Minggu, 31 Januari 2016

Makalah Metode Pemahaman Hadits Yusuf Qardhawi. (pemahaman hadits secara kontemporer)



I.              PENDAHULUAN
Problem hadis, jika dapat diuraimeliputi banyak hal, mulai dari otentisitas yang banyak digugat oleh orientalis, melebar pada pentransmisian (isnad), sejarah perubahan tradisi verbal pada kodifikasi menjadi teks hadis, hingga pada problem understanding dan meaning. Problem ini menempati posisi penting sekaligus secara substantif member spirit revaluatif dan reinterpretatif terhadap berbagai pemahaman dan penafsiran hadis.
Problem pemahaman ini kemudian dicoba untuk dicarikan solusinya oleh para pemerhati hadis dan ilmuwan hadis yang mencoba memahami matn hadis dengan berbagai metode. Salah satunya adalah Yusuf al-Qardhawi, yang mencoba menawarkan metode memahami hadis dalam karyanya Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah.

II.           PERMASALAHAN
Dari latar belakang di atas, munculah berbagai pertanyaan:
1.      Siapakah Yusuf al-Qardhawi dan bagaimana pemikirannya?
2.      Bagaimana Yusuf al-Qardhawi memberikan prinsip umum pemahaman hadis?

III.        PEMBAHASAN
A.    Biografi Yusuf Qardhawi Dan Pemikirannya
Di kalangan pemikir Islam, Yusuf Qardhawi dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa. Keunikan dan keistimewaan itu tak lain karena Qardhawi memiliki cara atau metodologi yang khas dalam menyampaikan risalah Islam. Lantaran metodologinya itulah, dia diterima kalangan dunia barat sebagai pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat. Kapasitasnya itulah yang membuat Qardhawi kerap kali menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama-agama di Eropa maupun di Amerika, sebagai wakil kelompok Islam.[1]
Yusuf Qardhawi lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shaft Turab di tengah Delta pada 9 september 1926. Ia telah menghafal al-Qur’anpada usia sepuluh tahun. Setelah menamatkan pendidikan di Ma’had Tsanawi Thanta, Qardhawi kemudian melanjutkan setudinya ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin dan menyelesaikannya pada tahun 1952 M.Namun gelar doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat Dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian disempurnakan menjadi Fiqh Zakat, sebuah buku yang komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern. [2]
Sebab keterlambatannya meraih gelar doktor, karena dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Ia terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961 dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Dalam perjalanan hidupnya, Qardhawi pernah mengenyam "pendidikan penjara” sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia masuk penjara tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara militer selama dua tahun.
Qardhawi terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidak adilan rezim saat itu.[3]
Yusuf Qardhawi termotivasi untuk menelurkan sebuah karya yang memuat prinsip-prisip dasar dan karakteristik-karakteristik serta aturan-aturan umum yang esensial untuk memahami as-sunah dengan pemahaman yang tepat.[4] Karya tersebut diberi judul “Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith”. Apa yang menjadi harapannya dalam buku ini adalah “maksimalisasi” pemahaman atas as-sunnah sebagai tandingan atas minimalisasi pemahaman yang dilakukan oleh sebagian orang ketika hanya berkutat pada pemahaman secara harfiyah, sebuah pemahaman yang hanya menyentuh ruh terdalamnya. Namun, bukan berarti maksimalisasi ini melampaui batasannya sebagaimana yang diistilahkan oleh Yusuf Qardhawi dengan “memasuki rumah tanpa melalui pintunya”.
Menurut Yusuf Qardhawi kedudukan sunnah sebagai penafsiran al-Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal, yang memiliki manhaj komprehensif, seimbang dan memudahkan. Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[5]
Atas dasar inilah, maka Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrim. Kedua, manipulasi orang-orang sesat (Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah, dan ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi menerapkan metode pemahaman hadis dengan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi dengan sunnah, yaitu;
a.         Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad maupun matan.
b.         Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-wurud teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis yang sebenarnya.
c.         Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat.[6]

B.     Metode Dalam Memahami Hadis
1.      Memahami Hadis Sesuai Petunjuk Al-Qur’an
Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan pentakwilan yang keliru, kita harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-qur’an, yaitu bingkai tuntunan-tuntunan illahi yang kebenarannya dan keadilan bersifat pasti,
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (al-An’am :115)
Al-Qur’an adalah roh eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia adalah konstitusi illahi yang menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun sunnah Nabi adalah penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun praktis.[7]
Memahami hadis sesuai petunjuk al-Qur’andidasarkan pada argumentasi bahwa al-Qur’anadalah sumber utama yang menempati tempat tertinggi dalam keseluruhan sistem doktrial Islam. Sedangkan hadis adalah penjelas atas prinsip-prinsip al-qur’an. Oleh karena itu, makna hadis dan signifikansi kontekstualnya tidak bisa bertentangan dengan al-qur’an.
Jika terjadi pertentangan, maka hal itu bisa terjadi karena hadis tersebut tidak sahih, atau pemahamannya yang tidak tepat, atau yang diperkirakan sebagai pertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki. Jika hal itu terjadi, maka tugas seorang muslim adalah mentawqufkan hadis yang di lihatnya bertentangan dengan ayat al-Qur’anyang muhkam selama tidak ada penafsiran yang dapat diterima.
Atas dasar itu, hadis palsu yang dikenal dengan hadis gharaniq jelas harus ditolak karena bertentangan dengan al-Qur’anyang mengancam kaum musyrik berkenaan dengan “tuhan-tuhan mereka yang palsu”:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى (19) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى (20) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى (21) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (22) إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (23)
Artinya:
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Latta dan Al-Uzza, dan manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka” (QS An-Najm: 19-23)
Bagaimana mungkin dalam konteks ayat yang berisi celaan dan kecaman terhadap berhala-berhala tersebut, ada ungkapan yang memuji mereka, yaitu kalimat, itulah berhala-berhala (gharaniq) yang mulia dan syafaat mereka sangat diharapkan.
Yusuf Qardhawi menyangkal hadis ini, menurutnya, sungguh mustahil dalam runtutan ayat-ayat yang berisi penyangkalan dan kecaman keras terhadap patung-patung itu terdapat sisipan yang memujinya.[8]
Contoh lain, Hadist tentang nishab tanaman yang wajib dizakati, yang dijadikan dasar pada ulama fiqih untuk membatasi macam dan jenis tanaman tertentu (tidak termasuk sayuran) yang wajib dikeluarkan zakatnya. Hadist ini bertentangan dengan kandungan umum Q.S. al-An’am {6}:141, tentang diwajibkannya zakat atas hasil bumi tanpa terkecuali. Di samping itu, Yusuf al-Qardhawi tidak menyetujui pemahaman yang menganggap bahwa tidak diwajibkannya zakat atas sayuran karena cepat rusak, sehingga tidak bisa disimpan di Bait al-Mal terlalu lama.
2.      Menghimpun Hadis-Hadis Yang Setema
Upaya memahami sunnah, menurut Yusuf Qardhawi, dapat dilakukan dengan menghimpun hadis-hadis shahih yang berkaitan dengan tema tertentu. Setelah penghimpunan hadis-hadis setema,langkah berikutnya adalah mengembalikan kandungannyayang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlaqdengan yang muqayyad dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khas.
Metode ini merupakan keniscayaan oleh karena hadis berfungsi sebagai penafsir al-Qur’an dan penjelas makna-maknanya dengan merinci, menafsirkan, mengkhususkan dan membatasi apa yang dinyatakan oleh al-qur’an, maka sudah barang tentu ketentuan-ketentuan ini pula yang di terapkan antar hadis.[9]
Contoh yang diangkat oleh Yusuf Qardhawi untuk memperjelas upaya ini adalah tema tentang hukum memakai sarung sampai di bawah mata kaki. Langkah pertama adalah mengemukakan beberapa hadis tentang celaan terhadap orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki. Kemudian menyebutkan hadis-hadis yang berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan sarung sampai dibawah mata kaki. Kemudian menyebutkan hadis-hadis  yang berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki tanpa dibarengi kesombongan. Selanjutnya ia menampilkan hadis-hadis yang menjelaskan tentang celaan terhadap orang yang menjulurkan sarung atau pakaianya karena kesombongan.
Disamping itu, Yusuf Qardhawi juga mengungkapkan penjelasan-penjelasan dari berbagai ulama, di antaranya Ibn Hajar dan al-Nawawi. Pada akhirnya menyimpulkan dengan membawa hadis-hadis yangdalalahnya muthlaq pada hadis yang dalalahnya muqayyad, bahwa ancaman terhadap perbuatan menjulurkan sarung itu terbatas kepada orang yang melakukannya karena kesombongan dan kebanggaan diri saja. Jika menjulurkan sarung karena adat kebiasaan maka tidak termasuk sasaran ancaman. Yang menjadi perhatian agama dalam hal ini adalah niat dan motivasi batiniah yang berada di balik perbuatan lahiriyah. Hal yang sangat ditentang oleh agama adalah kesombongan, kebanggaan diri, keangkuhan, sikap merendahkan orang lain, dan penyakit-penyakit jiwa lainnya. Di samping itu, urusan model dan bentuk pakaian terkait dengan tradisi dan kebiasaan manusia, yang seringkali berbeda-beda sesuai perbedaan iklim antara panas dan dingin, antara kaya dan miskin, antara yang mampu dan tidak, jenis pakaian, tingkat kehidupan, dan berbagai pengaruh lainnya.[10]
3.      Menggabungkan Atau Mentarjih Hadis-Hadis Yang Bertentangan
Pada prinsipnya, nash-nash syariat yang benar tidak mungki  bertentangan. Apabila pertentangan tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, hal itu lebih baik daripada mentarjihkan antara keduanya. Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya dan memperioritaskan yang lainnya.[11]
Contoh hadisnya adalah hadis tentang Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi yang mengharamkan seorang wanita melihat laki-laki sekalipun laki-laki itu buta. Hadis tersebut bertentangan dengan hadis Aisyah dan Fatimah binti Qais yang keduanya dinilai shahih:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يُونُسَ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ حَدَّثَنِى نَبْهَانُ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « احْتَجِبَا مِنْهُ ». فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ ».[12]
Artinya: “Dari Ummu Salamah, katanya, Aku dan Maimunah bersama RasulullahSAW. Lalu Ibn Ummu Maktum datang. Waktu itu telah turun perintah tentang hijab. Rasulullahberkata kepada kami, ‘berhijablah kalian dihadapannya!’ kami bertanya,’ ya Rasulullah, bukankah dia buta, tidak bisa melihat dan mengenali kami?’ Nabi SAW menjawab,’apakah kalian berdua juga buta. Bukankah kalian dapat melihatnya?”
Hadis inisekalipun dipandang sahih oleh at-tirmidzidalam sanadnya terdapat Nabhan, maula Ummu Salamah. Ia seorang yang tidak dikenal identitasnya (majhul) dan tidak dianggap terpercaya (tsiqqah), kecuali oleh Ibnu Hibban. Adz-Dzahabi dalam Al-Mughni memasukkanyya ke dalam perawi yang dhaif.
Hadis ini bertentangan dengan hadis Al-Bukhari dan muslim, yang membolehkan seorang wanita melihat wanita yang bukan muhrimnya.
عن عائشة رضي الله عنهما قالت رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ في المسجد[13]
Artinya: “dari aisyah, katanya, Nabi menutupiku dengan selendangnya ketika aku sedang melihat orang-orang Habasyah sedang bermain di masjid”
Al-Qadhi Iyadh berkata, “hadis ini membolehkan wanita melihat pekerjaan yang dilakukan kaum laki-laki yang bukan mahram. Adapun yang tidak disukai adalah memandang bagian-bagian tubuh yang indah dan menikmatinya.” Hal ini dikuatkan oleh hadis Al-Bukhari dan Muslim dari Fatimah Binti Qais bahwa Nabi SAW berkata kepadanya, ketika dia diceraikan oleh suaminya:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَىْءٍ. فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ « لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ ». فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِى بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ « تِلْكَ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِى اعْتَدِّى عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِى ». قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ ».[14]
“Tinggalah selama masa iddahmu di rumah Ibn Ummu Maktum. Ia seorang buta. Oleh karena itu, engkau dapat menanggalkan bajumu karena ia tidak melihat”
Sebelumnya, beliau pernah menyarankan kepadanya untuk melewati masa iddahnya di rumah ummu Syarik, kemudian beliau berkata,”Ia adalah seorang wanita yang sering dikunjungi sahabat. Sebaiknya engkau tinggal di rumah Ibn Ummu Maktum”.
Dalam mengomentari hadis Ummu salamah di atas, Imam Al-Qurthubi berkata,”kalau kita mengandalkan kesahihannya, hal itu menunjukkan sikap keras Rasulullahatas istri-istrinya dalam menjaga kehormatan mereka, sebagaimana dalam masalah hijab, oleh karena itu, yang menjadi pegangan adalah makna hadis sahih bahwa Nabi SAW memerintahkan Fatimah binti Qais untuk melewati masa iddah di rumah Ummu Maktum. Ini berarti dilakukannya jalan penggabungan antara hadis yang lemah dengan yang shahih.
Al-Qurthubi berkomentar: sebagian ulama menjadikan hadis ini sebagai dalil bahwa wanita boleh melihat bagian tubuh laki-laki, sebagaimana yang boleh dilihat laki-laki atas wanita, seperti kepala, tempat menggantungkan anting-anting. Sementara bagian yang termasuk aurat tetap tidak boleh.
4.      Memahami Hadis Sesuai Latar Belakang, Situasi, Kondisi, Dan Tujuan
Untuk memahami hadis secara tepat dibutuhkan pengetahuan tentang sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi timbulnya hadis, sehingga dapat ditemukan illat yang menyertainya.  Kalau ini tidak dipertimbangkan, maka pemahaman akan menjadi salah dan jauh dari tujuan syari`. Hal ini mengingat hadis Nabi merupakan penyelesaian terhadap problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporal. Dengan mengetahui hal ini, seseorang dapat melakukan pemilahan antara yang umum, sementara dan abadi, dan antara yang universal dengan partikular.[15]
Dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi, jika kondisi telah berubah, dan tidak ada illat lagi, maka hukum yang bersinggungan dengan suatu nash akan gugur. Demikian juga dengan hadis yang berlandaskan suatu kebiasaan bersifat temporer yang berlaku pada masa Nabi dan mengalami perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandungnya dan bukanlah pengertian harfiyah.
Contohnya:
أنتم أعلم بأمر دنياكم ...الحديث رواه مسلم
Hadis ini tidak tepat apabila dimaknai, untuk urusan dunia Rasul menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam,  karena  dalam berbagai bidang: ekonomi, sosial,politik dll. Rasul telah memberikan garis yang jelas.  Hadis ini harus dipahami  menurut sebab khusus yang menyertainya, yakni bahwa untuk urusan penyerbukan kurma, maka para petani Madinah memang lebih ahli ketimbang  Rasul. Maksud hadis Nabi terhadap keahlian profesi ataupun keahlian lainnya. Jadi, para petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian daripada mereka yang bukan petani. Para pedagang lebih mengetahui dunia perdagangan daripada para petani. Petunjuk Nabi tentang penghargaan terhadap keahlian profesi atau bidang keahlian itu bersifat universal.[16]
Contoh lainnya, seperti hadis:
لا تسافر امر أة إلا معها محرم  رواه البخاري ومسلم
Hadis ini kurang tepat kalau dimaknai setiap perempuan (kapan dan dimanapun) tidak boleh bepergian sendiri, ia harus disertai mahram.  Illat hadis ini sesungguhnya ialah kekhawatiran akan terjadi fitnah dan bahaya bagi perempuan yang bepergian sendiri dengan melewati  padang pasir serta banyaknya penyamun diperjalanan.  Karena itu ketika kondisi telah aman dan kekhawatiran telah sirna, tidaklah mengapa perempuan  bepergian sendiri.
5.      Membedakan Antara Sarana Yang Berubah Dan Tujuan Yang Tetap
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami hadis, harus dapat membedakan sarana dan sasaran atau tujuan.  Kesalahan  terbanyak biasanya  menganggap sama keduanya.  Tujuan  itulah yang seharusnya menjadi tuntunan kita bukan sarana, yang setiap waktu dapat berubah.
Contohnya:
خير ما تداويتم به الحجامة.  رواه احمد وغيره
Hadis ini memberitahukan bahwa sebaik-baik obat ialah berbekam.  Berbekam  ini merupakan sarana, jadi ketika telah ditemukan obat yang lebih baik, berbekam tidak lagi dianggap yang terbaik, dan ini tidak menyalahi hadis. Menurut Yusuf al-Qardhawi, resep yang disebutkan dalam hadis ini bukanlah “roh” dari pengobatan Nabi. Roh-nya adalah memelihara kesehatan dan kehidupan manusia, keselamatan tubuh, kekuatan serta haknya untuk beristirahat jika lelah, dan berobat jika sakit. Berobat tidak bertentangan dengan keimanan pada takdir ataupun tawakkal kepada Allah.
Sarana itu selalu berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain. Bahkan sarana itu mesti berubah. Apabila hadis menentukan sarana tertentu, hal ini dimaksudkan untuk menjelaskan suatu realita, bukan untuk mengikat kita dengannya, ataupun menutup kita dengan sarana lainnya.[17]
6.      Membedakan Antara Ungkapan Yang Haqiqah Dan Majaz[18]
Bahasa arab seringkali menggunakan ungkapan dalam bentuk majaz (kiasan, metafor). Dalam ilmubalaghah dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz, lebih berkesan ketimbang dalam dalam bentukhakiki (biasa). Adapun rasul yang mulia adalah seorang penutur bahasa arab yang paling menguasaibalaghah. Ucapan-ucapannya adalah bagian dari yang diwahyukan maka tidak mengherankan jika dalam hadis-hadisnya, beliau banyak menggunakan majaz, untuk mmengungkapkan maksud beliau dengan cara yang mengesankan.
Pengertian majaz disini mencakup majaz lughawi, ‘aqli, isti’arah, kinayah, dan berbagai ungkapan lainnya yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi hanya dapat difahami dengan berbagai macam pendekatan indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual.
Dalam keadaan tertentu, adakalanya pemahaman berdasarkan majaz merupakan suatu keharusan. Jika tidak difahami dalam makna majaz, artinya akan menyimpang dari makna yang akan dimaksud dan akan menjerumuskan dalam kekeliruan. Ketika RasulullahSAW berkata kepada istri-istrinya:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى السِّيْنَانِىُّ أَخْبَرَنَا طَلْحَةُ بْنُ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَسْرَعُكُنَّ لَحَاقًا بِى أَطْوَلُكُنَّ يَدًا ». قَالَتْ فَكُنَّ يَتَطَاوَلْنَ أَيَّتُهُنَّ أَطْوَلُ يَدًا. قَالَتْ فَكَانَتْ أَطْوَلَنَا يَدًا زَيْنَبُ لأَنَّهَا كَانَتْ تَعْمَلُ بِيَدِهَا وَتَصَدَّقُ.[19]
Artinya: “yang paling cepat menyusulku diantara kalian-sepeninggalku- adalah yang paling panjang tangannya”
Mereka mengira yang dimaksud adalah orang yang tangannya paling panjang. Karena itu, seperti yang dikatakan Aisyah r.a; mereka saling mengukur, siapa diantara mereka yang tangannya paling panjang. Bahkan, menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk mengukur tangan siapakah yang paling panjang.
Padahal, RasulullahSAW tidak bermaksud seperti itu. Yang dimaksud dengan sabda beliau” tangan yang paling panjang” ialah yang paling baik dan dermawan. Sabda Nabi SAW ini memang sesuai dengan fakta di kemudian hari. Di antara istri-istri beliau yang paling cepat meninggal duniasetelah beliauadalah Zainab binti Jahsy r.a. ia dikenal sebagai wanita yang sangat terampil, bekerja dengan kedua tangannya dan suka bersedekah.
7.      Membedakan Yang Ghaib Dan Yang Nyata[20]
Jika melihat kandungan hadis, ada banyak hadis-hadis yang berbicara tentang hal-hal ghaib. Diantaranya, mengenai makhluk-makhluk yang tidak dapat diindra, alam kubur, kehidupan akhirat termasuk mizan, masyar, hisab. Hadis-hadis yang berkualitas sahih mengenai hal semacam ini, bagi Yusuf Qardhawi tetaplah wajib diterima. Tidak dibenarkan menolak hadis-hadis tersebut hanya karena tidak bisa dialami oleh manusia (pengalaman empiris). Selama masih dalam batas kemungkinan menurut akal, tetaplah bisa diterima.
Contohnya:
حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عَبْدِ الْمُؤْمِنِ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ فِى الْجَنَّةِ لَشَجَرَةً يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِى ظِلِّهَا مِائَةَ عَامٍ لاَ يَقْطَعُهَا » .[21]
Artinya: “Di surga terdapat sebuah pohon yang jika seorang pengendara melewati dibawahnya selama seratus tahun, maka tidak cukup untuk menempuhnya”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’d, Abu Said  dan Abu Hurairah. Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Anas. Karena itu, ketika menafsirkan firman Allah: وَظِلٍّ مَمْدُودٍ(dalam naungan yang terbentang luas ; QS al-Waqi’ah: 30), Ibn Katsir menyebutkan bahwa hadis itu benar-benar berasal dari rosulullah SAW; bahkan termasuk hadis mutawatir yang dipastikan keshahihannya menurut penilaian para pakar hadis.
Secara lahiriyah, seratus tahun yang dimaksud dalam hadis di atas adalah menurut ukuran dunia. Dan tidak ada yang mengetahui perbandingan antara waktu didunia dan waktu disisi Allah, selain Allah SWT. Dalam Al-qur’an disebutkan:
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّون
Artinya: “dan sesungguhnya satu hari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun dalam perhitungan”(QS. Al-Hajj: 47)
Apabila hadis tersebut shahih, kita hanya dapat berkata dengan penuh keyakinan, “kami percaya dan membenarkannya” sambil meyakini bahwa di akhirat ada aturan tersendiri yang berbeda dengan tatanan di dunia.
8.      Memastikan Makna Kata-Kata Dalam Hadis
Memastikan makna dan konotasi kata-kata sangat penting dalam memahami sebuah hadis. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya.
Contohnya ialah pemaknaan kata kata
تصوير dan   مصور
Yang banyak  ditemukan dalam teks-teks hadis shahih, yang maksudnya  ialah menggambar dan penggambar  yang ada bayang-bayangnya, dan sekarang dikenal dengan kata memahat dan pemahat. Padahal   dengan berkembangnya bahasa, saat ini kata tashwir dan mushawwir, yang dalam hadis  akan diancam dengan ancaman yang sangat pedih itu diartikan  memotret dan memotret/fotografer.
Karena  itu kata-kata  tersebut tidak boleh dimaknai sebagaimana makna yang berkembang sekarang, tetapi harus dikembalikan pada makna aslinya. Teknologi fotografi ini belum ada dan tidak dikenal pada masa Nabi, maka tidak mungkin ditujukan pada ahli foto. Jadi, memasukkan ancaman kepada ahli foto tidaklah tepat. Dan inilah yang membuat Yusuf al-Qardhawi berhati-hati dalam memastikan makna suatu kata tertentu dalam hadis.

IV.        KESIMPULAN
Metode yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi dalam memahami matan hadis adalah sebagai berikut:
a.              Memahami Hadis Sesuai Petunjuk Al-Qur’an
b.             Menghimpun Hadis-Hadis Yang Setema
c.              Menggabungkan Atau Mentarjih Hadis-Hadis Yang Bertentangan
d.             Memahami Hadis Sesuai Latar Belakang, Situasi, Kondisi, Dan Tujuan
e.              Membedakan Antara Sarana Yang Berubah Dan Tujuan Yang Tetap
f.              Membedakan Antara Ungkapan Yang Haqiqah Dan Majaz
g.             Membedakan Yang Ghaib Dan Yang Nyata
h.             Memastikan Makna Kata-Kata Dalam Hadis
Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari realitas masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya. Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadis, mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.

V.           PENUTUP
Demikianlah pembahasan makalah yang dapat kami paparkan. Dan tentunya masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan baik dari susunan isinya maupun dalam penyampaiannya. Maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan, dan semuga makalah ini dapat menambah wawasan kita. Amin.






















DAFTAR PUSTAKA

Hery Yusuf, Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakar Hingga Nasr Dan Qardhawi, Jakarta: Mizan Republika, 2003
Zumrodi, Jurnal Hermeneutik Volume 4, Nomer 1, Januari 2009
Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’anDan Hadis, YogyakartaEl-Saq Press, 2010
Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, Kairo:  Maktabah Wahbah, 1991
Yusuf Qardhawi,Al-Madkhal Li Dirasah as-Sunnah an-Nabawiyyah, terj. Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Sunan Abu Dawud, no. 4114 dan Sunan at-Tirmidzi, no 1779. Menurut at-Tirmidzi hadis ini Hasan Shahih. Menurut Syekh Al Al-Bani, hadis ini dhaif
H.R. Bukhari dan muslim. Juga diriwayatkan oleh yang lainnya dengan redaksi yang berbeda tetapi maknanya sama. Lihat Al-Lu’lu wa Al-Marjan no. 513
Al-Muslim, Shahih Muslim, no. 3770, maktabah syamilah
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Local, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Shahih muslim no. 6470, juz 7 hlm 144
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, no. 3251,  juz 11, maktabah syamilah


[1]Hery Yusuf, Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakar Hingga Nasr Dan Qardhawi, Jakarta: Mizan Republika, 2003, Hlm 360
[2]Zumrodi, Jurnal Hermeneutik Volume 4, Nomer 1, Januari 2009, Hal: 166

[3]http://indrayogi.multiply.com
[4]Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’anDan Hadis, YogyakartaEl-Saq Press, 2010, Hal 434
[5]Ibid hlm 435
[7]Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, Kairo:  Maktabah Wahbah, 1991, hlm 93
[8]Yusuf Qardhawi,Al-Madkhal Li Dirasah as-Sunnah an-Nabawiyyah, terj. Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia, 2007 hlm 155
[9]Kurdi dkk, Op. Cit hlm 439
[10]Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia, 2007 hlm 178-179
[11]Ibid hlm 186
[12]Sunan Abu Dawud, no. 4114 dan Sunan at-Tirmidzi, no 1779. Menurut at-Tirmidzi hadis ini Hasan Shahih. Menurut Syekh Al Al-Bani, hadis ini dhaif
[13]H.R. Bukhari dan muslim. Juga diriwayatkan oleh yang lainnya dengan redaksi yang berbeda tetapi maknanya sama. Lihat Al-Lu’lu wa Al-Marjan no. 513
[14]Al-Muslim, Shahih Muslim, no. 3770, maktabah syamilah
[15]Kurdi dkk, Op. Cit hlm 441
[16]Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Local, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, Hlm 58
[17]Yusuf al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, Op. Cit, hlm 220
[18]Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma’alim Wa Dhawabith, op. cit, hlm 155
[19]Shahih muslim no. 6470, juz 7 hlm 144
[20]Yusuf qardhawi, Pengantar Studi Hadis, Op. Cit, hlm 269
[21]Al-Bukhari, Shahih Bukhari, no. 3251,  juz 11, maktabah syamilah, hlm 397