ummu Maktum”.
Dalam mengomentari hadis Ummu
salamah di atas, Imam Al-Qurthubi berkata,”kalau kita mengandalkan
kesahihannya, hal itu menunjukkan sikap keras Rasulullahatas istri-istrinya
dalam menjaga kehormatan mereka, sebagaimana dalam masalah hijab, oleh karena
itu, yang menjadi pegangan adalah makna hadis sahih bahwa Nabi SAW memerintahkan
Fatimah binti Qais untuk melewati masa iddah di rumah Ummu Maktum. Ini berarti
dilakukannya jalan penggabungan antara hadis yang lemah dengan yang shahih.
Al-Qurthubi berkomentar: sebagian
ulama menjadikan hadis ini sebagai dalil bahwa wanita boleh melihat bagian
tubuh laki-laki, sebagaimana yang boleh dilihat laki-laki atas wanita, seperti
kepala, tempat menggantungkan anting-anting. Sementara bagian yang termasuk
aurat tetap tidak boleh.
4.
Memahami Hadis Sesuai Latar
Belakang, Situasi, Kondisi, Dan Tujuan
Untuk memahami hadis secara tepat
dibutuhkan pengetahuan tentang sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi
timbulnya hadis, sehingga dapat ditemukan illat yang
menyertainya. Kalau ini tidak dipertimbangkan, maka pemahaman akan
menjadi salah dan jauh dari tujuan syari`. Hal ini mengingat hadis Nabi
merupakan penyelesaian terhadap problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporal. Dengan
mengetahui hal ini, seseorang dapat melakukan pemilahan antara yang umum,
sementara dan abadi, dan antara yang universal dengan partikular.[15]
Dalam pandangan Yusuf
al-Qardhawi, jika kondisi telah berubah, dan tidak ada illat lagi, maka hukum
yang bersinggungan dengan suatu nash akan gugur. Demikian juga dengan hadis
yang berlandaskan suatu kebiasaan bersifat temporer yang berlaku pada masa Nabi
dan mengalami perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang
dikandungnya dan bukanlah pengertian harfiyah.
Contohnya:
أنتم أعلم بأمر دنياكم ...الحديث رواه مسلم
Hadis ini tidak tepat apabila
dimaknai, untuk urusan dunia Rasul menyerahkan sepenuhnya kepada umat
Islam, karena dalam berbagai bidang: ekonomi,
sosial,politik dll. Rasul telah memberikan garis yang jelas. Hadis
ini harus dipahami menurut sebab khusus yang menyertainya, yakni
bahwa untuk urusan penyerbukan kurma, maka para petani Madinah memang lebih
ahli ketimbang Rasul. Maksud hadis Nabi terhadap keahlian profesi
ataupun keahlian lainnya. Jadi, para petani lebih mengetahui tentang dunia
pertanian daripada mereka yang bukan petani. Para pedagang lebih mengetahui
dunia perdagangan daripada para petani. Petunjuk Nabi tentang penghargaan
terhadap keahlian profesi atau bidang keahlian itu bersifat universal.[16]
Contoh lainnya, seperti hadis:
لا تسافر امر أة إلا معها محرم رواه البخاري ومسلم
Hadis ini kurang tepat kalau
dimaknai setiap perempuan (kapan dan dimanapun) tidak boleh bepergian sendiri,
ia harus disertai mahram. Illat hadis ini sesungguhnya ialah
kekhawatiran akan terjadi fitnah dan bahaya bagi perempuan yang bepergian
sendiri dengan melewati padang pasir serta banyaknya penyamun
diperjalanan. Karena itu ketika kondisi telah aman dan kekhawatiran
telah sirna, tidaklah mengapa perempuan bepergian sendiri.
5.
Membedakan Antara Sarana Yang
Berubah Dan Tujuan Yang Tetap
Untuk menghindari kesalahan dalam
memahami hadis, harus dapat membedakan sarana dan sasaran atau
tujuan. Kesalahan terbanyak
biasanya menganggap sama keduanya. Tujuan itulah
yang seharusnya menjadi tuntunan kita bukan sarana, yang setiap waktu dapat
berubah.
Contohnya:
خير ما تداويتم به الحجامة. رواه احمد وغيره
Hadis ini memberitahukan bahwa
sebaik-baik obat ialah berbekam. Berbekam ini merupakan sarana,
jadi ketika telah ditemukan obat yang lebih baik, berbekam tidak lagi dianggap
yang terbaik, dan ini tidak menyalahi hadis. Menurut Yusuf al-Qardhawi, resep
yang disebutkan dalam hadis ini bukanlah “roh” dari pengobatan Nabi. Roh-nya
adalah memelihara kesehatan dan kehidupan manusia, keselamatan tubuh, kekuatan
serta haknya untuk beristirahat jika lelah, dan berobat jika sakit. Berobat
tidak bertentangan dengan keimanan pada takdir ataupun tawakkal kepada Allah.
Sarana itu selalu berubah dari
waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain. Bahkan sarana itu mesti
berubah. Apabila hadis menentukan sarana tertentu, hal ini dimaksudkan untuk
menjelaskan suatu realita, bukan untuk mengikat kita dengannya, ataupun menutup
kita dengan sarana lainnya.[17]
Bahasa arab seringkali
menggunakan ungkapan dalam bentuk majaz (kiasan, metafor).
Dalam ilmubalaghah dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz,
lebih berkesan ketimbang dalam dalam bentukhakiki (biasa). Adapun
rasul yang mulia adalah seorang penutur bahasa arab yang paling menguasaibalaghah. Ucapan-ucapannya
adalah bagian dari yang diwahyukan maka tidak mengherankan jika dalam
hadis-hadisnya, beliau banyak menggunakan majaz, untuk mmengungkapkan maksud
beliau dengan cara yang mengesankan.
Pengertian majaz disini mencakup majaz
lughawi, ‘aqli, isti’arah, kinayah, dan berbagai ungkapan lainnya yang
tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi hanya dapat difahami
dengan berbagai macam pendekatan indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat
tekstual maupun kontekstual.
Dalam keadaan tertentu,
adakalanya pemahaman berdasarkan majaz merupakan suatu
keharusan. Jika tidak difahami dalam makna majaz, artinya akan
menyimpang dari makna yang akan dimaksud dan akan menjerumuskan dalam
kekeliruan. Ketika RasulullahSAW berkata kepada istri-istrinya:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ أَبُو أَحْمَدَ
حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى السِّيْنَانِىُّ أَخْبَرَنَا طَلْحَةُ بْنُ
يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ
الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
أَسْرَعُكُنَّ لَحَاقًا بِى أَطْوَلُكُنَّ
يَدًا ». قَالَتْ
فَكُنَّ يَتَطَاوَلْنَ أَيَّتُهُنَّ أَطْوَلُ يَدًا. قَالَتْ فَكَانَتْ
أَطْوَلَنَا يَدًا زَيْنَبُ لأَنَّهَا كَانَتْ تَعْمَلُ بِيَدِهَا وَتَصَدَّقُ.[19]
Artinya: “yang paling
cepat menyusulku diantara kalian-sepeninggalku- adalah yang paling panjang
tangannya”
Mereka mengira yang dimaksud
adalah orang yang tangannya paling panjang. Karena itu, seperti yang dikatakan
Aisyah r.a; mereka saling mengukur, siapa diantara mereka yang tangannya paling
panjang. Bahkan, menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu
untuk mengukur tangan siapakah yang paling panjang.
Padahal, RasulullahSAW tidak
bermaksud seperti itu. Yang dimaksud dengan sabda beliau” tangan yang paling
panjang” ialah yang paling baik dan dermawan. Sabda Nabi SAW ini memang sesuai
dengan fakta di kemudian hari. Di antara istri-istri beliau yang paling cepat
meninggal duniasetelah beliauadalah Zainab binti Jahsy r.a. ia dikenal sebagai
wanita yang sangat terampil, bekerja dengan kedua tangannya dan suka
bersedekah.
Jika melihat kandungan hadis, ada
banyak hadis-hadis yang berbicara tentang hal-hal ghaib. Diantaranya, mengenai
makhluk-makhluk yang tidak dapat diindra, alam kubur, kehidupan akhirat
termasuk mizan, masyar, hisab. Hadis-hadis yang berkualitas sahih mengenai hal
semacam ini, bagi Yusuf Qardhawi tetaplah wajib diterima. Tidak dibenarkan
menolak hadis-hadis tersebut hanya karena tidak bisa dialami oleh manusia
(pengalaman empiris). Selama masih dalam batas kemungkinan menurut akal,
tetaplah bisa diterima.
Contohnya:
حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عَبْدِ
الْمُؤْمِنِ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه
وسلم - قَالَ « إِنَّ فِى الْجَنَّةِ لَشَجَرَةً يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِى
ظِلِّهَا مِائَةَ عَامٍ لاَ يَقْطَعُهَا » .[21]
Artinya: “Di surga
terdapat sebuah pohon yang jika seorang pengendara melewati dibawahnya selama
seratus tahun, maka tidak cukup untuk menempuhnya”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’d, Abu Said dan Abu Hurairah.
Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Anas. Karena itu, ketika menafsirkan firman
Allah: وَظِلٍّ مَمْدُودٍ(dalam
naungan yang terbentang luas ; QS al-Waqi’ah: 30), Ibn Katsir
menyebutkan bahwa hadis itu benar-benar berasal dari rosulullah SAW; bahkan
termasuk hadis mutawatir yang dipastikan keshahihannya menurut penilaian para
pakar hadis.
Secara lahiriyah, seratus tahun yang
dimaksud dalam hadis di atas adalah menurut ukuran dunia. Dan tidak ada yang
mengetahui perbandingan antara waktu didunia dan waktu disisi Allah, selain
Allah SWT. Dalam Al-qur’an disebutkan:
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّون
Artinya: “dan sesungguhnya
satu hari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun dalam perhitungan”(QS.
Al-Hajj: 47)
Apabila hadis tersebut shahih,
kita hanya dapat berkata dengan penuh keyakinan, “kami percaya dan
membenarkannya” sambil meyakini bahwa di akhirat ada aturan tersendiri yang
berbeda dengan tatanan di dunia.
8.
Memastikan Makna Kata-Kata Dalam
Hadis
Memastikan makna dan konotasi
kata-kata sangat penting dalam memahami sebuah hadis. Sebab, konotasi kata-kata
tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dari suatu
lingkungan ke lingkungan lainnya.
Contohnya ialah pemaknaan kata kata
تصوير dan مصور
Yang banyak ditemukan
dalam teks-teks hadis shahih, yang maksudnya ialah menggambar dan
penggambar yang ada bayang-bayangnya, dan sekarang dikenal dengan
kata memahat dan pemahat. Padahal dengan berkembangnya
bahasa, saat ini kata tashwir dan mushawwir, yang dalam hadis akan
diancam dengan ancaman yang sangat pedih itu diartikan memotret dan
memotret/fotografer.
Karena itu
kata-kata tersebut tidak boleh dimaknai sebagaimana makna yang
berkembang sekarang, tetapi harus dikembalikan pada makna aslinya. Teknologi fotografi ini belum ada dan tidak dikenal pada masa Nabi, maka
tidak mungkin ditujukan pada ahli foto. Jadi, memasukkan ancaman kepada ahli
foto tidaklah tepat. Dan inilah yang membuat Yusuf al-Qardhawi berhati-hati
dalam memastikan makna suatu kata tertentu dalam hadis.
IV.
KESIMPULAN
Metode yang ditawarkan oleh Yusuf
al-Qardhawi dalam memahami matan hadis adalah sebagai berikut:
a.
Memahami Hadis Sesuai Petunjuk
Al-Qur’an
b.
Menghimpun Hadis-Hadis Yang
Setema
c.
Menggabungkan Atau Mentarjih Hadis-Hadis
Yang Bertentangan
d.
Memahami Hadis Sesuai Latar
Belakang, Situasi, Kondisi, Dan Tujuan
e.
Membedakan Antara Sarana Yang
Berubah Dan Tujuan Yang Tetap
f.
Membedakan Antara Ungkapan Yang
Haqiqah Dan Majaz
g.
Membedakan Yang Ghaib Dan Yang
Nyata
h.
Memastikan Makna Kata-Kata Dalam
Hadis
Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf
al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama sekali baru. Beberapa kriteria yang
ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan refleksi hasil dialog dan pembacaan
yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari realitas masyarakat dan berbagai konsep
yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya. Selain itu, pentingnya
memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadis, mengingat jarak waktu yang
memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.
V.
PENUTUP
Demikianlah
pembahasan makalah yang dapat kami paparkan. Dan tentunya masih terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan baik dari susunan isinya maupun dalam penyampaiannya.
Maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan, dan semuga makalah ini
dapat menambah wawasan kita. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Hery Yusuf, Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakar Hingga Nasr Dan
Qardhawi, Jakarta: Mizan Republika, 2003
Zumrodi, Jurnal Hermeneutik Volume
4, Nomer 1, Januari 2009
Kurdi dkk,
Hermeneutika Al-Qur’anDan Hadis, Yogyakarta: El-Saq Press, 2010
Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim
Wa Dhawabith, Kairo: Maktabah Wahbah, 1991
Yusuf Qardhawi,Al-Madkhal Li Dirasah as-Sunnah
an-Nabawiyyah, terj. Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadis,
terj. Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Sunan Abu Dawud, no. 4114 dan Sunan at-Tirmidzi, no
1779. Menurut at-Tirmidzi hadis ini Hasan Shahih. Menurut Syekh Al Al-Bani,
hadis ini dhaif
H.R. Bukhari dan muslim. Juga diriwayatkan oleh
yang lainnya dengan redaksi yang berbeda tetapi maknanya sama. Lihat Al-Lu’lu
wa Al-Marjan no. 513
Al-Muslim, Shahih Muslim, no. 3770,
maktabah syamilah
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan
Kontekstual: Tela’ah Ma’ani Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal,
Temporal, Dan Local, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Shahih muslim no. 6470, juz 7 hlm 144
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, no.
3251, juz 11, maktabah syamilah
[1]Hery Yusuf, Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakar Hingga Nasr Dan
Qardhawi, Jakarta: Mizan Republika, 2003, Hlm 360
[3]http://indrayogi.multiply.com
[7]Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim
Wa Dhawabith, Kairo: Maktabah Wahbah, 1991, hlm 93
[8]Yusuf Qardhawi,Al-Madkhal Li Dirasah as-Sunnah an-Nabawiyyah, terj.
Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia, 2007 hlm 155
[9]Kurdi dkk, Op. Cit hlm 439
[10]Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus Suyadi,
Bandung: Pustaka Setia, 2007 hlm 178-179
[12]Sunan Abu Dawud, no. 4114 dan Sunan at-Tirmidzi, no 1779. Menurut
at-Tirmidzi hadis ini Hasan Shahih. Menurut Syekh Al Al-Bani, hadis ini dhaif
[13]H.R. Bukhari dan muslim. Juga
diriwayatkan oleh yang lainnya dengan redaksi yang berbeda tetapi maknanya
sama. Lihat Al-Lu’lu wa Al-Marjan no. 513
[14]Al-Muslim, Shahih Muslim, no. 3770, maktabah syamilah
[15]Kurdi dkk, Op. Cit hlm 441
[16]Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani
Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Local, Jakarta:
Bulan Bintang, 1994, Hlm 58
[17]Yusuf al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, Op. Cit, hlm 220
[18]Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim
Wa Dhawabith, op. cit, hlm 155
[19]Shahih muslim no. 6470, juz 7 hlm 144
[20]Yusuf qardhawi, Pengantar Studi Hadis, Op. Cit, hlm 269
[21]Al-Bukhari, Shahih Bukhari, no. 3251, juz 11,
maktabah syamilah, hlm 397