Bagi kaum muslimin, Al-Qur’an selain dianggap suci,
Al-Qur’an juga merupakan kitab petunjuk dan menjadi menjadi rujukan dalam
menyelesaikan problem kehidupan yang dihadapi. Akan tetapi setelah mengikuti
perkuliahan Study Qur’an, kajian Al-Qur’an tidak hanya menyingkap dan
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an. Namun lebih dari itu kajian al-qur’an dari
aspek yang lain yang dilakukan dalam rangka menunjang pengembangan kajian
tafsir itu sendiri.
Pada abad
ke-19 Masehi sampai saat ini kajian-kajian tafsir kontemporer berbasis pada
nalar kritis dan bertujuan transformatif. Era ini dimulai dengan munculnya
tokoh-tokoh penafsir kontemporer seperti Fazlur rahman, Muhammad Syahrur,
Muhammad Arkoun , hasan hanafi dan ulama’ lokal seperti Quraish Shihab. Para
tokoh ini umumnya bersikap kritis
terhadap produk penafsiran masa lalu yang selama ini banyak dikonsumsi
oleh umat Islam. Mereka cendrung melepaskan diri dari model-model berfikir
madzhabi dan sebagian mereka juga telah menggunakan perangkat keilmuan modern.
Berabagai
kajian Al-Qur’ar, secara intensif juga dilakukan di era modern maupun
kontemporer ini. Baik dari sarjan muslim maupun non muslim seperti Abraham
Geiger, John Wansbrough. Para sarjana barat ini tertarik mengkaji Al-Qur’an
karena adanya apresiasi yang tiggi dari barat yang menganggap Islam sebagai fenomena dunia dan Al-Qur’an menjadi
sentral ajarannya. Fenomena tersebut memberi isyarat betapa Al-Qur’an memiliki
daya tarik tersendiri. Epistemologi yang dikembangkan di era kontemporer ini
lebih cenderung pada nalar kritis. Sebab, hasil penafsiran seseorang terhadap
Al-Qur’an tidaklah identik dengan Al-Qur’an itu sendiri. Karena antara
Al-Qur’an, tafsir, dan penafsirannya ada jarak yang memisahkan. Pemahaman
seperti ini tidak lepas dari dikembangnya metode hermeneutik dalam penafsiran
Al-Qur’an.
Pada gilirannya hermeneutika
menjadi disiplin yang diajarkan di sejumlah lembaga pendidikan. Namun ironisnya
ketika keilmuan Islam mulai menunjukkan kembali geliat awal kemajuannya ini,
sekelompok Muslim lain tidak merestui kedatangan hermeneutika. Alasan
sederhananya, bahwa hermeneutika berasal dari Barat-Kristen, sehingga tidak
menutup kemungkinan nilai-nilai
Barat-Kristen itu disusupkan ke dalam Islam, khususnya dalam memahami
Al-Qur’an.kelahiran hermeneutika sesungguhnya dimaksudkan hanya untuk mencari
kebenaran-kebenaran Injil, kitab suci kristen yang tidak diakui orisinilitas
dan otentitasnya. Karena al-Qur’an sudah diyakini otentitas dan orisinilitasnya
maka ia tidak butuh hermeneutika. Pada implikasi yang lebih buruk, hermeneutika
akan merusak pemahaman umat Islam yang selama ini telah mapan.
Dari mata kuliah study Qur’an
setidaknya saya mendapatkan pengetahuan baru tentang kajian-kajian kontemporer
seperti Hermeneutika Fazlur rahman dalam mengkaji Al-Qur’an. Fazlur Rahman adalah
salah seorang pemikir dan tokoh intelektual Islam kontemporer yang terkemuka.
Tantangan kehidupan moderen dan kontemporer mengharuskan Fazlur Rahman untuk
berfikir keras dalam menemukan preskripsi demi mengatasi masalah-masalah
kehidupan yang muncul, menyadarkannya untuk mengkaji ulang beberapa pandangan
yang baku di kalangan umat Islam, tetapi tidak akomodatif bahkan “sulit”
diaplikasikan dalam kehidupan
masyarakat. Rahman menyiratkan pemahaman bahwa herneneutika merupakan alat
metodologis yang unggul. Ia pun mendalami teori-teori hermeneutika ketika
sebagian besar pemikir Muslim lainnya belum mengenalnya. Karenanya, dalam
blantika pemikiran Islam, ia dipandang sebagai tokoh yang turut merintis
penerapan hermeneutika untuk mamahami teks al-Qur’an.
Fazlur Rahman memandang perlu
diupayakan reinterpretasi Al-Qur’an.Dalam hal ini, beliau menawarkan metode
tafsir konotemporer yang berbeda dengan metode-metode era sebelumnya. Metode
tafsir yang memiliki nuansa “unik” dan menarik untuk dikaji secara intensif,
yaitu metode yang populer dengan nama “double movement” atau gerakan
ganda.
Gerakan ganda bisa diartikan dari situasi
sekarang kemasa Al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi kemasa kini. Al-Qur’an
adalah respon Ilahi melalui ingatan Nabi
Saw dan pikiran beliau, kepada situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi. Yang
pertama dari dua gerakan diatas terdiri dari dua langkah, yaitu
1. Orang harus memahami arti
atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem
historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Sebelum
mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi makro dalam batasan-batasan
masyarakat, agama, adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan kehidupan secara
menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Mekkah
harus dilakukan.
2. Menggeneralisasikan
jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai
pertnyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat
disaring dari ayat-ayat spesifik dalam
sinaran latar belakang sosio historis dan rationes logis yang sering
dinyatakan.
Gerakan yang kedua, harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan
spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasi sekarang. Artinya ajaran-ajaran
yang bersifat umum harus ditubuhkan dalam konteks sosio-historis yang kongkrit
di masa sekarang, ini memerlukan kajian yang cermat atas berbagai situasi
sekarang dan analisisi berbagai unsur komponennya, sehingga kita bisa menilai
situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan dan
menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai
Al-Qur’an secara baru pula.
Dapat disimpulkan dengan sederhana bahwasannya penafsiran hermeneutika
adalah mehamai suatu teks dengan konteks, dimana konteks didalamnya ada
peristiwa, pelaku, dan waktu. Dari sini dapat dipahami bahwasannya menafsirkan
teks tidak hanya sekedar gramatikalnya saja melainkan konteks di zaman dulu
juga berperan guna menjawab persoalan yang terjadi di era modern ini.
Perkuliahan study Qur’an sangat menarik karena menyajikan kajian-kajian
kontemporer sehingga khususnya buat saya, dapat menambah khazanah pengetahuan
dan menambah wawasan ilmu penafsiran
klasik maupun penafsiran kontemporer. Dengan kajian kontemporer kita tidak
terkungkung dalam teks semata, karena kita hidup di era modern yang serba
dinamis. Kalau kita memahami teks secara gramatikalnya saja tentu kita akan
terjermbab dalam teks tersebut maka tidak ada salahnya kita memahami teks
dengan konteks yag terjadi supaya teks tersebut lunak dan mempunyai makna yang
tersirat didalamnya.
(Rabu, 27-01-2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar