Rabu, 18 Oktober 2017

Teori Projecting Back dan Common Link



Teori Projecting Back dan Common Link

       I.            PENDAHULUAN
Secara garis besar, kelompok orien­talis dibagi menjadi dua. Pertama, kelompok moderat dan tidak fanatik yang da­pat berbuat adil dalam prinsip keilmuan penuh kejujuran. Kelompok ini diwakili oleh nama-nama seperti Jenny Pieere, Carl Leil, Tolstoy, dll. Kedua, kaum fanatik yang tidak berlaku adil dalam prinsip keil­muan dan condong menutupi kebenaran yang ada serta tidak memilki metode keilmuan yang memadai.
Kajian keislaman pada mulanya ha­nya­ ditujukan kepada materi-materi keislam­­an secara umum. Baru pada masa-masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits nabi. Sarjana Ba­rat yang pertama kali melakukan kajian terhadap hadits nabi adalah Ignaz Goldziher (1850-1921), seorang orientalis Yahudi kela­hi­ran Hongaria dengan karya berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Buku yang kemudian dijadikan semacam “kitab suci” para orientalis saat ini.
Di kalangan orientalis, telah mengakar suatu pendapat bahwa sebagian besar Hadis merupakan hasil perkembangan Islam dalam bidang Agama, Politik, dan sosial dalam kurun waktu dua abad pertama dan kedua. Dan Hadis itu bukanlah merupakn dokumen Islam pada masa-masa awal pertumbuhanya. Melainkan salah satu efek kekuasaan pada masa kejayaanya.[1]
Teori-teori kritik Hadis yang dikeluarkan oleh Ignaz Goldziher, Joseph Schacth dan G.H.A Juynboll menpunyai suatu kesinambungan. Yang mana G.H.A Junyboll melakukan suatu pengembangan terhadap teori common link yang dikeluarkan oleh Joseph Schacth.[2] Melalui teori common link ini Junyboll mencoba menawarkan gagasan baru tentang kriteria kesejarahan sebuah hadis. Pada Dasarnya teori common link adalah sebuah teori yang dipersiapkan menyoroti otentisitas sumber hadis melalui prespektif sejarah.
Maka, tidak salah bila isnad yang menjadi sumber otentisitas dari hadis menjadi pokok permasalahan dalam teori common link. Dalam tulisan ini pemakalah ingin mengkaji isnad dalam pandangan G.H.A Junyboll melalui teori common linknya dan apakah secara ilmiah teori ini bisa diterima.

    II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana biografi Joseph Schacht dan teori Projecting Back?
2.      Bagaimana biografi G.H.H  Juynball dan teori Common Link?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Biografi Joseph Schacht
Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902. Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar ideologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berusia 21 tahun.
Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 dalam usia 27 tahun ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar.[3]
Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggris. Dan ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di Inggris, dan menikah dengan wanita Inggris.
Bahkan pada tahun 1947 ia menjadi warga negara Inggeris. Meskipun ia bekerja untuk kepentingan negara Inggeris dan mengkhianati tanah airnya sendiri, namun pemerintah Inggris tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya. Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Profesor-Doktor, di Inggeris ia justeru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari universitas tersebut.
Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggris dan mengajar di Universitas Laiden Negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di sini ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1969.[4]
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti  Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.
Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits  Nabi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits  Nabi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.
Tuduhan semacam ini muncul dari beberapa tokoh orientalis, salah satunya adalah Joseph Scathc dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Kajiannya diawali dengan meneliti proses kemunculan Hukum Islam. Dia berpendapat bahwa Hukum Islam baru berwujud pada masa setelah al-Sya’bi (w. 110 H). hal ini berarti hadits-hadits yang berkenaan dengan hukum Islam adalah buatan orang-orang setelah al-Sya’bi. Karena ia beranggapan bahwa hukum Islam baru dikenal pada masa pengangkatan para Qadi. Maka kesimpulan yang didapat dari hasil kajiannya tersebut bahwa keputusan-keputusan yang diambil para Qadi itu memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki otoritas lebih tinggi sehingga mereka menisbahkannya kepada orang-orang sebelum mereka sampai pada totoh-tokoh generasi tabi’in, para sahabat, dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw. inilah rekonstruksi sanad menurut Schacht.
Dibanding dengan Goldziher, Schacht memiliki “keunggulan” karena Schacht sampai pada kesimpulan “meyakinkan” bahwa tidak ada satupun hadis yang otentik dari Rasulullah, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan “meragukan” otentisitas hadis.[5]

B.     Teori Projecting Back
Teori Projecting Back yang dibangun oleh Yoseph Schacht tentang sanad yang menjadi kajian utama dalam tulisan Schacht adalah bahwa peletakan sanad merupakan tindakan sewenang-wenang dalam hadis Nabi Shallallahu a’alaihii wa sallam. Hadis itu sendiri dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang saling berbeda dan ingin mengaitkan teori-teori terdahulu. Setidaknya ada enam kesimpulan argumentasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Sistem isnad baru dimulai pada awal abad II Hijriyah atau setidak-tidaknya pada akhir abad pertama Hijriyyah.
2.      Isnad dipergunakan/ dicantumkan dalam hadis dengan cara yang sangat ceroboh oleh orang-orang yang mengaitkan teorinya kepada para pendahulu (Projecting Back).
3.      Isnad ditingkatkan dan diciptakan secara bertahap. Isnad pada awalnya merupakan suatu mata rantai yang tidak lengkap.
4.      Otoritas tambahan diciptakan pada masa Imam Syafi’I untuk mencapai tujuan pengembalian hadis kepada satu sumber.
5.      Rangkaian sanad adalah sesuatu yang palsu begitu juga materi/ matan yang ada di dalamnya.
6.      Keberadaan riwayat yang umum pada mata rantai menunjukkan bahwa hadis-hadis berasal dari masa periwayat tersebut[6].
Pernyataan Yoseph Schacht lainnya yang juga sering disoroti adalah mengenai teori teori Projecting Back (pelimpahan teori kepada generasi-generasi awal) di antara pernyataan yang berkeenaan dengan ini adalah sebagai berikut: “Isnad sering diletakkan secara sembarangan. Berbagai kelompok yang doktrinnya diproyeksikan ke belakang kepada otoritas kuno bisa saja diambil secara acak dan diletakkan ke dalam isnad oleh beberapa orang.”[7]
Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad, daripada aspek matan, dalam mengkaji hadis. Sementara kitab yang digunakan dalam penelitian adalah kitab Al Muwattha’ karya Imam Malik, kitab Al Umm dan Ar Risalah karya Imam Syafi’i. Karena itu tak heran bila Muhammad Musthafa A’dzami menyatakan bahwa kitab-kitab yang menjadi bahan kajian Schacht ini pada dasarnya lebih layak disebut dengan kitab-kitab fikih daripada kitab-kitab hadis. Mazhab dua jenis kitab ini (fikih dan hadis) mempunyai karekteristik yang berbeda. Oleh karena itu penelitian hadis melalui kitab-kitab fikih akan mendapatkan hasil yang kurang tepat. Kajian ilmu Hadis seharusnya diteliti melalui kitab-kitab hadis pula.
 Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits  bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits  Nabi. Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan Hadits-Hadits  yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadits-hadits  itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia berpendapat bahwa Hukum Islam  baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Pada khalifah dahulu (khulafa al-Rasyidin) tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan Qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.[8]
Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para Qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah ibn Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Inilah  rekontruksi terbentuknya sanad Hadits. Menurut Schacht yaitu dengan memproyeksikan  pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada dibelakang mereka, inilah yang disebut oleh Schacht dengan teori Projecting Back. [9]
Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau  tambahan para fuqâhâ’ di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh  madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabi.
Contoh hadis nabi yang dikritisi oleh Schacht:
“Telah menceritakan kepadaku Malik dari ‘Ala’ bin Abdurrahman dari bapaknya dari kakeknya bahwa Ustman bin Affan pernah memberinya pinjaman harta untuk berdagang secara qiradh yaitu dengan cara labanya dibagi antara mereka berdua” (Al Muwattha’ 1196)
“Dari Anas bin Malik dia berkata: Bilal diperintah agar menggenapi bacaan teks dalam adzan dan mengganjilkan (cukup satu kali) pada saat iqamat” (Sunan At Tirmizi 178)
Hadis tersebut diucapkan oleh Anas bin Malik tanpa diketahui siapa subjek pemberi perintah kepada Bilal. Berdasarkan pada bentuk-bentuk sanad seperti di atas, maka Schacht mengambil kesimpulan dengan teorinya Common Accurence atau merupakan kejadian biasa sebagai dasar penyelidikannya pada beberapa contoh sanad hadis sesuai dengan teorinya  (Projecting Back) dengan menyimpulkan bahwa hadis-hadis tentang ketentuan yang berlaku dalam hukum acara peradilan bukan berasal dari Nabi secara langsung, tetapi hanya merupakan inisiatif para sahabat atau tabi’in.
Bentuk-bentuk sanad yang dipahami oleh Schacht ketika memahami hadis terutama di bidang hukum acara peradilan berdasarkan perkembangannya menghasilkan dua teori yaitu:
1.      Common Accurence (Kejadian biasa) yaitu sebuah teori yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya dengan beberapa contoh hadis di bidang hukum.
2.      Occassionally (kadang-kadang) yaitu untuk memperkuat teorinya, jika sebagian besar kejadian dalam sanad hadis menyalahkan teorinya untuk menimalisir kesalahan teorinya.[10]
C.    Biografi G.H.A Junyboll dan karya-karyanya
Gauiter H.A Juynboll yang lahir di Leiden, Belanda, pada 1935 adalah seorang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadis. Selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadis dari persoalan klasik hingga kontemporer. Menurut P.S. van koningsveld kepakaran Junyboll yang merupkan murid dari J.Brugmen, dalam kajian sejarah awal hadis telah memperoleh pengakuan internasional. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ketokohannya di bidang hadis dapat disejajarkan dengan nama-nama seperti Jemes Robson, Fazlur Rahman, M.M. Azami, dan Michael Cook.
Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith, Junyboll mengklaim telah menjelaskan perkembanga penelitian atas literature hadis secara kronologis sejak akhir tahun 1960-an hingga 1996.
Pada 1965 hingga 1966, dengan dana bantuan dari The Netherland Organization for the Advancement of Pure Research (ZWO), Juynboll tinggal di mesir untuk melakukan penelitain disertasi mengenai pandangan para teolog mesir terhadap literature hadis. Akhirnya, pada Kamis, 27 Maret 1969 desertasi yang ia sususun bisa dipertahankan di depan komisi senad, guna meraih gelar Doktor di bidang sastra di Fakultas Sastra, Unirversitas Negeri Leiden, Belanda.[11]
Setelah selesai melakukan penelitian disertasinya, Juynboll kemudian melakukan penelitian mengenai berbagai persoalan, baik yang klasik maupun kontemporer.  Semenjak ia menilis sebuah makalah yang bertitel: “On The Origins of Arabic Prose” dan dimuat dalam buku Studies on the Century of Islamic Society.  Junyboll memutuskan untuk memusatkan perhatiannya pada studi hadis dan tidak pernah meninggalkannya lagi.
Selain meneliti, Juynboll juga mengajar di berbagai Universitas di Belanda. Akan tetapi, kegiatan mengajar dan membimbing mahasiswa yang sedang menulis tesis dan disertasi kurang begitu diminatinya. Pada usia 69 tahun, Juynboll tinggal di Burggravenlaan 40 Nl-2313 HW  Leiden, Belanda. Dia meningggal pada tahun 2010 dalam usia 75 tahun.
Sebagai seorang ilmuan dan peneliti dalam bidang hadis, banyak sekali karya-karya yang ia hasilkan baik berupa buku maupun artikel, yang mana semua itu ikut memberikan sumbangan terhadap studi hadis khususnya dan studi Islam pada umumnya. Sebagian besar pemikiranya, terutama yang terkait dengan studi hadis dan teori common link, dielaborasi dalam tiga bukunya: the Aunthenticity of the Traditional Literature: Discussion in Modern Egypt, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith dan studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith.
Selain tiga buku tersebut, Juynboll juga memiliki sejumlah karya di bidang hadis dalam bentuk artikel, seperti: “The Date of the Great Fitna”, “On the Origins of Arabic Prose: Reflection on the Authenticity”, “Shu’bah al-Hajjaj and His Position Among the Traditionist of Basra”, and, “An Excursus on the Ahl as-Sunna in Connection with Van Ess”, Theologie Und Gesellchaft, vol. IV.
Sementra karya Juynboll dalam bidang lain, seperti studi al-Qur`an, fiqh, historiografi, diantranya adalah Review of Quranic studies: Sources and metods of Scriptural Interpretation by John Wonsbough, Review of the Sectarian Milieu: Content and Composition os Islamic Salvation History, Some Trought on Early Muslim Historiography, New Perspective in the Study Early Islamic Jurisprudence.[12]
D.    Common Link Awal Permulaan Isnad dan pembuat hadis
Juynboll dalam kajian hadis mengadopsi teori common link yang dikeluarkan oleh Schacht. Menurutnya teori common link adalah teori yang brilian. Sayangnya teori tersebut belum dikembangkan secara luas oleh pengkaji hadis. Hal ini disebabkan karena teori ini kurang mendapat perhatian, elaborasi, atau penekanan yang selayaknya, bahkan oleh Schacht sendiri.[13]
Dalam teori ini Junyboll berperan sebagai pengembang dari pendahulunya seperti Ignaz dan Schacht. yang mana inti dari teori ini mereka berasumsi bahwa hadis muncul pada era common link. Hadis sendiri merupakan produk buatan seorang common link. Demi mendapatkan legitimasi umat Islam akhirnya hadis-hadis yang mereka buat disandarkan pada orang-orang  yang mempunyai otoritas tinggi sebelumnya seperti pada sahabat manupun nabi.
Teori commom link telah digunakan oleh Juynboll dalam pengkajian asal usul dan sejarah awal periwayatan hadis selama dua puluh tahun. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik menuju maupun meninggalkanny, semakin besar pula seorang periwayat dan jalur periwayatanya memiliki klaim sejarah. Dengan kata lain bahwa jalur yang dipercaya sebagai jalur yang mempunyai historis adalah jalur yang bercabang kelebih dari satu jalur. Sedangkan, jika suatu hadis diriwayatkan dari nabi melalui seseorang (sahabat), kemudian kepada orang lain (tabiin) dan orang yang lain lagi (tabiit-tabiin) yang akhirnya sampai pada common link dan setelah itu jalur isnad bercabang keluar, maka kesejarahan periwayatan tunggal tersebut tidak dapat dipertahankan. Singkatnya,  jalur yang hanya bekembang ke satu jalur saja atau Single Stand tidak dipercaya kesejarahanya.
Dalam teori commom link suatu isnad hadis bermula dari seorang common link. Common link sendiri merupakan istilah untuk perawi hadis yang mendengar hadis dari orang yang  otoritatif (berwenang). Lalu ia menyandarkan pada murid, kemudian muridnya kepada satu murid  atau lebih banyak.  Dengan kata lain, common link merupakan sebutan untuk perawi  tertua dalam berkas isnad yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan kata lain berkas isnad hadis itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, maka di sanalah ditemukan common linknya.
Dari berbagai tulisan Juynboll mengenai hadis khususnya yang menggunakan teori common link dan metode analisis isnad penulis dapat menyimpulkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan metode tersebut secara rinci. Langkah-langkah itu adalah:
1.      Menentukan hadis yang akan diteliti
2.      Menelusuri hadis dalam berbagai koleksi hadis
3.      Menghimpun seluruh isnad hadis
4.      Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad
5.      Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadis.[14]
Teori common link dan teori hadis konvensional dalam kenyataanya sangat berbeda. Dalam metode kritik hadis konvensional lebih menekankan pada kualitas seorang perawi hadis. Jika isnad hadis terdiri dari orang-orang yang dapat dipercaya, maka hadis tersebut dinyatakan sahih. Sebaliknya, jika isnad sebuah hadis terdiri dari orang-orang yang tidak dipercaya, maka hadis tidak diterima.[15]
Akan tetapi, sebagaian besar pengkaji hadis barat merasa keberatan dengan metode kritik tersebut. Sebab, metode ini hanya menekankan penelitian bentuk luar hadis tidak kepada teks hadis itu sendiri, sehingga metode ini hanya dapat menyingkirkan sebagian hadis palsu tidak secara keseluruhan. Dan juga metode ini apakah dapat membuktikan kebenaran sejarah kepriwayatan hadis atau tidak. Sebab, metode kritik konvensional memiliki beberapa kelemahan. Selain itu kemunculan metode kritik hadits konvensional tersebut juga disebabkan karena adanya konflik antara para ahli hadits dan ahli fiqh klasik di Madinah dan Iraq dan dalam kaitannya dengan konflik tersebut berbagai keputusan hukum dan hadits-hadits formal dan yang di terima secara umum disebarluaskan dan diberi isnad-nya hingga sampai kepada Nabi.
Selain sebagai awal permulaan isnad common link juga tertuduh sebagai pembuat hadis. Yang mana hadis tersebut digunakan adakalanya untuk menguatkan pendapatnya. Sekitar abad pertaman hijriyah banyak diangkat para hakim, demi memperoleh legitimasi dari putusan hukum yang ia keluarkan, para hakim menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya yang mempunyai otoritasi. Dan langkah ini yang kemudian melahirkan konflik dengan para ahli hadis.
Para ahli hadis sendiri kemudian mempunyai suatu pemikiran bahwa hadis-hadis formal yang berasal dari nabi harus mampu mengantikan hasil putusan-putusan perkara yang sudah memasyarakat. Oleh karena itu, mereka membuat laporan atau hadis yang diklaim didapatkan dari para perawi. Baik yang melihat perkataan atau perbuatan Nabi yang kemudian yang kemudian diriwayatkan secara lisan, dengan disertai isnad yang sambung dan terpercaya.
Proses inilah yang dinamakan dengan projection beck. Berawal dari itu Schacht maupun Juynboll yang mengadopsi teorinya berkesimpulan bahwa baik kelompok ahli fiqh dan ahli hadis sema-sama melakukan pemalsuan hadis.m oleh karena itu, tidak ada hadis yang benar-benar dari Nabi. Semua hadis yang ada hanyalah produk yang muncul dari persaingan antara ulama tersebut.
Rounded Rectangle:          Nabi
       Sahabat
         Tabiin
        (Tabiin)
                  Common Link

Periwayat  Periwayat  Periwayat  Periwayat

Koleksi              koleksi       koleksi koleksi     koleksi Koleksi     koleksi koleksi 






 









Inilah karakteristik jalur periwayatan hadis, yakni hampir setiap bandel isnad menunjukkan sebuah jalur tunggal yang nerentang dari nabi hingga para periwayat yang menjadi titik temu yang disebut dengan common link (periwayat bersama yang selanjutnya disebut cl) pada abad II Hijriyah/ VIII Masehi. Dari bundel isnad, tampak bahwa Nabi saw. Telah mengatakan sesuatu kepada orang sahabat yang kemudian sahabat tersebut menyampaikannya kepada seorang tabiin, dan seterusnya. Dalam hal ini, seorang tabiin yang diletakkan dalam sebuah tanda kurang menunjukkan bahwa dalam jalur isnad antara nabi dan cl memiliki dua orang atau lebih tabiin. Dalam sebuah jalur periwayatan, Juynboll mendefinisikan Common link sebagai berikut:
“A common link… is transmitter who hears something from (seldom more than) one authority and passes it on to a number of pupils, most of them pass it on in their turn to two or more of their pupils. In other words, the cl is the oldest transmitter mentioned in a bundel who pases the hadith on to more than one pupil, or again in other terms: where an isnad bundel first start fanning out, there is it cl.”[16]

M. M Azami tidak hanya mempertanyakan interpretasi tentang fenomena common link dan single strand, tetapi juga meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung menyatakan bahwa metode common link dan semua kesimpulan yang dicapai dengannya tidak relevan dan sama sekali tidak berdasar.[17]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa seorang common link adalah pihak yang bertanggungjawab atas munculnya hadis dan isnad-isnadnya.
 IV.            KESIMPULAN
Juynboll dengan teori common link mencoba melakukan sebuah rekontruksi terhadap hadis nabi Muhammmad. Teori yang ia adobsi dari pendahulunya Joseph Schacht tersebut dalam perakteknya mereka meragukan hadis berasal dari nabi. Menurut mereka hadis merupakan buatan seorang common link. Isnad hadis sendiri merupakan hasil rekontruksi mereka, yang mana untuk mendapatkan legitimasi dari umat Islam hadis tersebut disandarkan pada orang-orang sebelumnya yang mempunyai otoritas tinggi. Kemudian hadis tersebut disebarkan oleh common link kepada para partial common link (murid-muridnya) kemudian disebarkan lagi sampai para pengoleksi hadis.
Teori common link berbeda dengan teori konvesional, yang mana teori konvesional memandang kesahihan hadis nabi dari kualitas perawi. Akan tetapi, teori common link memandang kesahihan hadis dengan kuantitas sejarah. Jika common link hadis seorang yang datang setelah abad pertama maka hadisnya perlu ditanyakan, dan bisa dikatakan palsu.
Akan tetapi, M. M Azami menganggap teori tersebut hanyalah imajinasi dari Joseph Schacht yang dikmbangkan oleh Juynboll. Dari salah satu hadis yang ditelusuri oleh Juynboll yang terdapat dalam naskah Suhaili. Yang mana pada penelitiannya Abu Shālih sebagai seorang common link. Akan tetapi, setelah diteliti ternyata para perawi pada kategori ketiga berkisar ada 20-30 orang. Dan tempat tinggal mereka saling berjauhan, sementara teks yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan demikian, mustahil jika para perawi tersebut berkumpul kemudian bersepakat membuat hadis sama.
Kemudian jarang sekali ditemukan hanya perawi tuggal yang meriwayatkan hadis kepada murid-muridnya. Dalam naskah suhail pun jarang ditemukan. Dan tidak mungkin pula seorang al-Zuhri memalsukan suatu hadis yang mana semua ahli hadis sepakat akan kualitas beliau yang Tsiqah. Perlu ada bukti yang kuat jika ingin meragukan ketsiqahan al-Zuhri.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar