Selasa, 31 Oktober 2017

GERAKAN DI/TII DI INDONESIA (Kartosuwirjo)

GERAKAN DI/TII DI INDONESIA
A.    Gagasan Darul Islam Kartosuwirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo demikian nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada tanggal 7 januari 1907 di Cepu, sbuah kota kecil antara blora dan bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Berbeda dengan tokoh Islam lainnya, ia tak punya latar belakang pendidikan agama. Pendidikan formalnya memang dihabiskan dalam sistem pendidikan Belanda. Kartosoewirjo beruntung, posisi ayahnya sebagai pegawai pemerintah kolonial Belandi di bidang distribusi penjualan candu, membuat orang tuanya bisa menyekolahkan dirinya di sekolah Belanda. Ia menyelesaikan pendidikan SMA nya di ELS (Europeesche Legere School) di bojonegoro. Pada 1923 ia melanjutkan kuliah pada sekolah kedokteran NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School). Disana ia ikut kelas persiapan selama tiga tahun. Pada 1926, ia mulai kuliah kedokteran. Namun Kartosoewirjo hanya sekolah setahun, karena ia dikeluarkan dari NIAS dikarenakan memiliki buku-buku sosialis dan komunis. Pemerintah colonial memang sangat sensitive dengan sesuatu yang berbau komunis, karena pada 1926, gerakan komunis di Indonesia melakukan pemberontakan (Dangel; 8, 1986).
Buku-buku itu diperoleh dari pamannya Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang dikenal juga sebagai tokoh komunis. Interaksinya dengan sang paman inilah yang menumbuhkan kesadaran politik Kartosoewirjo. Sebenarnya sejak 1923 ia sudah aktif digerakan politik dengan bergabung dengan jong jaya organisasi nasionalis kaum pemuda jawa, di Surabaya. Kemudia pada 1925, pindah organisasi ke Jong Islamieten Bond (JIB), Organisasi pemuda Islam di Jawa. Dan tak lama kemudia menjadi ketua cabang JIB di Surabaya. Di organisasi inilah ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh Islam seperti Agus Salim dan Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin PSI (Partai Syarikat Islam). Lulus sekolah pada 1927. Tjokroamintoto menawari Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadinya. Tak lama kemudia ketua PSI itu pindah ke Cimahi, Bandung. Ia pun ikut. Masih ditahun yang sama dalam kongres PSIHT (Partai Serikat Islam Hindia Timoer) di Pekalongan ia diangkat jadi sekretaris umum PSIHT.
Saat aktif di PSI inilah. Kartosoewirjo mulai aktif mempelajari Islam. Namun karena tidak fasih berbahasa Arab. Pengetahuan keislamannya lebih banyak didapati dari belajar buku-buku Islam berbahasa Belanda. Selain itu, pada 1930 saat ia istirahat di Malangbong, Garut-karena sakit beri-beri ia sempat menimba ilmu agama kepada beberapa ulama di Garut. Yang juga para aktivis PSI, yaitu Kyai Ardiwisastera yang kelak menjadi mertuanya. Kyai Yusuf Tauziri, Kyai Mustofa Kamil, Kyai Ramli. Kesemua gurunya adalah ulama-ulama tradisional, bukan ulama modernis, atau penganut faham salafi (Gunawan; 21, 2000). Dari mereka juga Kartosoewirjo mempelajari ilmu tarekat dan tasawuf, yang kelak pemahaman soal mistik Islam ini akan sangat mempengaruhi pemikirannya. Diduda saat itu ia juga menjadi pengikut tarekat Qadiriyah (Suradi; 166, 1997).
Interaksi dengan Tjokroaminoto, keterlibatannya dengan PSI dan pelajaran agama dari guru-gurunya di Garut inilah yang membangun pemahaman keislaman Kartosoewirjo. Ia terinspirasi gagasan Negara Islam yang diperjuangkan oleh PSI dan berusaha memperjuangkannya (Anhar; 242,2004). PSI memang sebuah partai yang menuntut akan berlakunya syari’at Islam’ di dalam arti kata yang seluas-luasnya dan sempurna-sempurnanya. Menurut contoh dan teladan yang nyata di dalam Sunnah Rasulullah,” PSI sendiri tak sekedar berniat mendirikan Negara Islam di Indonesia, tapi juga menganut paham pan-islamisme. Pan-islamisme adalah gagasan untuk menyatukan umat islam sedunia dalam satu sistem kekhalifahan. Dari pengertian ini. Perjuangan umat Islam di Indonesia adalah bagian dari perjuangan umat Islam sedunia dalam rangka membebaskan diri dari penjajahan bangsa asing. Awalnya PSI cukup serius memperjuangkan ide ini. Setelah kejatuhan khilafah Turki Usmani pada 1924, PSI ikut membentuk komite khilafah, semacam komite untuk memperjuangkan kembali khilafah dan tokoh PSI Wondoamiseno menjadi ketuanya. Sementara itu, 1926 Tjokroaminoto bersama KH. Mas Mansyur dari Muhammadiyah datang ke kongres Muktamar Alam Islami di Mekkah, Arab Saudi untuk membicarakan kekhalifahan. Tak hanya itu H. Agus Salim, tokoh PSI, juga memimpin semacam cabang dari Muktamar Alam Islamy di Surabaya. Namun semangat PSI memperjuangkan pan-islamisme ini belakangan meredup, karena kurangnya perhatian dari negeri-negeri Islam lainnya (Chaedar; 465, 1999).
Belakangan bersamaan dengan meningkatnya pemahaman keagamaan Kartosoewirjo-terutama setelah belajar agama kepada para kiai di Garut-ia semakin yakin pentingnya umat Islam mendirikan sebuah Negara Islam dimana masyarakatnya dapat melaksanakan syari’at Islam, baik syari’at yang bersifat pribadi (Syaksiyah) maupun syari’at yang bersifat sosial (Ijtima’iyah). Ia juga meyakini Negara Islam yang ia sebut Darul Islam bisa menaikkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Menurutnya, “Sepanjang ajaran Agama Islam, maka naiknya derajat seseorang Indinesia baik dalam pandangan Allah maupun dalam pandangan manusia dan sesuatu umat atau bangsa, hanyalah disebabkan karena suka melakukan hukum-hukum Islam menurut perintah Allah dan Sunatirosul, dalam arti kata yang sempurna-sempurnanya. Sebaliknya dari pada itu, maka turunnya harkat martabat manusia dalam pandangan Allah dan pandangan manusia cuma lantaran membelakangnkan dan membohongi Agama Allah yang diturunkan kepada nabi penutup, Muhammad SAW. “Ada yang menarik dengan istilah Darul Ilsam. Dalam sejarah Indonesia Modern, bisa dikatakan Kartosoewirjo lah yang menggunakan istilah dan menyamakannya dengan Negara Islam, menurut Muhammad Natsir pada 1930-an istilah itu belum dikenal. Negara Islam belum dikenal. Negara Islam sering disebut dengan Istilah Negara berdasarkan Islam (Chaedar; 420, 1999).
Lebih jauh Kartosoewirjo juga merumuskan bagaimana caranya untuk menegakkan Darul Islam di Indonesia. Ia belajar dari tarikh (Sejarah) perjuangan Muhammad, menurut kunci kemenangannya ada dua yaitu, hijrah dan jihad.
“Syahdan, maka hijrah itu adalah suatu perbuatan nabi yang teramat penting, karena sesudah hijrah kaum muslimin dizaman baru, zaman yang terang cuaca. Karena sorotnya Nur Illahi ke tanah madinah. Namun untuk meraih kemenangan hijrah saja tidak cukup. Hijrah harus digandengkan dengan jihad. Soalnya setiap kata hijrah dalam ayat-ayat Al Qur’an selalu berdampingan dengan kata jihad, oleh karena itu hijrah dan jihad merupakan dua hal yang harus dilakukan sekaligus. Menurutnya “Hijrah yang tidak memakai jihad adalah berarti negatif, ibara “Nahi munkar, (mencegah keburukan) dengan tidak disertai “Amar ma’ruf, (menyerukan kebaikan).”. Namun jihad yang dimaksud disini tidak sekedar diartikan perang tetapi juga jihad melawan hawa nafsu, dengan hijrah dan jihad umat Islam di Indonesia bisa meraih kemenangan (Dangel; 36, 2000).
Apa yang dipahami Kartosoewirjo cukup mengesankan di zamannya, terutama soal pandangannya terhadap sejarah Nabi. Ia melihat bahwa tarikh nabi tidak sekedar sejarah, tapi juga sebuah contoh yang harus ditiru oleh setiap pergerakan Islam. Nampaknya bagi Kartosoewirjo merujuk pada sunnah Nabi tak sekedar merujuk tata peribadatan menurut hadis shoheh yang saat itu banyak diperjuangkan oleh organisasi modernis seperti Muhammadiyah. Al Irsyad atau Persis. Lebih jauh Kartosoewirjo melihat bahwa merujuk pada sunnah perjuangan Nabi. Karena dia mencoba meletakkan sunnah perjuangan nabi dalam konteks perjuangan umat Islam di Indonesia. Misalnya saat menyebut bahwa keberhasilan perjuangan nabi karena hijrah, maka umat Islam di Indonesia juga harus melakukan hijrah, hijrah dari Makkah Indonesia menuju Madinah Indonesia. Bila disimpulkan Makkah Indonesia adalah Indonesia yang masih meninggalkan hukum-hukum Allah sementara Madinah Indonesia adalah Indonesia yang sudah menerapkan hukum Allah. Hal itu disebutkan HM. Kartosoewirjo dalam tiga bukunya “Sikap Hijrah PSII 1” “Sikap Hijrah PSII 2” dan “Daftar Oeseha Hijrah” (Al Chaidar, 1999) cara pandang terhadap sejarah ala Kartosoewirjo ini kelak menjadi cara pandang banyak tokoh gerakan Islam dibelahan bumi yang lain. Hal ini misalnya bisa dilihat dari buku Manhaj Haraki karya Syaikh Munir Ghadban, Ulama Ikhwanul Muslimin, yang mengadopsi sejarah Nabi sebagai strategi gerakan Islam untuk meraih kemenangan (Suradi; 166, 1997).
Keterlibatkan Kartosoewirjo di PSI juga membangun watak anti kompromi pada dirinya. Saat Kartosoewirjo bergabung dengan Syarikat Islam, PSI sedang bersemangat menerapkan politik non-kooperasi terhadap pemerintah colonial Belanda. Non-kooperasi artinya tidak bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, baik dalam dinas pemerintahanan, maupun semacam rakyat seperti Volksraad yang dibentuk pemerintah Belanda. Termasuk menolak bantuan dari pemerintah. Penerapan politik non-kooperasi ini menjadi salah satu alasan pecahnya hubungan antara Muhammadiyah dengan PSI. Pada akhir 1920-an, Muhammadiyah dikeluarkan dari PSI. Salahsatu alasannya karena Muhammadiyah menerima subsidi dana dari pemerintah kolonial Belanda. Watak anti komprominya terlihat ketika terjadi pertikaian di tubuh PSI antara kubu Abikusno melawan Haji Agus Salim pada 1936. Agus Salim berpendapat bahwa politik non-kooperatif PSI harus diakhiri karena akan merugikan partai, sebaliknya Abikusno yang mengambilalih kepemimpinan partai selepas Tjokroaminoto wafat pada 1934 tetap bersikukuh untuk menolak politik kooperasi dengan Pemerintah Belanda. Kartosoewirjo berada dikubu Abikusno yang akhirnya memenangkan pertarungan ini dengan memecat Haji Agus Salim dan para pengikutnya dari PSI. Namun tiga tahun kemudian, giliran Kartosoewirjo yang berselisih dengan Abikusno. Ia menolak kebijakan pimpinan tertinggi partai yang ingin melibatkan PSI dalam gerakan kemerdekaan yang menuntut Indonesia Parlemen, yaitu suatu gerakan yang menekan Pemerintah Belanda agar mendirikan lembaga perwakilan rakyat yang punya kekuasaan penuh. Tak hanya itu, ia juga menolak PSI bergabung di dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI), suatu federasi dari partai-partai politik Indonesia yang didirikan pada 1938. Sikap oposisinya itu menyebabkan ia dipecat dari partai pada 1939. Bagi Kartosuwirjo tuntutan GAPI membentuk parlemen Indonesia, merupakan sikap kooperasi juga dengan corak yang lain. Sikap Kartosoewirjo ini didukung para aktivis PSI Garut, yang juga guru dan temannya, seperti Kyai Jusuf Taujiri dan Kamran (Abas; 90, 2009).
Selepas dikeluarkan dari PSI pada 1939, Kartosuwirjo pindah ke Malangbong, Garut. Bersama Kyai Jusuf Taujiri dan Kamran, ia mendirikan komite pertahanan Kebenaran PSII. Komite ini menggunakan anggaran dasar dan peraturan-peraturan PSII dan menganggap dirinya sebagai Sarekat Islam yang sebenarnya. Pada 1940, ia membentuk lembaga pengkaderan yang disebut Institut Suffah. Institut Suffah ini awalnya adalah program PSI yang tak sempat direalisasikan yang tujuannya:”tempat pendidikan, pengajaran, dan latihan bagi pemimpin-pemimpin partai untuk menjalankan hukum dan perintah-perintah Islam. Lembaga ini dibentuk dalam sebuah gaya pesantren tradisional, di mana para siswanya bertempat tinggal disana. Di sana para siswa diajarkan ilmu pengetahuan umum, ilmu agama dan ilmu politik. Pendidikan ini berlangsung selama empat hingga enam bulan, dan setiap angkatan diikuti peserta antara 30 sampai 50 orang. Kelak, sebagian para alumni Institut Suffah ini menjadi pengikut setia Kartosoewirjo saat mendirikan gerakan Darul Islam (Suradi; 156, 1997).
B.     Pemahaman Jihad Kartosuwirjo
Pengkaderan di Institut Suffah berhenti karena dibubarkan Jepang yang datang ke Indonesia pada 1942. Pendudukan Jepang di Indonesia selain mema\bawa kesengsaraan juga membuka peluang bagi Kartosuwirjo untuk melanjutkan apa yang dikerjakannya di Institut Suffah. Namun kali ini berbeda, bukan pembentukan kader-kader partai tapi kader-kader militer. Saat itu jepang memang mengijinkan umat Islam membentuk Hizbullah, semacam milisi Islam. Tujuannya membantu jepang ketika melawan pihak Sekutu. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh umat Islam. Mereka beramai-ramai membentuk korps militer. Tak terkecuali Kartosuwirjo yang sudah lama menunggu kesempatan untuk mendirikan organisasi militer sendiri. Pada 1945 ia segera mengaktifkan kembali lembaga suffah untuk menggembleng para pemuda yang bergabung dengan Hizbullah. Para pemuda dipersenjatai dan diberi pelatihan militer (Suradi; 156, 1997).
Pelatihan lascar Hizbullah ini terus dilakukan oleh Kartosuwirjo dan kawan-kawannya pasca Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, tepat tiga hari setelah jepang menyerah kalah dalam perang dunia kedua. Kartosuwirjo memang memperhitungkan akan terjadi perjuangan bersenjata pasca merdeka. Perhitungan ini cukup beralasan. Pada September 1945, pasukan Inggris datang ke pulau jawa untuk mengawasi penarikan mundur pasukan Jepang. Bersamaan dengan pasukan Inggris ikut datang NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang akan berwenang mengelola pemerintahan sipil di Indonesia. Bersama NICA, tentara belanda juga menyelinap masuk ke Indonesia, denga hasrat kembali mengukuhkan kekuasaan colonial Belanda. Kedatangan tentara Inggris dan Belanda ini mendapat perlawanan keras dari umat Islam (Dangel; 37, 2000).
Umat Islam mendeklarasikan perang sabil alias perang suci. Pada 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabag Nahdlatul Ulama (NU) diseluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Pertemuan yang dipimpin oleh Kyai Haji Hasyim Asyary, ketua NU saat itu, menghasilkan fatwa yang menyatakan perang mempertahankan kemerdekaan adalah jihad fisabilillah dan hukumnya fardhu ain alias wajib bagi setiap Muslim. Fatwa itu kemudia popular dengan sebutan Resolusi Jihad. Segera setelah Resolusi Jihad keluar para kiyai bersama santrinya dari berbagai daerah memobilisasi laskar-laskar Hizbullah dan Sabilillah. Mereka kemudia bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya 10 November 1945 meletuskan peperangan sengit selama tiga minggu antara pasukan Inggris melawan laskar Hizbullah dan Sabilillah. Resolusi Jihad ini kemudian diikuti fatwa-fatwa serupa berbagai organisasi Islam. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam sidangnya di Yogyakarta pada 12 November 1945 mengeluarkan fatwa soal wajibnya umat Islam mempertahankan kemerdekaan dan berjihad fisabilillah. Beberapa buku soal yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang sengaja diterbitkan saat itu sebagai pegangan para laskar-laskar Islam seperti Hizbullah dan Sabilillah. Di antaranya buku Penuntuk Perang Sabil karya M Arsjad Th Lubis. Ulama asal medan dan buku Ilmu Pertahanan Negara dan Kemiliteran Dalam Islam yang dikarang oleh Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiy, ulama asal Aceh. Kedua buku itu terbit pada awal 1946. Isi kedua buku ini sangat mirip dengan ajaran salafy jihadi yang berkembang puluhan tahun kemudian (Solahudin; 30, 2011).
Dibukunya, Arsyad Lubis menjelaskan hukum berperang melawan Belanda. Menurutnya hukum jihad menjadi fardhu ain (kewajiban setiap muslim), ketika musuh memasuki negeri kaum Muslimin. Menurutnya kewajiban jihad itu tidak hanya untuk warga setempat saja, namun juga wajib bagi orang-orang yang ada disekelilingnya untuk membantu sampai musuh bisa terusir. Kalau belum terusir juga, maka wajib bagi warga muslim yang lebih jauh untuk membantu hingga akhirnya musuh-musuh bisa terusir. Kewajiban ini mengenai semua orang, tak terkecuali wanita, orang tua hingga anak-anak. Saat  jihad menjadi fardhlu ain, anak tak perlu ijin orang tua untuk berperang, perempuan tak perlu ijin suami begitupun orang yang punya utang tidak perlu ijin kepada pemberi piutang. Nah, belanda dihukumi sebagai kafir harbi yang datang untuk menjajah negeri muslim yaitu Indonesia. Oleh karena itu hukum berperang melawan Belanda menjadi fardhlu ain. Karenanya menurut penulis, “siapa saja yang turut dalam perang tersebut dengan niat yang ikhlas, niat akan meninggikan kalimatullah, niat menuntut pahala dan keridhoan Allah dan niat membinasakan musuh-musuh Allah adalah ia berperang itu di dalam sabilillah apabila mati terbunuh, matinya syahid fi sabilillah, syurga menjadi tempatnya.” (Solahudin; 32, 2011).
Apa yang ditulis Arsyad Lubis sama persis dengan paham salafy jihadi soal jihad fardhlu ain. Jihad menjadi kewajiban setiap muslim, ketika orang kafir memasuki negeri-negeri Islam. Dan kewajiban mengenai setiap muslim, termasuk anak-anak dan perempuan. Kedua buku juga menjelaskan bahwa larangan untuk membunuh binatang, membunuh pendeta, wanita, anak-anak dan orang tua dalam kondisi tertentu menjadi tidak berlaku. Salah satu kondisinya mereka yang dilarang untuk dibunuh ikut berperang. Perempuan, anak-anak, orang tua dan pendeta yang turut berperang dan melakukan perlawanan boleh dibunuh. Binatang-binatang yang dilakukan untuk keperluan perang boleh dibunuh. Selain itu, seandainya musuh-musuh menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai perisai, maka kita diizinkan untuk membunuh mereka seandainya bila tidak dilakukan akan menyebabkan kekalahan. Lebih jauh buku ini juga menjelaskan status orang Islam yang membela musuh itu boleh diperangi. Lagi-lagi pemahaman ini sama persis dengan pemahaman dengan kelompok Salafi Jihadi soal jihad teror yang menganggap bahwa orang-orang yang haram dibunuh saat perang menjadi halal darahnya, ketika mereka dianggap ikut berperang atau dijadikan tatarus [perisai] untuk melindungi musuh (Dangel; 32, 2000).
Munculkan euforia jihad ini seperti ada kesadaran baru yang tumbuh dikalangan umat Islam, sebelum Indonesia merdeka gagasan ini tak cukup bergema. Padahal jelas yang dilakukan Belanda sebelum jaman Jepang sama persis seperti yang dilakukan dimasa revolusi, yaitu menduduki negeri-negeri muslim. Mungkin salah satu alasan utama umat Islam belum jihad untuk berjihad dikarenakan karena lemahnya pengetahuan soal militer dan serta minimnya persenjataan. Pasca kemerdekaan, Indonesia mewarisi banyak persenjataan jepang dan juga orang-orang yang terlatih kemiliteran cukup banyak. Sebelum merdeka, Kartosuwirjo sendiri menghindar untuk berbicara soal jihad bi ma’na qital. Menurutnya menyamakan jihad dengan perang adalah upaya Barat untuk mendiskreditkan Islami. “Mereka mengatakan jihad itu, ialah perang atau perang sabil atau berbunuh-bunuhan atau lain-lain yang serupa dan semaksud dengan makna itu, sehingga akhirnya hanya punya perasaan dan anggapan bahwa agama Islam itu disiarkan dengan pedang!” padahal menurutnya jihad bermakna lebih luas dari perang dan usaha sungguh-sungguh dijalan Allah serta perang hanyalah jihad asghor [jihad kecil], sementara jihad akbar [jihad besar] adalah berperang melawan hawa nafsu. Namun pandangan Kartosuwirjo ini berubah 180 derajat setelah Indonesia mereka (Dangel; 30, 2000).
Sejak 1947, ia ikut terjun memimpin pasukan Hizbullah dari Garut melakkukan perang sabil melawan Belanda. Saat itu ia sudah menganggap jihad sebagai kewajiban bagi setiap muslim. Tak tanggung-tanggung ia bersama pasukannya juga menerapkan prinsip jihad teror terhadap orang-orang yang dianggap musuh. Pada 1948, ia memerintahkan anak buahnya melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap semua penghianat agama, negara dan bangsa. Maret 1948, aksi ini dilakukan para pengikutnya yang tergabung dalam PADI (Pahlawan Darul Islam). Pelaksanaan aksi ini dijelaskan dalam laporan, “Sejak keluarnya perintah tersebut, maka tiap-tiap tempat di seluruh priangan, pula diseluruh Jawa sebelah Barat. Mulailah PADI menjalankan aksinya terhadap penghianat-penghianat yang menjadi mangsannya. Hama penduduk, kena sasarannya tukang rebab [pasukan khusus PADI], tidak sedikit bangkai konyol yang berkaparan di tengah jalan begitu pula yang dihanyutkan di kali-kali, seperti kali Citanduy, Cimanuk dan sungai-sungai lainnya selalu mengalirkan bangkai-bangkai yang penuh berlumuran darah kena terkaman mangsanya (Solahudin; 36, 2011).
Dua bulan kemudian, tepat Mei 1948, ia juga memproklamirkan diri sebagai imam (pemimpin) Negara baru yang ia beri nama Darul Islam. Inilah pemberontakan daerah pertama yang terjadi setelah Indonesia merdeka. Pemberontakan ini dilatarbelakangi ketidak puasan Kartosuwirjo terhadap pemerintah Indonesia yang ditudingnya dikuasai orang-orang komunis dan sosialis. Lebih-lebih pemerintah baru ini juga dituding telah menghancurkan negara Indonesia itu sendiri dengan menerima perjanjian-perjanjian dengan Belanda yang justru merugikan Indonesia. Salah satunya yang membuatnya murka adalah perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, yang salah satu butirnya adalah pemerintahan Indonesia mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). Di mata Kartosuwirjo dengan disepakatinya perjanjian Renville maka Republik Indonesia sudah bubar, sehingga dia merasa punya hak untuk mendirikan Negara baru yang sudah menjadi cita-citanya sejak lama, yaitu Negara Islam Indonesia (Chaedar; 122 1999).
C.    Hari-hari Terakhir Kartosuwirjo
Sejak Mei 1962 Kartosuwirjo sudah tahu bahwa perang yang dikobarkan selama 13 tahun bakal berakhir dengan kekalahan. Pada 15 Mei 1962, Kartosuwirjo, mendapat laporan bahwa pasukan-pasukan DI/TII yang tersebar digunung Cakrabuana, gunung Guntur serta gunung Galunggung telah kocar-kacir. Tak hanya itu ia juga mendengar kondisi fisik pasukannya kian lemah, kehabisan tenaga. Kondisi yang tak jauh beda dengan dirinya. Saat itu sang imam DI ini sedang sakit. Ia menderita penyakit gula serta kurang gizi. Sembari tergolek lemah. Ia mendapat laporan dari ajudannya bahwa TNI sudah dekat dengan rombongannya yang berjumlah 46 orang. Muhammad Darda, Komandan Markas serta Aceng Kurnia, ajudan Kartosuwirjo telah bertekad akan perang matian-matian kalau musuh datang. “Kalau musuh datang, kita akan tembak. Menyerah berarti dosa. Kita harus siap yuqtal auy yaqlib [membunuh atau terbunuh]”, tegas Dodo Muhammad Darda. Mendengar cucapan anaknya itu, Kartosuwirjo diam sejenak. Setelah itu ia berkata, ”Kondisi saat ini sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk yuqtal au yaqlib.” Seorang pemimpin bisa memberi komando perang kalau ada tenaga, senjata serta keberanian tempur. Kalau itu tidak ada yuqtal au yaqlib menjadi dzolim karena tidak memenuhi syarat. “Dalam kondisi sekarang, kalau musuh datang biar Bapak yang menghadapi. Urusan-urusan lain bira Bapak yang menyelesaikan. Yang penting kalian taat kendati tidak ikhlas maupun tidak ridha.” (Chaedar; 98, 1999).
Pada 4 Juni 1962, perjalanan rombongan Kartosuwirjo telah sampai disebuah lembah antara Gunung Sangkar dan Gunung Geber, di sekitar Bandung Selatan. Pagi itu hujan deras yang disertai angin kencang mengguyur daerah itu. Pasukan DI/TII pun memilih berteduh di tenda-tenda darurat. Tak disangka, terdengar suara tembakan dari bawah bukit. Pasukan yang berkekuatan tiga peleton itu telah mengepung rombongan sng imam. Aceng Kurnia segera melapor. Semua pengawal yang berada disekitar sang imam bersiap-siap dengan senjatanya. Mereka bertekad akan berperang sampai mati. Aceng Kurnia dan Dodo sudah berada dalam posisi siap tembak. Ketika pasuka TNI sudah semakin dekat ke tenda yang ditempati Kartosuwirjo, tiba-tiba Kartosuwirjo yang sedang dalam keadaan berbaring berkata. “Jangan menembak, kalau mengikuti keinginan Dodo, semua mujahid bakal habis.” Mendengar perintah ini, Aceng Kurnia dan Dodo pun meletakkan senjatanya. Mereka keluar sambil angkat tangan. Di luar, mereka disambut oleh Letda Suhanda yang didampingi dua anggotanya, Amir dan Suhara. Letda Suhanda kemudian menyalami keduanya sambil bertanya. “Mana Pak Imam?” “itu dia” kata Dodo sambil menunjukan tenda. Suhanda pun masuk kedalamnya. Kartosuwirjo pun tampak dalam keadaan payah dan berbaring dilantai gubug itu dan mengenakan jaket militer dan sebuah sarung. Meskipun saat ditangkap dia berusia 55 tahun, tapi dia kelihatan seperti seorang lelaki tua yang lebih dari umurnya (Abas; 92, 2009).
Penangkapan Kartosuwirjo menandai berakhirnya huru hara politik selama 13 tahun yang mengakibatkan kerusakan berat pada pembangunan Jawa Barat. Produk pertanian menurun tajam, pengungsian besar-besaran terjadi, hancurnya infrastruktur di daerah-daerah pedalaman. Jumlah korban penduduk sipil yang terbunuh, luka dan diculik mencapai 22.895 jiwa. Sementara kerugian Negara akibat perang mencapai 650 juta rupiah (Solahudin; 97, 2011).
Kartosuwirjo dirawat selama dua bulan. Agustus 1962 kondisinya mulai pulih. Pemeriksaan pun dimulai. Tiga kejahatan dituduhkan kepadanya. Pertama, makar untuk merobohkan Negara Republik Indonesia. Kedua, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah. Ketiga, makar untuk membunuh Sukarno. Dalam sidang yang ketiga, pengadilan memutuskan Kartosuwirjo terbukti bersalah. Pengadilan menjatuhi hukuman mati. Pada 20 Agustus 1962, Kartosuwirjo mengajukan grasi. Dalam permohonan grasinya dia menyatakan penyesalan sebesar-besaranha atas perbuatannya dimasa lalu. Tapi, Sukarno menolak permintaan grasi bekas temannya itu. (Abas; 92, 2009).
Pada 4 September 1962 Kartosuwirjo meminta diri kepada keluarganya. Esok harinya dipagi buta 5 september 1962 Kartosuwirjo dibawa regu penembak ke sebuah pulau di Kepualaun Seribu. Pukul 5.50 pagi tepat, regu tembak melakukan eksekusi mati. Jenazah Kartosuwirjo pun dikebumikan di pantai pulau tersebut (Abas; 112, 2009).

BAB III
PENUTUP
            Kasus DI/TII adalah contoh terbaik yang menunjukkan bahwa ajaran yang mirip salafi jihadisme sudah lahir sejak usia Indonesia masih belia. Dari kasus ini kita juga bisa belajar bahwa situasi perang menjadi lahan paling subur untuk tumbuhnya gagasan-gagasan jihad. Hal ini bisa dimengerti karena jihad adalah ajaran suci yang tentu saja habitat utamanya ada diwilayah perang.
Dalam situasi seperti ini, latar belakang keagamaan menjadi tidak penting. Baik kelompok tradisionalis maupun modernis bisa dengan segera berubah menjadi kelompok jihadi. Saat perang revolusi, semua kelompok agama menyerukan perang sabil melawan belanda. Semuanya sepakat perang melawan Belanda hukumnya fardhlu ‘ain.
Pada 1962 DI/TII berhasil ditumpas TNI (Tentara Nasional Indonesia). Kartosuwirjo ditangkap dan dipersidangan dijatuhi hukuman mati atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Kartosuwirjo pun dieksekusi mati pada 5 september 1962 tepat pukul 05.50. Jenazahnya dikebumikan di kepulaian seribu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar