Teori Projecting Back dan Common Link
I.
PENDAHULUAN
Secara garis besar, kelompok orientalis dibagi menjadi dua.
Pertama, kelompok moderat dan tidak fanatik yang dapat berbuat adil dalam
prinsip keilmuan penuh kejujuran. Kelompok ini diwakili oleh nama-nama seperti
Jenny Pieere, Carl Leil, Tolstoy, dll. Kedua, kaum fanatik yang tidak berlaku
adil dalam prinsip keilmuan dan condong menutupi kebenaran yang ada serta
tidak memilki metode keilmuan yang memadai.
Kajian keislaman pada mulanya hanya ditujukan kepada
materi-materi keislaman secara umum. Baru pada masa-masa belakangan, mereka
mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits nabi. Sarjana Barat
yang pertama kali melakukan kajian terhadap hadits nabi adalah Ignaz Goldziher
(1850-1921), seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria dengan karya
berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Buku yang kemudian dijadikan
semacam “kitab suci” para orientalis saat ini.
Di kalangan
orientalis, telah mengakar suatu pendapat bahwa sebagian besar
Hadis merupakan hasil perkembangan Islam dalam bidang Agama, Politik, dan
sosial dalam kurun waktu dua abad pertama dan kedua. Dan Hadis itu bukanlah
merupakn dokumen Islam pada masa-masa awal pertumbuhanya. Melainkan salah satu
efek kekuasaan pada masa kejayaanya.[1]
Teori-teori kritik
Hadis yang dikeluarkan oleh Ignaz Goldziher, Joseph Schacth dan G.H.A Juynboll
menpunyai suatu kesinambungan. Yang mana G.H.A Junyboll melakukan suatu
pengembangan terhadap teori common link yang dikeluarkan oleh Joseph Schacth.[2]
Melalui teori common link ini Junyboll mencoba menawarkan gagasan baru tentang
kriteria kesejarahan sebuah hadis. Pada Dasarnya teori common link adalah
sebuah teori yang dipersiapkan menyoroti otentisitas sumber hadis melalui
prespektif sejarah.
Maka, tidak salah
bila isnad yang menjadi sumber
otentisitas dari hadis menjadi pokok permasalahan dalam teori common link.
Dalam tulisan ini pemakalah ingin mengkaji isnad dalam pandangan G.H.A Junyboll
melalui teori common linknya dan apakah secara ilmiah teori ini bisa diterima.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana biografi
Joseph Schacht dan teori Projecting Back?
2.
Bagaimana biografi G.H.H Juynball
dan teori
Common Link?
III.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Joseph Schacht
Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902. Karirnya
sebagai orientalis dimulai dengan belajar ideologi klasik, theologi, dan
bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih
gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berusia 21
tahun.
Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg,
dan pada tahun 1929 dalam usia 27 tahun ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada
tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia
meninggalkan negerinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa
Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia
tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar.[3]
Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan
pindah ke Inggris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia
seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggris. Dan
ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di
Inggris, dan menikah dengan wanita Inggris.
Bahkan pada tahun 1947 ia menjadi warga negara Inggeris. Meskipun
ia bekerja untuk kepentingan negara Inggeris dan mengkhianati tanah airnya
sendiri, namun pemerintah Inggris tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya.
Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Profesor-Doktor, di Inggeris ia
justeru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia
meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari universitas tersebut.
Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggris dan mengajar di
Universitas Laiden Negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di sini
ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun
1959 ia pindah ke Universitas Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru
Besar, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1969.[4]
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya
tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa
disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab,
Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam,
kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan
lain-lainnya, seperti Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu
Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath
Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.
Karya tulisnya yang
paling monumental dan melambungkan namanya adalah The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun
1950, kemudian bukunya An Introduction to
Islamic Law yang terbit pada tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia
menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits Nabi, di mana ia berkesimpulan
bahwa Hadits Nabi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah
buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.
Tuduhan semacam ini muncul dari beberapa tokoh orientalis, salah
satunya adalah Joseph Scathc dalam bukunya The
Origins of Muhammadan Jurisprudence. Kajiannya diawali dengan meneliti
proses kemunculan Hukum Islam. Dia berpendapat bahwa Hukum Islam baru berwujud
pada masa setelah al-Sya’bi (w. 110 H). hal ini berarti hadits-hadits yang
berkenaan dengan hukum Islam adalah buatan orang-orang setelah al-Sya’bi.
Karena ia beranggapan bahwa hukum Islam baru dikenal pada masa pengangkatan
para Qadi. Maka kesimpulan yang didapat dari hasil kajiannya tersebut bahwa
keputusan-keputusan yang diambil para Qadi itu memerlukan legitimasi dari orang
yang memiliki otoritas lebih tinggi sehingga mereka menisbahkannya kepada
orang-orang sebelum mereka sampai pada totoh-tokoh generasi tabi’in, para sahabat,
dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw. inilah rekonstruksi sanad menurut Schacht.
Dibanding dengan Goldziher, Schacht memiliki “keunggulan” karena Schacht sampai pada kesimpulan “meyakinkan” bahwa tidak ada satupun
hadis yang otentik dari Rasulullah, khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan
hukum Islam, sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan “meragukan” otentisitas hadis.[5]
B.
Teori Projecting Back
Teori Projecting Back
yang dibangun oleh Yoseph Schacht tentang sanad yang menjadi kajian utama dalam
tulisan Schacht adalah bahwa peletakan sanad merupakan tindakan sewenang-wenang
dalam hadis Nabi Shallallahu a’alaihii wa
sallam. Hadis itu sendiri dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang saling
berbeda dan ingin mengaitkan teori-teori terdahulu. Setidaknya ada enam
kesimpulan argumentasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sistem isnad baru dimulai pada awal abad II
Hijriyah atau setidak-tidaknya pada akhir abad pertama Hijriyyah.
2. Isnad dipergunakan/ dicantumkan dalam hadis dengan
cara yang sangat ceroboh oleh orang-orang yang mengaitkan teorinya kepada para
pendahulu (Projecting Back).
3. Isnad ditingkatkan dan
diciptakan secara bertahap. Isnad pada awalnya merupakan suatu mata rantai yang
tidak lengkap.
4. Otoritas tambahan
diciptakan pada masa Imam Syafi’I untuk mencapai tujuan pengembalian hadis
kepada satu sumber.
5. Rangkaian sanad adalah
sesuatu yang palsu begitu juga materi/ matan yang ada di dalamnya.
6. Keberadaan riwayat yang
umum pada mata rantai menunjukkan bahwa hadis-hadis berasal dari masa periwayat
tersebut[6].
Pernyataan Yoseph Schacht lainnya yang juga sering disoroti adalah
mengenai teori teori Projecting Back
(pelimpahan teori kepada generasi-generasi awal) di antara pernyataan yang
berkeenaan dengan ini adalah sebagai berikut: “Isnad sering diletakkan secara sembarangan. Berbagai kelompok yang
doktrinnya diproyeksikan ke belakang kepada otoritas kuno bisa saja diambil
secara acak dan diletakkan ke dalam isnad oleh beberapa orang.”[7]
Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad, daripada aspek matan,
dalam mengkaji hadis. Sementara kitab yang digunakan dalam penelitian adalah
kitab Al Muwattha’ karya Imam Malik, kitab
Al Umm dan Ar Risalah karya Imam Syafi’i. Karena itu tak heran bila Muhammad
Musthafa A’dzami menyatakan bahwa kitab-kitab yang menjadi bahan kajian Schacht
ini pada dasarnya lebih layak disebut dengan kitab-kitab fikih daripada
kitab-kitab hadis. Mazhab dua jenis kitab ini (fikih dan hadis) mempunyai
karekteristik yang berbeda. Oleh karena itu penelitian hadis melalui
kitab-kitab fikih akan mendapatkan hasil yang kurang tepat. Kajian ilmu Hadis
seharusnya diteliti melalui kitab-kitab hadis pula.
Maksud dari teori ini bahwa
untuk melihat keaslian hadits bisa direkonstruksikan lewat penelusuran
sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits Nabi.
Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110
H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan
Hadits-Hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadits-hadits
itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia berpendapat
bahwa Hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim
agama). Pada khalifah dahulu (khulafa al-Rasyidin) tidak pernah
mengangkat qadhi. Pengangkatan Qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani
Umayyah.[8]
Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para Qadhi itu tidak
hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat,
melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq. Langkah
selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu
dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya
Abdullah ibn Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan
kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekontruksi terbentuknya sanad Hadits.
Menurut Schacht yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada
tokoh-tokoh yang legitimit yang ada dibelakang mereka, inilah yang disebut oleh
Schacht dengan teori Projecting Back.
[9]
Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke
Rasulullah saw adalah ciptaan atau tambahan para fuqâhâ’ di era Tabi’in
dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya
sebagai hadits nabi.
Contoh
hadis
nabi yang dikritisi oleh Schacht:
“Telah menceritakan
kepadaku Malik dari ‘Ala’ bin Abdurrahman dari bapaknya dari kakeknya bahwa
Ustman bin Affan pernah memberinya pinjaman harta untuk berdagang secara qiradh
yaitu dengan cara labanya dibagi antara mereka berdua” (Al Muwattha’ 1196)
“Dari
Anas
bin Malik dia berkata: Bilal diperintah agar menggenapi bacaan teks dalam adzan
dan mengganjilkan (cukup satu kali) pada saat iqamat” (Sunan At Tirmizi 178)
Hadis tersebut diucapkan oleh Anas
bin Malik tanpa diketahui siapa subjek pemberi perintah kepada Bilal.
Berdasarkan pada bentuk-bentuk sanad seperti di atas, maka Schacht mengambil
kesimpulan dengan teorinya Common
Accurence atau merupakan kejadian biasa sebagai dasar penyelidikannya pada
beberapa contoh sanad hadis sesuai dengan teorinya (Projecting
Back) dengan menyimpulkan bahwa hadis-hadis tentang ketentuan yang berlaku dalam
hukum acara peradilan bukan berasal dari Nabi secara langsung, tetapi hanya
merupakan inisiatif para sahabat atau tabi’in.
Bentuk-bentuk sanad yang dipahami oleh Schacht ketika memahami
hadis terutama di bidang hukum acara peradilan berdasarkan perkembangannya
menghasilkan dua teori yaitu:
1. Common Accurence
(Kejadian biasa) yaitu sebuah teori yang dipergunakan
sebagai dasar pemikirannya dengan beberapa contoh hadis di bidang hukum.
2. Occassionally
(kadang-kadang) yaitu untuk memperkuat teorinya, jika
sebagian besar kejadian dalam sanad
hadis menyalahkan teorinya untuk menimalisir kesalahan teorinya.[10]
C. Biografi
G.H.A Junyboll dan karya-karyanya
Gauiter H.A Juynboll
yang lahir di Leiden, Belanda, pada 1935 adalah seorang pakar di bidang sejarah
perkembangan awal hadis. Selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius
mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadis dari persoalan klasik
hingga kontemporer. Menurut P.S. van koningsveld kepakaran Junyboll yang
merupkan murid dari J.Brugmen, dalam kajian sejarah awal hadis telah memperoleh
pengakuan internasional. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ketokohannya di
bidang hadis dapat disejajarkan dengan nama-nama seperti Jemes Robson, Fazlur
Rahman, M.M. Azami, dan Michael Cook.
Dalam pendahuluan bukunya yang
berjudul Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith, Junyboll mengklaim
telah menjelaskan perkembanga penelitian atas literature hadis secara kronologis
sejak akhir tahun 1960-an hingga 1996.
Pada 1965 hingga 1966, dengan dana
bantuan dari The Netherland Organization for the Advancement of Pure Research
(ZWO), Juynboll tinggal di mesir untuk melakukan penelitain disertasi mengenai
pandangan para teolog mesir terhadap literature hadis. Akhirnya, pada Kamis, 27
Maret 1969 desertasi yang ia sususun bisa dipertahankan di depan komisi senad,
guna meraih gelar Doktor di bidang sastra di Fakultas Sastra, Unirversitas
Negeri Leiden, Belanda.[11]
Setelah selesai melakukan
penelitian disertasinya, Juynboll kemudian melakukan penelitian mengenai
berbagai persoalan, baik yang klasik maupun kontemporer. Semenjak ia menilis sebuah makalah yang
bertitel: “On The Origins of Arabic Prose” dan dimuat dalam buku Studies on the
Century of Islamic Society. Junyboll
memutuskan untuk memusatkan perhatiannya pada studi hadis dan tidak pernah
meninggalkannya lagi.
Selain meneliti, Juynboll juga
mengajar di berbagai Universitas di Belanda. Akan tetapi, kegiatan mengajar dan
membimbing mahasiswa yang sedang menulis tesis dan disertasi kurang begitu
diminatinya. Pada usia 69 tahun, Juynboll tinggal di Burggravenlaan 40 Nl-2313
HW Leiden, Belanda. Dia meningggal pada
tahun 2010 dalam usia 75 tahun.
Sebagai seorang ilmuan dan peneliti
dalam bidang hadis, banyak sekali karya-karya yang ia hasilkan baik berupa buku
maupun artikel, yang mana semua itu ikut memberikan sumbangan terhadap studi
hadis khususnya dan studi Islam pada umumnya. Sebagian besar pemikiranya,
terutama yang terkait dengan studi hadis dan teori common link, dielaborasi
dalam tiga bukunya: the Aunthenticity of
the Traditional Literature: Discussion in Modern Egypt, Muslim Tradition:
Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith dan studies on
the Origins and Uses of Islamic Hadith.
Selain tiga buku tersebut, Juynboll
juga memiliki sejumlah karya di bidang hadis dalam bentuk artikel, seperti: “The Date of the Great Fitna”, “On the
Origins of Arabic Prose: Reflection on the Authenticity”, “Shu’bah al-Hajjaj
and His Position Among the Traditionist of Basra”, and, “An Excursus on the Ahl
as-Sunna in Connection with Van Ess”, Theologie Und Gesellchaft, vol. IV.
Sementra karya Juynboll dalam
bidang lain, seperti studi al-Qur`an, fiqh, historiografi, diantranya adalah Review of Quranic studies: Sources and
metods of Scriptural Interpretation by John Wonsbough, Review of the Sectarian
Milieu: Content and Composition os Islamic Salvation History, Some Trought on
Early Muslim Historiography, New Perspective in the Study Early Islamic
Jurisprudence.[12]
D. Common
Link Awal Permulaan Isnad dan pembuat hadis
Juynboll dalam kajian hadis
mengadopsi teori common link yang dikeluarkan oleh Schacht. Menurutnya teori
common link adalah teori yang brilian. Sayangnya teori tersebut belum
dikembangkan secara luas oleh pengkaji hadis. Hal ini disebabkan karena teori ini
kurang mendapat perhatian, elaborasi, atau penekanan yang selayaknya, bahkan oleh
Schacht sendiri.[13]
Dalam teori ini Junyboll berperan
sebagai pengembang dari pendahulunya seperti Ignaz dan Schacht. yang mana inti
dari teori ini mereka berasumsi bahwa hadis muncul pada era common link. Hadis
sendiri merupakan produk buatan seorang common link. Demi mendapatkan
legitimasi umat Islam akhirnya hadis-hadis yang mereka buat disandarkan pada
orang-orang yang mempunyai otoritas
tinggi sebelumnya seperti pada sahabat manupun nabi.
Teori commom link telah digunakan
oleh Juynboll dalam pengkajian asal usul dan sejarah awal periwayatan hadis
selama dua puluh tahun. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin
banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik menuju
maupun meninggalkanny, semakin besar pula seorang periwayat dan jalur
periwayatanya memiliki klaim sejarah. Dengan kata lain bahwa jalur yang
dipercaya sebagai jalur yang mempunyai historis adalah jalur yang bercabang
kelebih dari satu jalur. Sedangkan, jika suatu hadis diriwayatkan dari nabi
melalui seseorang (sahabat), kemudian kepada orang lain (tabiin) dan orang yang
lain lagi (tabiit-tabiin) yang akhirnya sampai pada common link dan setelah itu
jalur isnad bercabang keluar, maka kesejarahan periwayatan tunggal tersebut
tidak dapat dipertahankan. Singkatnya,
jalur yang hanya bekembang ke satu jalur saja atau Single Stand tidak
dipercaya kesejarahanya.
Dalam teori commom link suatu isnad
hadis bermula dari seorang common link. Common link sendiri merupakan istilah
untuk perawi hadis yang mendengar hadis dari orang yang otoritatif (berwenang). Lalu ia menyandarkan
pada murid, kemudian muridnya kepada satu murid
atau lebih banyak. Dengan kata
lain, common link merupakan sebutan untuk perawi tertua dalam berkas isnad yang meneruskan
hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan kata lain berkas isnad hadis itu
mulai menyebar untuk pertama kalinya, maka di sanalah ditemukan common linknya.
Dari berbagai tulisan Juynboll
mengenai hadis khususnya yang menggunakan teori common link dan metode analisis
isnad penulis dapat menyimpulkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk
menerapkan metode tersebut secara rinci. Langkah-langkah itu adalah:
1.
Menentukan hadis
yang akan diteliti
2.
Menelusuri hadis
dalam berbagai koleksi hadis
3.
Menghimpun
seluruh isnad hadis
4.
Menyusun dan
merekonstruksi seluruh jalur isnad
dalam satu bundel isnad
5.
Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung
jawab atas penyebaran hadis.[14]
Teori common link dan teori hadis
konvensional dalam kenyataanya sangat berbeda. Dalam metode kritik hadis
konvensional lebih menekankan pada kualitas seorang perawi hadis. Jika isnad
hadis terdiri dari orang-orang yang dapat dipercaya, maka hadis tersebut
dinyatakan sahih. Sebaliknya, jika isnad sebuah hadis terdiri dari orang-orang
yang tidak dipercaya, maka hadis tidak diterima.[15]
Akan tetapi, sebagaian besar
pengkaji hadis barat merasa keberatan dengan metode kritik tersebut. Sebab,
metode ini hanya menekankan penelitian bentuk luar hadis tidak kepada teks
hadis itu sendiri, sehingga metode ini hanya dapat menyingkirkan sebagian hadis
palsu tidak secara keseluruhan. Dan juga metode ini apakah dapat membuktikan
kebenaran sejarah kepriwayatan hadis atau tidak. Sebab, metode kritik
konvensional memiliki beberapa kelemahan. Selain itu kemunculan metode kritik
hadits konvensional tersebut juga disebabkan karena adanya konflik antara para
ahli hadits dan ahli fiqh klasik di Madinah dan Iraq dan dalam kaitannya dengan
konflik tersebut berbagai keputusan hukum dan hadits-hadits formal dan yang di
terima secara umum disebarluaskan dan diberi isnad-nya hingga sampai kepada
Nabi.
Selain sebagai awal permulaan isnad
common link juga tertuduh sebagai pembuat hadis. Yang mana hadis tersebut
digunakan adakalanya untuk menguatkan pendapatnya. Sekitar abad pertaman
hijriyah banyak diangkat para hakim, demi memperoleh legitimasi dari putusan
hukum yang ia keluarkan, para hakim menyandarkannya kepada tokoh-tokoh
sebelumnya yang mempunyai otoritasi. Dan langkah ini yang kemudian melahirkan
konflik dengan para ahli hadis.
Para ahli hadis sendiri kemudian
mempunyai suatu pemikiran bahwa hadis-hadis formal yang berasal dari nabi harus
mampu mengantikan hasil putusan-putusan perkara yang sudah memasyarakat. Oleh
karena itu, mereka membuat laporan atau hadis yang diklaim didapatkan dari para
perawi. Baik yang melihat perkataan atau perbuatan Nabi yang kemudian yang
kemudian diriwayatkan secara lisan, dengan disertai isnad yang sambung dan
terpercaya.
Proses inilah yang dinamakan dengan
projection beck. Berawal dari itu Schacht maupun Juynboll yang mengadopsi
teorinya berkesimpulan bahwa baik kelompok ahli fiqh dan ahli hadis sema-sama
melakukan pemalsuan hadis.m oleh karena itu, tidak ada hadis yang benar-benar
dari Nabi. Semua hadis yang ada hanyalah produk yang muncul dari persaingan
antara ulama tersebut.
Inilah karakteristik jalur
periwayatan hadis, yakni hampir setiap bandel isnad menunjukkan sebuah jalur
tunggal yang nerentang dari nabi hingga para periwayat yang menjadi titik temu
yang disebut dengan common link (periwayat bersama yang selanjutnya disebut cl)
pada abad II Hijriyah/ VIII Masehi. Dari bundel isnad, tampak bahwa Nabi saw.
Telah mengatakan sesuatu kepada orang sahabat yang kemudian sahabat tersebut menyampaikannya
kepada seorang tabiin, dan seterusnya. Dalam hal ini, seorang tabiin yang
diletakkan dalam sebuah tanda kurang menunjukkan bahwa dalam jalur isnad antara
nabi dan cl memiliki dua orang atau lebih tabiin. Dalam sebuah jalur
periwayatan, Juynboll mendefinisikan Common link sebagai berikut:
“A common link…
is transmitter who hears something from (seldom more than) one authority and
passes it on to a number of pupils, most of them pass it on in their turn to
two or more of their pupils. In other words, the cl is the oldest transmitter
mentioned in a bundel who pases the hadith on to more than one pupil, or again
in other terms: where an isnad bundel first start fanning out, there is it cl.”[16]
M. M Azami tidak hanya
mempertanyakan interpretasi tentang fenomena common link dan single strand,
tetapi juga meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung menyatakan
bahwa metode common link dan semua kesimpulan yang dicapai dengannya tidak
relevan dan sama sekali tidak berdasar.[17]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa
seorang common link adalah pihak yang bertanggungjawab atas munculnya hadis dan
isnad-isnadnya.
IV.
KESIMPULAN
Juynboll dengan teori common link mencoba melakukan
sebuah rekontruksi terhadap hadis nabi Muhammmad. Teori yang ia adobsi dari
pendahulunya Joseph Schacht tersebut dalam perakteknya mereka meragukan hadis
berasal dari nabi. Menurut mereka hadis merupakan buatan seorang common link.
Isnad hadis sendiri merupakan hasil rekontruksi mereka, yang mana untuk
mendapatkan legitimasi dari umat Islam hadis tersebut disandarkan pada
orang-orang sebelumnya yang mempunyai otoritas tinggi. Kemudian hadis tersebut
disebarkan oleh common link kepada para partial common link (murid-muridnya)
kemudian disebarkan lagi sampai para pengoleksi hadis.
Teori common link berbeda dengan teori konvesional,
yang mana teori konvesional memandang kesahihan hadis nabi dari kualitas
perawi. Akan tetapi, teori common link memandang kesahihan hadis dengan
kuantitas sejarah. Jika common link hadis seorang yang datang setelah abad
pertama maka hadisnya perlu ditanyakan, dan bisa dikatakan palsu.
Akan tetapi, M. M Azami menganggap teori tersebut
hanyalah imajinasi dari Joseph Schacht yang dikmbangkan oleh Juynboll. Dari
salah satu hadis yang ditelusuri oleh Juynboll yang terdapat dalam naskah
Suhaili. Yang mana pada penelitiannya Abu Shālih sebagai seorang common link.
Akan tetapi, setelah diteliti ternyata para perawi pada kategori ketiga
berkisar ada 20-30 orang. Dan tempat tinggal mereka saling berjauhan, sementara
teks yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan demikian, mustahil jika
para perawi tersebut berkumpul kemudian bersepakat membuat hadis sama.
Kemudian jarang sekali ditemukan hanya perawi tuggal
yang meriwayatkan hadis kepada murid-muridnya. Dalam naskah suhail pun jarang
ditemukan. Dan tidak mungkin pula seorang al-Zuhri memalsukan suatu hadis yang
mana semua ahli hadis sepakat akan kualitas beliau yang Tsiqah. Perlu ada bukti
yang kuat jika ingin meragukan ketsiqahan al-Zuhri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar