Rabu, 18 Oktober 2017

FENOMENA TAREKAT SYATTARIYAH DI KUANYAR, MAYONG, JEPARA



FENOMENA TAREKAT SYATTARIYAH DI KUANYAR, MAYONG, JEPARA
(STUDI PENDEKATAN FENOMENOLOGI)


Perkembangan Islam di Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran tarikat di dalamnya. Corak Islam yang berkembang di Nusantara adalah Islam yang sudah diadaptasi dari India Selatan dan terus berkembang ke wilayah Timur, semenanjung Malaya dan Nusantara. Corak Islam tarekat tersebut yang mula pertama datang ke Indonesia sehingga ketika melakukan kontak dengan budaya lokal tidaklah terjadi gesekan yang berarti, karena watak akomodatif dari Islam tarekat tersebut. Corak Islam tarekat sangat berbeda dengan Islam di Arab dan Mesir yang lebih puritan, akan tetapi telah memperoleh sentuhan di Persi dan India yang bercorak Islam akomodatif. Itulah sebabnya Islam Jawa dalam banyak hal relevan dengan kebudayaan Jawa yang juga mengedepankan wajah akomodatif.
Manusia Jawa memiliki regiulitas yang bercorak esoterik. Mereka sangat menghargai dimensi olah batin. Agama-agama yang mengedepankan formalitas tidak dapat menyentuh dimensi batinya. Karena itu, mereka mencari corak agama dengan penafsirannya sendiri yang lebih mengedepankan dimensi batin, salah satunya melalui tarekat. Tarekat adalah ajaran yang hidup di dalam historitas kemanusiaan. Maksudnya, sebagai pengikut tarekat pastilah tidak akan terlepas dengan konteks kebudayaan di mana ia hidup. Maka akan terjadilah kolaborasi antara tarekat dengan budaya Jawa, yang bisa saja saling mengambil dan menerima di antara keduanya. Dalam konteks ini, penganut tarekat akan berkutat di antara dua arus utama pedoman kehidupan (Pattern for behavior) ajaran tarekat di satu sisi, dengan kebudayaan Jawa di sisi lainnya. Keduanya membentuk kesatuan unik yang disebut sebagai budaya Tarekat-Jawa atau kalau meminjam konsepsinya Simuh(1994) disebut sebagai Sufisme-Jawa.
Penelitian ini menjadi menarik ketika melihat dinamika hubungan antara tarekat dan kebudayaan jawa tersebut tidak berada di dalam suasana antagonistis tapi simbiosis-mutualisme. Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Desa Kuanyar, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Desan ini sangat kental dengan tradisi-tradisi yang diidentifikasi sebagai masyarakat dengan kebudayaan pesisir meskipun dalam mata pencahariannya kebanyakan adalah petani. Pada masyarakat ini terdapat orde tarekat Syattariyah, yang dari sisi ritualnya berbeda dengan tarekat Syattariyah di pusat tradisinya Nganjuk dan Magetan di Jawa Timur. Maka tarekat Syattariyah di lokus penelitian juga dapat ditengarai sebagai tarekat lokal.
Pertanyaan pokok dalam penelitian ini adalah apakah tindakan relegiusitas di dalam kehidupan penganut tarekat Syattariyah dalam penggolongan sosial petani ditentukan oleh ajaran tarekat, kebudayaan Jawa, dan lingkungan sosial di mana mereka hidup? Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan fenomena relegiusitas petani tarekat dalam kehidupan mereka sehari-hari, di samping untuk memahami makna religiusitas petani tarekat dalam bingkai ajaran tarekat, kebudayaan jawa, dan lingkungan sosial, dengan fokus penelitian pada tindakan-tindakan bermakna dari para penganut tarekat Syattariyah dalam hubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Secara spesifik penelitian ini ingin memahami memaknai agama dalam kehidupan individu melalui konseptual in order to motives. Setiap tindakan manusia pastilah ada tujuan yang secara rasional diinginkannya.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Menurut Husserl, suatu fenomena hakikatnya adalah refleksi dari suatu realitas yang kimpleks, yang hanya dapat dicapai melalui upaya-upaya sunguh-sungguh dengan cara menerobos terhadap dunia pengalaman subyektif yang penuh makna. Karena itu, fenomenologi tidak terpesona dengan dunia yang tampak yang berwujud sebagai tindakan nyata, tapi berkeinginan menyingkap dunia yang tidak tampak yang mendasari tindakan atau yang disebut sebagai sesuatu yang berada dibalik tindakan. Dunia makna adalah dunia dibalik tindakan yang fenomenal. Untuk memahami yang nomena atau sesuatu dibaalik fenomena mengajarka tentang proses reduksi dalam rangka menemukan kesadaran murni. Ada tiga tahapan reduksi , yaitu 1) Reduksi fenomenologis (kesadaran tentang adanya fenomena di sekeliling kita yang dirasakan kehadirannya dan dialami dalam ruang dan waktu), 2) Reduksi eidetic (penghayatan ideal), 3) Reduksi transcendental (proses menemukan subyek murni).  
Di dalam aplikasinya, fenomenologi sebagai pendekatan di dalam kajian ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan ditekankan pada hal-hal berikut: 1) Fenomenologi terfokus pada penampakan sesuatu. 2) Fenomenologi concern terhadap keseluruhan, dengan menguji sebuah entitas dalam berbagai sudut pandang, anggel, dan perspektif unifikasi visinya didapat. 3) Fenomenologi mencari makna dari penampakan, sehingga didapatkan esensinya melalui intuisi dan refleksi atas tindakan berkesadaran dari pengalaman, ide, konsep, putusan, dan pemahaman. 4) Fenomenologi berkomitmen dengan deskripsi pengalaman, bukan penjelasan dan analisis. 5) Fenomenologi berakar di dalam pertanyaan yang memberi arah dan berfokus pada makna. 6) Subyek dan obyek terintegrasi atau tidak ada pemilahan subyek-obyek. 7) Pada keseluruhan penyelidikan realitas intersubyektif adalah bagian dari proses. 8) Data tentang pengalaman, pikiran, intuisi, refleksi, dan putusan dijadikan sebagai kejadian-kejadian primer dari penyelidikan ilmiah. 9) Pertanyaan penelitian difokuskan, diarahkan dan dirumuskan secara hati-hati.
Dalam praktiknya, penelitian fenomenologi memiliki beberapa tahapan yang ditempuh, yaitu 1) Discovering, atau menemukan topik dan masalah. Penelitian ini mengambil topik tentang kehidupan sehari-hari penganut tarekat di dalam interaksinya dengan dunia sekelilingnya dilihat dari perspektif fenomenologi. 2) Conducting, atau mengkaji secara komprehensif terhadap penelitian-penelitian terdahulu. Pengkajian terhadap penelitian terdahulu sangat penting dilakukan untuk mengetahui orisinilitas penelitian yang dilakukan. Melalui penelusuran penelitian terdahulu akhirnya diketahui bahwa telah ada penelitian tentang tarekat namun secara keseluruhan berbeda dengan topik penelitian yang dilakukan ini. 3) Construcsing, menetukan lokasi penelitian. Desa Kuanyar, Mayong, Jepara, Jawa Tengah sebagai lokasi, sebab terekat Syattariyah memiliki keunikan, yaitu bercorak lokal, baik dari proses bai'at, geneologi kemursyidannya, dan ajarannya. 4) Developing, atau mengajukan seperangkat pertanyaan untuk wawancara mendalam dan observasi terlibat. 5) Conducting dan Recording, atau melakukan wawancara secara mendalam terhadap subjek dan informasi penelitian serta melakukan observasi secara terlibat serta mencatat secara teliti dan akurat hasil-hasil wawancara dan observasi. 6) Organizing dan Analysing, atau mengorganisasi dan menganalisis data. Data yang sudah terkumpul diorganisasikan berdasarkan konsep dan kategorisasinya dan kemudian dianalisis dengan interpretatif understanding.
Hasil penelitian dengan pendekatan fenomenologi di atas melahirkan kesimpulan, bahwa sebagai orang Jawa para pengikut tarekat Syattariyah mengikuti upacara slametan dalam berbagai variasinya, mulai upacara lingkaran hidup, upacara hari-hari baik, upacara kalenderikal, dan upacara tolak bala' dengan tujuan untuk memperoleh keselamatan, harmoni, dan kerukunan sosial. Keselamatan hanya akan diperoleh jika seseorang individu telah melakukan aktivitas yang menjamin terjadinya keselametan, yaitu keselarasan antar sesama manusia, keselarasan dengan alam semesta, dan keselarasan dengan Allah sebagai pencipta. Karena itu, berbagai upacara komunal dilakukan. Selain itu, penganut tarekat bukanlah seseorang yang hidup dalam dunianya sendiri, namun adalah individu yang hidup di dalam dunia sosialnya. Mereka terlibat di dalam kegiatan sosial relegius di dalam masyarakat, seperti sambatan, pengajian yang diadakan oleh bukan kelompoknya, mengikuti kegiatan sosial dan ekonomi yang sangat profan. Tujuan mendasar dari keterlibatan tersebut adalah agar memperoleh keserasian antara wirid dan amal shaleh. (Book Review atas buku karya Prof. Dr. M. Nur Syam, Tarekat Petani: Fenomena Tarekat syattariyah Lokal, cet. 1, Yogyakarta: LKis, 2013).   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar